TANPA terasa penerbangan 21 jam kami dari Jakarta ke Amman, Yordania telah sampai. Pesawat kami landing di bandara Internasional Queen Alia di ibukota Yordania. Aku, Dene, Sidik dan Rahman segera turun di pandu oleh pak Syamsul Jauhari dari KBRI Amman dan dua staff dari KJRI Indonesia untuk Palestina yakni pak Idris Irshad dan mas Jamali yang tadi menggiringku menuju rombongan ketika sedang kebingungan di Soekarno-Hatta. Dua orang lagi dari rombongan kami adalah Arat Musa Akbar dari Network For Palestinian Tourism Organization yang menaungi urusan kepariwisataan dan Anthony Lehman dari pihak UNESCO.
Setelah menunggu beberapa menit untuk mendapatkan tas dan koper bawaan kami kembali, rencananya perjalanan akan diteruskan dengan menaiki sebuah bus besar. Rombongan kami berjumlah sembilan orang ditambah empat orang lagi yang telah bergabung dari bandara Queen Alia. Sekitar lima belas menit kami menunggu sampai akhirnya bus jemputan yang akan membawa kami melewati perbatasan dan masuk ke wilayah tepi barat datang.
Dari bandara kami menaiki sebuah bus berukuran besar berwarna kuning menuju perbatasan Yordania dan Israel untuk memasuki wilayah tepi barat, Palestina. Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan kembali. Perjalanan darat berjarak tempuh 234 km yang akan memakan waktu kurang lebih 4,5 jam. Di dalam bus pak Syamsul menjelaskan bahwa nanti ketika telah sampai di perbatasan, akan ada serangkaian proses pemeriksaan. Beliau mengingatkan kami untuk bersikap santai, biasa saja, tidak perlu takut dan tidak terlalu terintimidasi sesampainya disana ketika pemeriksaan berlangsung. Ini merupakan hal lumrah dan biasa ketika memasuki wilayah Israel dan Palestina. Terlebih sekarang kami disertai oleh otoritas pariwisata Palestina yang sudah sangat berpengalaman memasukan para turis ke sana dan juga ada staff dari PBB.
Memasuki wilayah Palestina memang tidak semudah memasuki wilayah negara-negara lain di dunia. Dari yang kudengar prosesnya sendiri agak merepotkan dan melelahkan, bahkan tidak jarang para pengunjung mendapat masalah keimigrasian dan akhirnya dilarang memasuki wilayah Palestina. Israel selaku pihak yang berotoritas penuh pada akses dari dan ke Palestina memang memberlakukan pengawasan yang ketat. Mereka berkutat dengan konflik-konflik internal dalam wilayah mereka jadi tidak heran jika penjagaan terhadap orang luar sedemikian ketatnya. Apa yang mereka lakukan adalah demi keamanan nasional dan stabilitas negara mereka.
Jujur saat ini aku tidak terlalu peduli atau pun takut bagaimana proses penjagaan dan pemeriksaannya nanti. Toh kami datang secara resmi untuk sebuah acara internasional yang dinaungi PBB. Sama halnya ketika para jamaah haji atau agen perjalanan travel dari Indonesia yang telah sering membawa keluar masuk orang Indonesia ke Palestina. Aku lebih condong pada perasaan excited dan antusias menyongsong kedatanganku ke tanah suci dari tiga agama samawi dan melihat dengan mata kepala sendiri keagungan dan kemegahan kompleks Masjidil Aqsha yang mengagumkan itu.
Sepanjang perjalanan yang kulakukan di bus hanyalah berbincang dengan pak Syamsul, Dene, Sidik serta Rahman terutama Rahman yang mengeluh kepada pak Syamsul dengan nada bercanda dan tak terima kenapa dirinya seorang saja yang duduk dekat dengan beliau ketika dalam pesawat tadi, sementara Aku, Dene dan Sidik duduk berdekatan sehingga kami telah merajut ikatan keakraban.
Aku dan Rahman berkenalan di dalam bus, begitu pula dengan Dene dan Sidik. Rahman memiliki aksen jawa yang sangat kental alias mendok. Ia mengatakan berasal dari Sleman, Yogyakarta. Rahman terkesiap ketika Sidik memberitahunya bahwa Aku baru saja menikah, begitu pula dengan pak Syamsul.
"Selamat, selamat! Pengantin baru yo ini," kata Rahman dengan aksen mendoknya memberi ucapan selamat padaku.
"Selamat ya Ahmad!" sahut pak Syamsul yang juga tersenyum lebar memberiku ucapan selamat sembari menyodorkan tangan beliau. Aku menjabat tangan pak Syamsul sambil mengucapkan terima kasih atas ucapannya.