SEBUAH kota yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO karena merupakan salah satu kota tertua di dunia. Yerusalem! Kota ini memiliki mozaik perbukitan yudea yang indah. Bangunan dan pemukiman warga berwarna putih dan kuning menghiasi lanskap kota.
Semua tertegun sembari serempak menengok ke luar kaca jendela bus. Kota ini layaknya kota-kota biasa seperti yang kami tadi lalui. Yang membedakan hanyalah kota ini jauh lebih padat dengan bangunan-bangunan rumah tingkat dua dan tiga berwarna putih. Beberapa bangunan jauh lebih tinggi dan bergaya artistik khas timur tengah dengan beberapa menara. Kota Yerusalem, di kelilingi oleh hamparan lembah atau wadi yang saling tumpang tindih, tinggi ke rendah. Tembok-tembok yang saling berjajar terutama tembok yang mengelilingi kawasan kota lama. Semua hal tentang kota ini seolah-olah hanya tentang tembok. Tembok batu putih yang bersusun sepanjang jalan, banyak menghiasi lanskap dan wajah dari kota. Denyut nadi kota ini cukup padat menyiratkan jamahan modernisasi. Di setiap sudut dan pinggir jalan maupun bangunan ataupun tembok-temboknya, banyak terselip pepohonan. Ada pohon cemara yang menjulang tinggi, pohon sawit dan pohon jenis tusam atau pinus serta dari jenis cedrus libani.
Bus kami kemudian berjalan pelan memasuki area parkiran. Pak Arat mengatakan ini adalah hotel tempat kami tinggal selama tiga hari ke depan. Mamilla Hotel, sebuah hotel bintang lima berkelas dunia dengan bangunan setinggi tujuh lantai yang berada di Shlomo Ha-Melekh 11 Street dekat persimpangan antara jalan Yitzhak Kariv, Gershon Agron dan King David Street. Di seberang hotel ini ada semacam toko, yang kutahu adalah sebuah butik. Kami semua turun dari bus membawa koper dan bawaan masing-masing. Roomboy telah menyambut kami, membantu membawakan barang-barang bawaan. Mr. Lehman dan orang-orang dari UNESCO menuntun kami untuk melakukan check-in. Setelah kami semua turun, bus kami kemudian beranjak melanjutkan perjalanan menuju pusat perhentian dan terminal bus kota di jalan Yafo.
Mas Jamal, pak Idris dan pak Arat mengatakan bahwa dalam seminggu ini kami semua akan tinggal disini. Sebagian besar peserta seminar ditempatkan di hotel lain di kota ini sesuai negara. Hotel ini khusus untuk kami saja, berjarak tidak terlalu jauh dari pusat kota dan kota lama Yerusalem. Hotel ini juga tidak terlalu jauh dari gedung tempat acara seminar nanti dilaksanakan. Kamar hotelnya sangat luas dan bagus dengan grendel pintu canggih yang bisa dikunci otomatis. Aku, Sidik dan Rahman ditempatkan dalam satu kamar yang sama. Hanya Dene yang mendapatkan kamar tersendiri. Sidik nyeletuk dengan nada tak terima, tentu sekedar bercanda, bahwa ini tidak adil, hanya karena Dene merupakan salah satu pembicara dan kami hanya tamu lalu dibedakan.
Temperatur udara di awal bulan ini memang agak lembap namun stabil disini. Suhu udara mencapai 14 sampai 15 Celcius atau rata-rata 61 Fahrenheit panasnya. Kami semua mengepak bawaan kami di dalam kamar. Walaupun kami disini bertiga dalam satu kamar, tetapi ini merupakan suite room yang super besar dengan tempat tidur untuk masing-masing dari kami dan kamar mandi yang berbeda. Tempat tidur yang besar dan empuk dengan beberapa sofa putih dan televisi layar datar besar di dalam ruangan kamar. Sidik berkata bahwa ia tidak pernah merasakan tidur di hotel bintang lima. Rahman yang sudah biasa bepergian ke luar negeri menanggapi biasa segala kemewahan kamar hotel ini. Kami bertiga sepakat akan menjelajahi dan berjalan-jalan santai di hotel ini. Kami ingin naik ke atap teratas dari hotel, konon ada sebuah balkon indah yang bisa menjangkau keseluruhan lanskap dan pemandangan kota. Namun sebelum itu, semua staff PBB dan kedutaan mengajak kami untuk kembali makan-makan di restoran hotel. Makanan yang disajikan disini sungguh luar biasa mewah dan tentu saja enak. Bisa kutaksir harga makanan yang kami santap disini mungkin puluhan sampai ratusan dollar.
