SORE ini aku pulang dari rumah dospem mendapati Zahra berada di depan rumah. Dia menenteng satu map amplop besar berwarna coklat di tangannya. Ia memandangku dengan senyuman manis nan hangatnya seperti biasanya. Tanpa kusadari, jika kuingat-ingat kembali, cukup sering Zahra ini berada di depan rumahnya ketika aku pulang entah pulang dari suatu tempat atau pulang kuliah. Seakan-akan ia seperti sengaja menungguku pulang terkecuali jika saat dia sibuk keluar, kuliah atau pergi kemana. Ujung-ujungnya tiap Zahra ada di depan rumahnya kami selalu mengobrol panjang lebar. Dan kalau malam, aku sesekali keluar teras rumah untuk nyari angin segar pun Zahra juga pasti selalu ikut keluar.
"Kak Rani, ini ada surat untuk kakak!" katanya sambil menyodorkan amplop besar coklat di tangan. Aku memicingkan mataku menatap amplop besar itu. Surat apa? Pikirku penuh tanya.
"Apa ini Ra? Siapa yang ngirim?" tanyaku ke Zahra sambil mengambil amplop tersebut.
"Emm ... nggak tahu juga. Tadi ada petugas Fedex Indonesia yang memberikan ini. Katanya untuk Ahmad Rizalul Qur'ani." Jawab Zahra menenggelamkan kedua bibirnya.
"Fedex? Siapa ya yang ngirim?" gumamku sambil menerawang amplop besar di tanganku. Tidak ada alamat dan nama sang pengirim. Aku mendadak penasaran dengan isi dari amplop ini. Kurasa-rasa amplop ini isinya agak berat. Seperti banyak berkas yang berada di dalamnya.
"Makasih ya Ra," ucapku berterima kasih kepada Zahra yang sengaja menungguku dan mau menerima surat itu.
"Maaf Zah tadi ngaku sebagai istri kakak karena petugas pengirimnya kekeh ingin minta tanda tangan dari si penerima atau minimal keluarga si penerima." Kata Zahra kembali mingkem dan memicingkan matanya. Ia tersenyum simpul dan menyatukan kedua telapak tanganya sebagai isyarat meminta maaf.
"Eh?!" Aku terkesiap. "Gnggk ... nggak papa sih." sahutku tiba-tiba gagap.
"Surat apa itu kak? Kak Rani melamar kerja dimana lagi?" tanya Zahra.
"Bukan Ra, bukan surat kerja atau apa. Aku pun tidak tahu ini surat apa dan siapa yang mengirim."
"Kata kurir Fedex-nya tadi, ini paket dikirim dari luar negeri ka," tukas Zahra.
Ku rogoh kantong celanaku mencari kunci pintu rumah. Aku ingin segera membuka amplop besar ini. Namun tiba-tiba Zahra mencegatku.
"Kak ... emm ... bisa kita ngobrol dulu sebentar?" pinta Zahra segan.
"Sudah lama kita tidak bicara berdua seperti dulu kak. Maaf kalau permintaan Zah egois dan tidak mempedulikan betapa capeknya mungkin tubuh kakak hari ini. Apa tidak apa-apa?"
"Iya nggak apa kok Ra." Kataku sambil duduk di salah satu kursi di depan rumah.
"Sini duduk Ra," ajakku meminta Zahra duduk di kursi bangku yang satunya. Jam-jam segini kawasan rumah kami masih agak rame oleh warga jadi nggak apa-apa kurasa bila berduaan dengannya jika hanya untuk mengobrol saja seperti biasa.
"Mau bicara apa?" tanyaku.
Zahra lalu membicarakan tentang kuliahnya. Ia membicarakan beberapa mata kuliah di prodinya dan meminta saran serta pendapatku untuk beberapa hal. Yang mengejutkan adalah, Zahra juga menceritakan bahwa ada dua teman laki-laki di jurusannya yang naksir sama dia. Katanya si Riyadi sama Alfian. Mendengar ada laki-laki yang naksir Zahra, aku tidak kaget lagi. Toh tanpa sepengetahuan Zahra, di kampus ia memang gadis populer dan banyak disukai oleh para pria. Salah satu temanku saja yang bernama Zakir, terang-terangan mengatakan kepadaku ia menyukai Zahra. Dan karena mengetahui rumah sewaku bersebelahan dengan rumah Zahra, si Zakir ini sering titip salam kepadaku untuk Zahra. Biasanya memang aku sampaikan amanah ini. Kubilang temanku titip salam. Jawaban Zahra biasanya selalu sama, hanya datar dan kata "Oh" semata darinya.
Apakah harus kuanggap aku ini jauh lebih beruntung ketimbang si Zakir? Karena bisa bersebelahan rumah dengan Zahra dan bisa mengobrol berdua dengannya seperti sekarang ini. Yang jelas dan pasti, keberuntunganku adalah biaya sewa rumah ini yang memang murah perbulannya dikarenakan dua rumah dempet bersebelahan ini adalah milik orangtua Zahra. Kepada Zahra lah biasanya aku menyerahkan uang sewanya. Ayah Zahra bapak H. Iskandar Mukhtar M.Ag yang memang mengenaliku sejak kecil, sengaja memberikan biaya sewa yang teramat murah ini padaku. Aku sangat bersyukur kepada beliau telah begitu baik padaku. Sekarang beliau dan istri, ibu dari Zahra, tinggal di Balikpapan. Sementara kakak perempuan Zahra tinggal bersama anak dan suaminya di Singapura.
Tanpa terasa kami telah mengobrol satu jam lebih. Waktu sudah menunjukan pukul enam pas. Sebentar lagi Maghrib. Aku pun ijin pamit masuk untuk mandi dan bersiap sholat Maghrib ke musholla. Zahra juga biasanya selalu ada disana tiap Maghrib dan Isya. Kami bahkan tidak jarang sering pulang berdua.
"Masuk dulu ya Ra!" kataku sembari membawa amplop besar tersebut.
Aku taruh amplop coklat itu di atas tempat tidurku dan kutinggal untuk mandi. Selepas mandi, Aku bergegas ke musholla Darut Takwa untuk menunaikan sholat Maghrib dan Isya berjamaah. Aku tidak pulang dari sana kecuali jika sudah selesai sholat Isya. Biasanya waktu jeda antara Maghrib dan Isya kupakai untuk wirid, melantunkan dzikir dan istigfar lalu membaca surah-surah Al-Qur'an minimal lima lembar.
Setelah sholat Isya selesai aku bergegas pulang. Aku ingat paket amplop tadi belum aku lihat apa isinya. Kupercepat derak langkah kakiku ketika berjalan. Dari belakang Zahra lari-lari kecil mengejarku sambil menenteng mukena dan sajadah yang dibawanya sendiri dari rumah.
"Kak Ran ... tunggu!" panggilnya sembari menghampiriku. "Kak Rani sudah makan?"