SETELAH menunaikan sholat Maghrib dan Isya berjamaah dengan Zahra aku pun bersiap-siap dengannya untuk pergi ke tempat KH. Abdulhaq. Berterima kasih atas segala bantuan beliau dalam akad nikah kami kemarin sekaligus pamit, minta restu dan doa untuk keberangkatanku besok pagi ke Palestina.
"Abah nggak diajak? Beliau kan sudah lama tidak bertemu guru beliau?" tanya Zahra sambil merapikan baju muslimahnya dan membenarkan kerudung di depan cermin.
"Abah sudah tadi siang katanya ke tempat beliau. Beliau waktu akad kemarin kan karena terlalu sibuk jadi tidak bisa ngobrol banyak dengan KH. Abdulhaq."
"Oh, ya sudah! Yuk sayang berangkat." Ajak Zahra. Waktu pun telah menunjukan pukul delapan.
Kami berkendara berdua menuju rumah KH. Abdulhaq. Selama diperjalanan, Zahra menyatakan bahwa ini pertama kalinya ia bisa boncengan berdua bersamaku pakai sepeda motor. Katanya ini sangat romantis. Aku jadi mengingat kejadian tempo hari ketika aku menolak membonceng Zahra waktu itu dan kuceritakan padanya bahwa di hari yang sama, aku malah membonceng seekor anjing dan seorang teman wanita. Zahra tertawa lepas mendengarnya. Ia menertawakan ironi hari itu.
Tanpa terasa kami pun telah sampai. Aku sangat canggung. Ini merupakan kunjungan pertamaku dengan mengajak seorang istri dan tidak lagi datang sendiri. Mendengar suara dari kendaraan bermotorku beliau keluar rumah, membukakan sendiri pagar kecil di depan pintu rumah beliau. Seperti biasa, pakaian beliau selalu nampak sederhana. Memakai kaos oblong dan celana cingkrang dari karung tepung.
Kusambar tangan beliau. Begitu pula dengan Zahra yang sungkem dan mencium tangan beliau.
"Assalamualaikum guru."
"Waalaikumssalam ... mari masuk nak Ahmad." Beliau mempersilahkan kami.
Aku dan Zahra pun duduk bersila di sebuah karpet bulu berwarna merah yang besar di dekat pintu rumah beliau atau di ruang tamu rumah. Ya, rumah beliau ini ruang tamunya memang tidak memiliki sofa, meja atau tempat duduk bagi tamu. Jadi biasa memang duduk lesehan bersila seperti ini saja.
Beliau pun duduk bersila menghadap kami. Istri beliau menghidangkan kami dua cangkir teh hangat.
"Silahkan nak Ahmad!" kata istri beliau.
"Silahkan minum dulu," timpal guruku juga mempersilahkan sembari tersenyum.
"Ahmad sangat beruntung, memiliki istri yang cantik seperti bidadari ini." Kata istri KH. Abdulhaq.
"Alhamdulillah ummi." Sahutku singkat, sedikit malu.
Sebenarnya, aku dulu itu inginnya atau berniat menikah dengan seorang wanita yang biasa-biasa saja dalam hal rupa. Maksudku adalah, yang kecantikannya tidak terlalu terlihat oleh orang lain, hanya aku saja yang mampu melihat dan menilai kecantikannya. Aku tidak menikahi seseorang karena rupanya, melainkan dari pribadi dan karakternya lah yang ku nilai dan menjadi faktor layak atau tidaknya untuk aku nikahi. Kata orang cantik itu relatif, bagiku, asalkan dia sholehah, taat kepada agama, keluarga dan suaminya, serta berakhlak mulia, maka rupa pun akan menjadi terlihat cantik dan menarik dengan sendirinya. Itulah sebenarnya yang paling aku sukai pada Zahra. Ia memiliki kualitas itu. Tapi apa mau dikata ... rupa lahiriahnya pun begitu mempesona. Hampir semua orang akan langsung bisa melihat keelokan wajahnya. Alhamdulillah! Kuanggap itu sebagai sebuah bonus saja.
Sebagaimana salah satu sajak syair karangan KH. Abdulhaq dalam dzikir simaknya. "Allah memberi tanpa diminta."
"Nak Zahra ini sungguh pantas mendampingi Ahmad." Celetuk guruku angkat suara.