Sembari makan, Mr. Lehman menjelaskan detail acara seminar esok hari. Yang akan memandu kami sebelum dan sesudah seminar untuk berjalan-jalan menyusuri kota Yerusalem adalah pak Arat Musa sebagai orang yang bertanggung jawab memandu kami. Kami juga disuruh mengkonversi uang dollar kami ke uang shekel, mata uang resmi yang dipergunakan di teritori Palestina dan Israel atau di kota ini untuk mempermudah kami jika ingin berbelanja nanti. Kurs mata uang dollar ke shekel sekarang ini berkisar 3,45 shekel untuk 1 dollar. Aku menukarkan sekitar 500 dollar menjadi 1.725 shekel. 1 shekel berkisar 4 ribu jika di rupiahkan. Kuperhatikan uang kertas shekel pecahan 20, 50, 100 dan 3 lembar pecahan 200 yang sedang kupegang ini. Aku tidak tahu gambar siapa yang ada di uang kertas mereka, yang kutahu katanya wajah tokoh di uang kertas shekel ini bukanlah gambar tokoh seorang pahlawan layaknya uang dari negara-negara lain seperti Indonesia. Mereka tidak memasang wajah pahlawan melainkan menampilkan wajah-wajah penyair besar Israel beserta kutipan syi'ir atau bait puisi karangan mereka. Katanya merupakan cara negara ini menjunjung tinggi dan menghargai seni sastra. Beberapa uang koin pecahan 1, 2, 5 dan 10 Agorot juga disodorkan kepada kami. Koin bertuliskan huruf Ibrani, bergambarkan sebuah menorah atau simbol kaki dian.
Selesai makan, seperti rencana kami sebelumnya kami ingin ke balkon atas hotel untuk melihat keseluruhan kota Yerusalem dari atas. Dene mengatakan ingin ikut dan pak Arat Musa menawarkan diri untuk memandu kami ke atas. Jadi kami berlima naik ke bangunan paling atas. Sungguh tidak sia-sia perjuangan kami untuk mencoba naik ke balkon atas. Dari atas sini kami dapat dengan jelas melihat tembok ikonik di kawasan kota lama Yerusalem. Hotel ini memang berjarak tidak terlalu jauh dari kota lama sehingga semuanya nampak jelas dari atas sini. Tidak sabar rasanya ingin menginjakkan kaki disana.Â
Pak Arat Musa dengan fasihnya menjelaskan kepada kami tempat-tempat ikonik yang ada di Yerusalem dari atas sini.
Aku dapat melihat kota lama dan kemegahan kompleks Al-Aqsha terutama kubah emas As-Shakrah atau Dome of Rock yang dibangun oleh kekhalifahan Bani Umayyah pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan.
Di saat-saat seperti inilah aku langsung teringat akan istriku, Zahra. Aku lupa bahwa kerinduanku padanya telah membuncah sedari tadi. Aku ingin buru-buru kembali turun kebawah ke kamar dan menghidupkan ponselku kembali. Aku ingin segera mengabari Zahra dan keluarga di Indonesia bahwa aku telah sampai dengan selamat. Aku meminta pak Arat untuk membantuku memasukkan kode negara dan kode area agar bisa melakukan panggilan luar negeri.
Setelah puas melihat-lihat keadaan kota dari atas sini, kami pun segera turun kembali ke kamar kami. Dene mengeluhkan kenapa ia tidur terpisah sendiri dan tidak tergabung bersama kami bertiga. Rahman mengejek, ia mengatakan bahwa di pesawat ia harus terisolir sendiri dan sekarang giliran Dene yang harus merasakannya. Dene harus fokus menyiapkan segala materi untuk presentasi seminarnya. Tema bahasan atau isu yang akan diangkatnya nanti katanya adalah akibat dan dampak kemajuan nuklir dalam subyek militerisasi bagi masa depan kehidupan di dunia. Aku, Sidik dan Rahman kembali ke kamar kami dan Dene ke kamarnya sendiri. Kubuka dan bongkar koperku, langsung kuambil ponsel pintarku dan menghidupkannya.
Setelah melakukan registrasi dan aktivasi kembali seperti memasukan kode negara, kode area dan sebagainya—kutekan nomer istriku. Alhamdulillah! Ponselnya berdering. Tak sabar rasanya ingin kembali mendengar suaranya. Hatiku sangat merindu. Kutatap jam dinding bulat besar di kamar ini dan kulihat telah menunjukan waktu pukul lima lewat beberapa menit sore waktu Palestina. Indonesia dan Palestina selisih beda lima jam dan selisih enam jam dengan waktu Indonesia Tengah atau WITA. Berarti ini sudah sekitar jam 11 malam waktu Banjarmasin. Semoga saja istriku belum tidur pulas. Aku sangat ingin menelpon dan mengabarinya, bahwa aku telah sampai dengan selamat di Palestina.