HARI ini adalah harinya, dimana aku akan berangkat ke Palestina. Aku telah mempersiapkan segala sesuatunya. Passport dan keperluan-keperluan lainnya seperti baju, pakaian, obat-obatan seperti neuralgin—analgesic yang wajib kubawa ketika kemana-mana karena ini satu-satunya obat pereda sakit paling ampuh bagiku. Biasanya kalau merasa pusing, aku minum itu.
Setelah mandi dan menunaikan sholat Subuh berjamaah bersama istriku Zahra, aku memakan sedikit sarapan yang telah Zahra siapkan walaupun hanya roti bakar dengan olesan selai nanas dan coklat. Nampak tak ada pancaran gairah dan aura kesenangan menyinari wajah Zahra hari ini. Aku cukup dapat memahami hal itu. Hari ini adalah hari perpisahan kami untuk sementara waktu. Mungkin akan berbeda dan Zahra pasti biasa-biasa saja—andai negara yang akan kutuju ini Jepang, Amerika atau lainnya. Masalahnya ini adalah Palestina, dan keberangkatanku bertepatan dengan waktu dimana tensi-tensi panas antara Hamas dan Israel sedang berkecamuk. Belum lagi serangan yang dilancarkan oleh hizbullah, membuat konstelasi konflik dalam beberapa minggu ini selalu naik dan tidak ada tanda-tanda akan segera mereda.
Sembari memakan roti bakarku dan menyeruput teh hangat yang Zahra siapkan, kami berdua duduk berdampingan di meja makan. Aku coba menenangkan hati Zahra dengan mengatakan bahwa aku akan sebaik mungkin menjaga diri disana. Kutenangkan ia dengan membacakan surah Ar Ra'd 28, surah gemuruh atau guntur, untuk menenangkan gemuruh di hati Zahra.
"Allazina amanu wa tatma innu qulubuhum bizikrillah, ala bizikrillahi tatma innul-qulub"
Bahwa hanya dengan mengingat Allah, hati akan menjadi tenang.
"Orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram."
(QS. Ar Ra'ad 28)
"Ingat sayang, jangan lalaikan waktu sholat. Harus tepat waktu! Dan jika ingin berjamaah seperti biasa, silahkan, tapi tidak apa untuk wanita jika sholat sendiri di rumah." Kataku berpesan dengan serius menatap nanar ke arah Zahra. Zahra hanya menunduk dan mengangguk. Dapat kulihat bibirnya bergetar walau mulutnya tertutup. Ia sedang berusaha keras menahan pecahnya sebuah tangisan.
"Sayang baik-baik ya selama aku pergi. Jaga kesehatan juga sampai nanti aku balik. Kalau mau pergi kuliah ... harus hati-hati, jangan ngebut atau buru-buru bawa motornya."
Zahra hanya menganggukan kepala tanpa sepatah pun kata.
"Ayah dan ibu tidak datang?"
"Katanya mereka sudah berangkat dari hotel. Mereka langsung ke bandara." Jawab Zahra lirih.
"Baiklah kalau begitu ... sudah saatnya kita berangkat." Ajakku sembari melihat ke arah jam dinding.
Aku mengetuk pintu rumahku dan disana sudah kudapati bibi Alpukah, Haris, Mita dan si kecil Teguh telah siap untuk mengantarku. Bibi Aplukah mengatakan bahwa bibi Salamah tidak bisa ikut ngantar, beliau hanya titip salam. Ayahku serta mereka semua juga telah bersiap. Kami kemudian memesan sebuah mobil taksi dari aplikasi. Tidak berselang lama mobil jemputan kami datang.
Aku duduk di depan bersama supir. Ayahku dan Haris duduk paling belakang sementara Zahra duduk dekat bersebelahan dengan Mita dan bibi Alpukah serta Teguh yang sedari tadi masih asyik tertidur dan hanya terjaga sebentar-bentar. Zahra mengajak bercanda dan mengulik tubuh kecil Teguh sebagai hiburan hatinya selama perjalanan ke bandara.
Hanya butuh waktu sekitar dua puluh tujuh menit dari Handil Bhakti menuju bandara Internasional Syamsuddin Noor di kawasan landasan ulin karena perginya pagi hari, jalanan belum terlalu macet dan masih lancar. Sesampainya di bandara, disana telah ada kedua mertuaku, H. Iskandar dan Ummu Zainab, mereka berdua menunggu di depan gerbang masuk bandara. Kami semua turun dari mobil lalu Zahra langsung dipeluk oleh ayah dan ibunya. Begitu pula denganku, H. Iskandar dan Ummu Zainab memelukku erat sebagaimana aku telah menjadi seperti anak mereka sendiri.
Ayah, bibi dan keluargaku berjabat tangan dengan kedua orangtua Zahra. Sementara mereka semua mengobrol, aku pergi sebentar untuk check-in dan mengambil boarding passku. Zahra bersikeras meminta ikut walau sudah kukatakan hanya sebentar saja. Hatiku semakin sedih melihat sikap Zahra yang seakan sangat memanfaatkan waktu bersamaku. Apakah kepergianku begitu berat baginya?
Boarding pass telah di tangan dan tinggal menunggu panggilan dari terminal keberangkatan Jakarta. Aku duduk bersebelahan dengan Zahra. Sekali lagi kubisikan sesuatu padanya, "Jaga diri baik-baik ... tenang saja aku pasti akan kembali, insha Allah!"
Zahra hanya menyenderkan kepalanya di bahuku.
Aku bersyukur bahwa di keberangkatanku kali ini, aku telah memiliki seorang istri. Tak terpikirkan bahwa aku ke bandara sendiri dan tidak ditemani oleh siapapun seperti ini. Sungguh sebuah mimpi yang menjadi kenyataan dengan cepat. Kulihat ayahku masih bicara dengan kedua orangtua Zahra. Haris dan Mita juga terlihat bicara berdua. Kudekati mereka semua dan mencoba untuk sedikit mengajak si kecil Teguh bercanda. Ia telah bangun, tidak rewel, hanya kebingungan dengan situasi ramai dari bandara.
Panggilan untuk penerbangan telah diumumkan, pesawatku take off beberapa menit lagi. Semua penumpang diharap bersiap ke portal. Keluargaku serta Zahra merapat untuk memberikan salam perpisahan. Kupeluk ayahku, bibiku dan sepupu-sepupuku.
"Jangan lupakan sholat ... jangan lama-lama disana." Gumam ayahku sembari memelukku.
"Abah juga, hati-hati dalam perjalanan pulang ke Palangka. Nanti kalau sudah sampai Palangkaraya, sms Rani, ya."
"Iya, nanti abah sms. Tahu sendiri kan, daerah disana pedalaman desa, sinyal buat hp disana susah."
"Jaga dirimu disana ya Ran. Perhatikan makanan, jangan sampai telat makan." Sahut Bibi Alpukah.
"Selalu bi ... makasih banyak bibi."
"Nanti jangan lupa oleh-olehnya ka." Sahut Mita.
"Iya nanti, tentara Israel," kataku meledek Mita. Sembari kucubit pipi Teguh yang menatap penuh bingung tidak mengerti apa-apa digendongan oleh Mita.