MENJELANG sepuluh hari sebelum keberangkatanku, aku dikejutkan dengan sebuah ketukan pintu di malam hari. Tepat selepas aku pulang dari sholat Isya berjamaah di musholla. Setelah kubuka pintu rumah, kudapati orang yang mengetuk tersebut rupanya adalah H. Iskandar Mukhtar, ayah dari Zahra Fitria. Langsung saja kupersilahkan beliau masuk. Aku tidak tahu bahwa beliau hari ini akan datang dari Balikpapan.
"Ya Allah bapak! Masuk pak masuk, silahkan." Kupersilahkan beliau duduk.
"Terima kasih nak Rani." H. Iskandar tersenyum lebar sembari duduk di salah satu kursi di ruang tamu rumah kecilku.
"Bagaimana nak rumah ini? Apa masih bagus atau sudah ada yang bocor?" tanya beliau.
"Oh ngga ada pak, alhamdulillah masih nyaman. Terima kasih karena bantuan bapak saya bisa menyewa dengan harga yang kelewat murah seperti ini." Aku harus terpaksa berbohong kepada beliau. Sebenarnya beberapa bulan yang lalu, ada beberapa genteng yang sudah rusak dan rapuh dan air sempat merembes ke bagian kamarku. Aku memperbaikinya sendiri, membeli dua buah genteng dan naik ke atap rumah menjadi tukang reparasi dadakan. Aku memang sedikit memiliki kemampuan bertukang karena ayahku, selain daripada pengayuh becak—beliau juga merupakan mantan tukang bangunan. Konon semua atap genteng di ULM (Universitas Lambung Mangkurat) dahulu—beliau yang pasang. Begitu cerita beliau dengan penuh kebanggaan walaupun aku tidak paham dimana prestisnya hal itu.
Aku sengaja tidak mengatakan segala kekurangan rumah ini karena bagiku, mendapat sewa yang begitu murah dan tidak wajar ini saja sudah sangat membantuku, H. Iskandar ini memang kalangan orang yang berada dan mampu. Jadi kalau masalah uang, tidak ada masalah bagi beliau. Bahkan dulu beliau ingin menggratiskan saja rumah ini untuk aku tempati. Tapi karena aku segan dan tidak enakan maka aku menolak itu bahkan berniat mencari rumah sewaan lain. Jadi beliau pun terpaksa memasang tarif agar aku mau tinggal disini.
Kubawakan air teh panas yang tadi aku buat di dapur belakang. "Maaf pak cuma adanya ini, silahkan diminum."
"Terima kasih banyak nak Rani." Sahut beliau sembari sedikit menyeruput teh tersebut.
"Saya nggak tahu kalau hari ini bapak ke Banjarmasin, Zahra tidak mengatakan apa-apa tadi ketika kami di musholla." Kataku. Bahkan kulihat raut wajah Zahra yang lebih banyak diam tadi ketika di musholla. Tidak seperti biasanya. Apa ada masalah di keluarga mereka ya? Sehingga pak Iskandar sendiri juga datang dari Balikpapan kemari.
"Iya ... datangnya mendadak, sendiri nggak sama istri. Bapak kesini atas permintaan Zahra dua hari yang lalu." Kata pak Iskandar terkekeh.
"Oh, mungkin Zahra kangen sama bapak."
Bapak Iskandar ini memang paling menyayangi anak-anaknya, terutama Zahra si bungsu yang belum menikah. Beliau sangat sayang dengan Zahra sehingga apapun permintaan Zahra setahuku selalu beliau sanggupi. Termasuk kali ini ketika Zahra ingin ayahnya ini datang maka beliau segera datang.
"Bagaimana tesismu? Dan bapak dengar, nak Rani dalam beberapa minggu ini akan ke Palestina, ya? Wah itu hebat." Kata beliau sambil menyilangkan kedua tangan bersedekap.
"Alhamdulillah pak, rezeki ... ya walaupun takut juga, kan ini lagi hangat-hangatnya konflik yang kembali mencuat." Sahutku.
"Insha Allah ... tidak akan terjadi apa-apa sama nak Rani. Tawakkal, serahkan semuanya kepada Allah."
"Inggih pak terima kasih...!"
"To the point saja ya nak Rani. Kedatangan bapak kemari ... adalah atas permintaan Zahra. Sebagaimana dulu Siti Khadijah ingin melamar Nabi Muhammad melalui pamannya. Bapak ingin menanyakan, adakah rencana nak Rani ingin melamar Zahra? Keluarga kami membuka lebar-lebar pintu itu. Silahkan nak Rani bawa keluarga dan walinya untuk mengutarakan niat baik ke rumah kami."
"Maksud bapak ini apa ya?" wajahku seketika langsung pucat pudar. Jantungku berdegup kencang dan seketika peluh keringat mengucur dari sela-sela pelipis mata.