"Alhamdulillah, makasih guru...!" balas Zahra.
"Zahra bagaikan Yusuf dalam wujud wanita." Gumam KH. Abdulhaq sembari sedikit tertawa.
"Dengar itu, kamu harus mensyukuri nikmat lahiriahmu. Allah telah memperindah dzahirmu." Sahutku pelan pada Zahra sembari tersenyum menggodanya.
Aku kemudian mengutip salah satu ayat dalam surah Ghafir.
"Allah-lah yang menjadikan bumi untukmu sebagai tempat menetap dan langit sebagai atap, dan membentukmu lalu memperindah rupamu serta memberimu rezeki dari yang baik-baik. Demikianlah Allah, Tuhanmu, Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam."
(QS. Ghafir 64)
KH. Abdulhaq mengangguk-anggukan kepala beliau.
"Ummi masuk dulu ya nak, masih ada kerjaan lain." Ucap istri KH. Abdulhaq yang beranjak masuk ke dapur.
"Nggih Ummi ... terima kasih!" jawabku.
"Jadi besok ya ... berangkatnya?" tanya KH. Abdulhaq serius menatapku. Aku hanya menganggukan kepalaku.
"Insha Allah ... takkan terjadi apa-apa, yakinlah pada Allah!" kata beliau. Aku menoleh kepada Zahra dan dari raut wajahnya ia terlihat amat bahagia dan lumayan tenang dengan kata-kata itu. Seakan-akan ucapan KH. Abdulhaq tersebut mampu meredakan gejolak batin dan keresahannya terkait keberangkatanku besok.
Sudah menjadi tabiat dasar dari orang-orang Banjar, Kalimantan Selatan, yang berbudaya agamis kental—bahwa ucapan atau perkataan seorang alim ulama, kyai atau para wali itu dianggap selalu benar, mengikat, mutlak, dan infalibilitasnya terjaga. Sebentuk fanatisme dari masyarakat kami yang telah mengakar terhadap para pemuka agama tanpa terkecuali juga Zahra.
"Semua sudah dipersiapkan, aku hanya tinggal menyiapkan mental dan meminta restu anda saja disini. Aku juga ingin meminta nasehat dan pesan-pesan yang mungkin akan berguna untukku disana guru."
"Sebenarnya aku ini pun tidak pernah menginjakkan kaki di bumi Palestina, gimana mau ngasih saran." KH. Abdulhaq tertawa.
"Tidak banyak yang bisa kupesankan untukmu disana nak Ahmad, yang kau harus ingat, bahwa dimana pun bumi dipijak ... disitulah langit harus dijunjung. Pepatah ini serasa tepat untukmu, karena kau tidak hanya akan berpijak di bumi, melainkan akan menyongsong kemuliaan langit."
"Apa maksudnya guru?" tanyaku penasaran. Ada sesuatu yang terlalu mistikus dalam ucapan beliau tersebut yang tidak bisa aku artikan secara tersirat. Seakan-akan itu adalah Syatahat atau theopatical stammerings yang begitu saja keluar dari mulut beliau dalam kondisi kasyafnya.
"Itu adalah buminya para nabi dan rasul ... bahkan Nabi kita Muhammad Shalallahu alaihi wasallam pun ber'isra dan Mi'raj disana walaupun beliau tidak lahir disana. Bumi yang akan kau pijak, terhubung dengan nilai-nilai langit. Pewahyuan yang dulu datangnya dari langit. Sebagaimana kemuliaan yang besar dari kota suci Mekkah dan Madinah, Palestina pun merupakan tanah berkah dan karomah." Tambah beliau.
"Akan aku ingat itu guru!"
KH. Abdulhaq kemudian menceritakan sebuah riwayat antara Sayyidina Ali, Sayyidina Umar dan Uwais Al-Qorniy. Sebuah kisah yang beliau dapatkan turun temurun dari Almarhum Syeikh Bahrani Al Martadahi, anak dari Almarhum Syeikh Abdussyukur Al Barikini. Dua wali yang makamnya menampilkan karomah dan cukup dikenal di wilayah mereka masing-masing yaitu di bati-bati kabupaten tanah bumbu dan Kandangan, hulu sungai selatan. keduanya merupakan kerabat atau paman dan kakek dari KH. Abdulhaq atau dengan kata lain masih satu nasab dengan beliau.