PAGI hari ini selepas bangun tidur aku langsung mandi, lalu kemudian berpakaian rapi memakai setelan jas hitam, pakaian formal untuk para tamu seminar. Kami semua diajak oleh Mr. Lehman dan staff PBB yang lain untuk sarapan bersama mas Jamali dan pak Idris dari konsulat sebelum menuju ICC Yerusalem, tempat perhelatan acara seminar diselenggarakan. Aku tidak melihat Dene bergabung sarapan bersama kami. Kutanya pada Mr. Lehman, beliau mengatakan bahwa Dene telah meluncur lebih dulu ke tempat acara bersama Mr. Elijah Calum, salah satu staff UNESCO yang mulai kemarin mendampingi kami. Dene harus mempersiapkan presentasinya disana.
Mr. Lehman mengatakan kepada kami bahwa acara akan diadakan di gedung Internasional Conventions Center Yerusalem di jalan besar Shazar Ave. Untuk pertama kalinya Mr. Lehman berbicara banyak kepada kami. Beliau sangat terbuka dan ternyata cukup ramah orangnya untuk seorang pria yang berusia 44 tahun. Beliau berbicara padaku dan mengatakan bahwa beliau juga memiliki dua orang anak laki-laki seusiaku, yang satu sedang berkuliah di MIT Massachusset, Amerika serikat dan yang satunya, merupakan lulusan Stanford, telah bekerja di kantor PBB di Jenewa, Swiss mulai tahun kemarin. Yang membuat kami tersentuh adalah bahwa Mr. Lehman yang notabene nya merupakan non-muslim, mengatakan cukup berempati dengan apa yang terjadi dengan warga muslim di Palestina. Beliau memimpikan dan berharap akan adanya sebuah perdamaian abadi yang kelak akan terjadi di negeri ini. Sebuah utopia harapan yang menurutku terlalu tinggi namun tetap layak di apresiasi. Mr.Lehman cukup senang dengan dicanangkannya seminar internasional ini sebagai agenda tahunan.
"Ini adalah langkah awal kami (UNESCO) berkontribusi untuk mewujudkan tatanan dunia yang lebih damai, tanpa konflik dan berkemajuan." Kata beliau optimis.
"Insha Allah negeri ini akan damai, jika kita sebagai manusia mau berpangku tangan, saling peduli dan selalu berempati kepada mereka-mereka yang tertindas disini. Dan berusaha mewujudkan kedamaian abadi bagi seluruh manusia dan kemanusiaannya." Sahutku, terdengar terlalu naif jika dilihat dari sudut pandang latar belakang konflik negara ini, ya kan.
"Ayo habiskan sarapan kita, sekitar empat puluh menit lagi acaranya akan dimulai, kan?" desak Sidik.
"Bukannya satu jam lebih lagi, di brosurnya tertera seperti itu." Sahut Rahman.
"Segeralah kalian bergegas. Kami tetap di hotel." Kata pak Idris Irshad menyebut dirinya dan mas Jamali yang tidak akan menghadiri seminar tersebut.
"Yang akan ikut dengan kalian selain orang-orang UNESCO adalah pak Arat Musa." Kata mas Jamali.
"Iya, aku akan ikut mendampingi kalian karena nanti setelah acara, kalau waktunya sempat, kita akan ke bagian kota lama dari Yerusalem sebagai bentuk karya wisata yang termasuk ke dalam paket acara. Kalau tidak sempat ya besok." Sahut pak Arat, terlihat masih melahap sarapan paginya.
"Itu memang yang sedang kami tunggu-tunggu dari kemarin. Mengunjungi tempat paling ikonik dari kota ini." Sahut Rahman.
Benar apa yang dikatakan Rahman, aku pun sudah tidak sabar semenjak datang kemari untuk cepat-cepat mengunjungi kompleks Al-Aqsha. Nyawa dan wajah dari kota Yerusalem. Simbol kesucian, kemegahan dan kekayaan sejarah negeri ini, negeri Palestina.
Aku juga teringat akan sesuatu, tujuan lain aku datang kesini. Mengingat Masjidil Aqsha membuatku teringat kembali dengan legenda tabut perjanjian itu, yang erat kaitannya dengan sejarah dari kota lama. Surat dari langit yang menuntunku kemari. Sebentar lagi, aku akan segera menemui Prof. Abdul Rashied Imanullah. Orang yang seperti apakah beliau? Aku bertanya-tanya dalam benakku. Aku jadi ingat untuk menanyakan sosoknya kepada Mr. Lehman selaku salah satu panitia acara. Mungkin saja beliau mengenal Prof. Abdul Rashied ini.
"Tuan Lehman, apakah anda mengenal seseorang bernama Prof. Abdul Rashied Imanullah?" tanyaku sembari berdehem.
"Maaf, siapa?" tanya Mr. Lehman
"Profesor Abdul Rashied Imanullah. Orang yang merekomendasikanku untuk menghadiri seminar ini."
"I'm sorry, Mr. Rani, aku tidak mengenal beliau. Mungkin tuan Devon mengenalnya!" jawab Mr. Lehman sembari melirik kearah Mr. Devon Ludrich, salah satu orang UNESCO rekan Mr. Lehman yang juga satu meja sarapan bersama kami.