"Begini nak, Zahra itu ... sebenarnya menyimpan rasa sama nak Rani. Dia mengutarakan kepada bapak ingin segera memiliki hubungan yang halal, hubungan yang Allah ridhoi. Zahra mengatakan tidak baik baginya memiliki perasaan ini terus menerus. Dia ingin nak Rani segera melamarnya jika memang nak Rani juga memiliki rasa yang sama terhadap Zahra." Ungkap H. Iskandar menatapku dengan tatapan serius.
Aku terdiam sejenak, mencerna situasi serba mendadak ini. Bagaimana aku harus bereaksi? Tiba-tiba aku dipersilahkan untuk melamar anak orang. H. Iskandar tidak salah, tak kupungkiri aku memang memiliki rasa yang sama terhadap Zahra. Bahkan aku seketika bahagia ketika tadi dikatakan bahwa Zahra ternyata juga punya perasaan yang sama terhadapku bahkan ia sendiri yang menyuruhku untuk datang melamarnya lewat kedatangan pak Iskandar kemari. Akan tetapi ... hal semacam ini sulit sekali kuputuskan apalagi mendadak. Banyak alasan, satu dan lain hal yang harus ku pertimbangkan. Jujur di usia 24 ini aku sudah sangat siap untuk menikah. Tapi masalahnya adalah, dimana kami akan tinggal? Dirumah kecil ini? Bisakah aku konsisten memberikan nafkah lahir kepada istriku nanti? Ini yang menjadi pertimbangan-pertimbanganku.
Ketika aku mulai memikirkan baik dan buruknya perkara ini. Tiba-tiba Zahra mengetuk dan masuk ke rumahku lalu ikut duduk bersama kami. Ia duduk di samping ayahnya dengan raut wajah tertunduk menahan malu.
"Nah ini anaknya." Kata H. Iskandar.
"Bagaimana nak Rani? Apa kau juga memiliki perasaan terhadap Zahra? Bapak jauh-jauh datang kemari karena Zahra yang meminta. Jika kau memang ada niat baik dengannya, bapak akan membukakan pintu selebar-selebarnya. Keputusan ada padamu. Datang dan lamarlah Zahra bersama orangtuamu."
Aku menatap Zahra dan Zahra tertunduk saat melihatku.
"Ini adalah perkara yang tidak bisa diputuskan secara gegabah Pak. Karena kan ini perkara ibadah dan kalau bisa sekali seumur hidup. Lagipula ... jujur saya katakan saya orang tidak punya dan belum memiliki apa-apa. Apa bapak mau menyerahkan anak bapak kepada orang seperti saya ini?" balasku. Zahra tertunduk lesu, ia bersungut-sungut resah.
"Kau tahu? Bapak sangat menyayangi Zahra. Apapun yang Zahra minta akan bapak kabulkan kalau bapak mampu. Ketika Zahra meminta bapak menyampaikan niatnya ini, bapak jujur sangat senang, karena bapak telah mengenalmu. Kamu anak yang baik, cerdas, dan insha Allah amanah apalagi menyangkut pernikahan. Pilihan Zahra bapak rasa sangat tepat. Maka dari itu bapak langsung setuju jika ia memang sudah mau menikah dan siap menjadi seorang istri. Menjadi istri dari orang sepertimu ... bapak rasa bisa mempercayakan putri bapak ini padamu." H. Iskandar menyentuh dan menepuk bahu Zahra yang ada di sampingnya.
"Saya tidak sebaik yang bapak kira. saya punya banyak keterbatasan pak."
"Tidak ada yang sempurna nak, bahkan dirimu. Tidak akan ada habisnya jika kita mencari sesuatu yang sempurna, ya kan?"
Aku hanya mengangguk pelan.
"Tapi apa kata orang nanti? Dan saya ingin kelak, bisa berdiri sendiri, untuk istri dan keluarga kecil saya pak."
"Bapak paham, kamu tidak usah risau dengan skisma perbedaan. Masalah finansial pun bapak tidak akan ikut campur. Bapak serahkan semua padamu ketika berkeluarga nanti. Bapak sangat yakin kamu bisa mandiri dan membangun segalanya sendiri dengan tanganmu. Sekarang pertanyaannya, apa kau ingin melamar anak bapak?" tanya H. Iskandar cukup terbuka terkait masalah ini.
Ya Allah, apa yang harus kuputuskan? Apakah ini memang sebuah jalan dari-Mu? Sebuah kesempatan untukku agar bisa membangun keluarga atas nama ibadah hanya kepada-Mu? Jika aku sendiri memang memiliki niat melamar Zahra dan engkau telah membukakan jalannya secara mudah seperti ini ... Tolong mampukan aku ya Allah ... dan luruskan niatku sekarang!