ACARA Seminar telah berlangsung selama lebih dari tiga jam. Ini sudah masuk jam makan siang dan sudah masuk sesi break, jeda satu jam lebih ke depan untuk makan siang. Kemungkinan besar seminar ini akan berlangsung selama beberapa jam lagi, mungkin akan sampai malam baru selesai. Dari agendanya, acaranya ini dijadwalkan berlangsung selama tiga hari dimana satu hari adalah acara utama, satu harinya merupakan sesi tour jalan-jalan ke kota lama Yerusalem dan hari terakhir adalah acara penutupan atau closing seremoni yang juga akan diadakan di gedung ini. Aku, Sidik, dan Rahman berencana untuk mengunjungi Dene, masalahnya adalah kami tidak tahu dimana ia sekarang berada. Kami bertanya kepada pak Arat Musa tetapi beliau juga tidak tahu karena bukan wewenang beliau. Kami ingin menanyakannya kepada Mr. Lehman tetapi keberadaan beliau pun tidak kami ketahui dimana. Mungkin beliau juga sangat sibuk sekarang.
Kami pun beranjak ke aula khusus makan-makan. Tempat ini dipadati oleh ratusan orang, areanya cukup luas dengan banyak meja makan bundar. Ini adalah ruangan makan khusus untuk kami para tamu undangan sementara para pejabat dan para petinggi pemerintahan atau orang-orang penting berbagai negara—makan di ruangan yang berbeda. Ruangan ini khusus untuk para tamu saja, maka dari itu kami tidak melihat Mr. Lehman ataupun Mr. Devon disini.
Kami bertiga celingukan, pandangan kami menyisir ruangan untuk melihat kalau-kalau ada Dene dan mengajaknya kumpul bersama kami. Sayangnya, kami tidak menemukannya di tempat seramai ini.
Selesai makan, aku segera beranjak ingin mencari tempat untuk menunaikan sholat. Ini telah memasuki waktu sholat Dzuhur.
"Dimana ya tempat sholat disini?" tanyaku sembari menerawang seluk beluk sekitaran gedung ini dalam keadaan masih duduk di meja makan bersama Sidik, Rahman dan beberapa orang asing yang juga satu meja bersama kami.
"Tanya pak Arat Musa saja, mungkin beliau tahu." Kata Sidik
"Iya, tapi mana beliau?" tukas Rahman.
"Nah, tuh orangnya." Tunjuk Sidik ke salah satu meja makan dimana ada pak Arat Musa duduk.
"Kita tanya pak Arat aja, ayok." Ajak Rahman.
Kami yang telah selesai makan siang, beranjak dari meja makan dan langsung menghampiri pak Arat Musa.
"Maaf pak, ini sudah masuk waktu Dzuhur. Kalau mau sholat dimana ya?" tanya Sidik pada pak Arat.
"Oh, kalian. Sudah makan?"
"Sudah pak!" sahutku.
"Kalau mau sholat, disini ada ruangan khusus kok. Tunggu, akan saya beritahu tempatnya." Kata pak Arat sembari menjelaskan tempatnya.
Beliau mengatakan juga akan menyusul kesana untuk menunaikan sholat ketika telah selesai makan. Kami kemudian beranjak menuju tempat ruangan yang telah ditunjukan oleh pak Arat tadi. Ternyata letaknya tidak jauh dari ruang makan kami. Di tiap lorong dan sudut dari gedung ini dipenuhi oleh banyak orang. Kami sempat kebingungan mencari ruangan yang telah diberitahu oleh pak Arat walaupun pada akhirnya kami berhasil menemukannya. Kami dapati sebuah ruangan ber AC yang sejuk dengan karpet merah dan hijau membujur. Ini merupakan ruangan gabungan yang dikhususkan untuk ibadah, artinya ini bukan saja sebuah mesjid namun juga sinagoga, gereja, dan kuil. Tempat ini terbuka untuk siapapun dari agama apapun untuk beribadah disini. Tempat ini memang spesial dipersiapkan untuk mereka-mereka yang ingin beribadah. Nampak terlihat berbagai simbol-simbol agama lain di ruangan ini seperti adanya Magen David atau bintang Daud yang tertempel di dinding, sebuah menorah diatas meja berdampingan dengan patung Bunda Maria dan ada patung salib berukuran sedang juga terpasang di salah satu sudut dinding ruangan. Di sudut lain di sebuah altar—berjejer patung ganesha, krishna dan beberapa foto atau gambar dari dewa-dewa hindu. Tidak lupa juga ada patung arahat dan patung Avalokvetaswara untuk mereka yang buddha.
Kami bukan yang pertama tiba disini. Setelah kami memasuki ruangan ini, telah ada beberapa orang yang beribadah disini, kebanyakan dari para tamu undangan yang muslim yang juga sedang menunaikan sholat Dzuhur dan ada sekitar empat orang non muslim yang melakukan ritus agama yahudi, salah seorang malah melakukan tefillah lengkap dengan jubah tallit dan tefillin di kepala, talinya melilit ke sebelah lengannya. Tefillin sendiri merupakan perangkat wajib dalam ibadah tefillah kaum yahudi. Sebuah kotak hitam kecil dari kulit sapi yang berisi perkamen-perkamen atau potongan ayat-ayat taurat yang ditempelkan di kepala. Tiga orang yang lain hanya merapalkan doa-doa dalam Siddur, mungkin... namun tidak melakukan tefillah. Mereka juga merupakan orang yahudi karena menggunakan kippah kecil di kepala mereka dan tallit, sebuah jubah khas yahudi untuk beribadah.
Kami bertiga mengambil wudhu. Setelah itu, Sidik dan Rahman mempersilahkanku untuk mengimami sholat berjamaah kami kali ini.
"Silahkan saudara Rani, tolong imami sholat kami." Kata Rahman.
"Tapi kamu lebih tua dariku man." Sahutku.
"Apa harus yang tua mengimami yang muda?" tanya Sidik.
"Nggak juga sih. Nggak ada aturan seperti itu." Desisku sambil tersenyum.
"Antum saja, antum lebih pantas dan lebih layak dalam hal ini." Kata Rahman sembari kedua tangannya memijat-mijat bahuku.
"Iya Ran, kamu lebih paham. Kami persilahkan kamu mengimami sholat kita kali ini." Timpal Sidik.
"Baiklah kalau gitu. Mari kita mulai saja sholat kita." Ajakku.
Kami pun menghadap ke corner khusus sholat bagi yang muslim yang mengarah ke arah kiblat dan sudah terhampar dua baris karpet atau sajadah lembut berwarna merah. Aku pun mengangkat takbir dan mulai mengimami sholat.
Setelah kami selesai menunaikan sholat Dzuhur, aku melanjutkannya dengan wirid dan dzikir. Disela-sela tawajuh kami, Sidik yang sedari tadi memperhatikan beberapa muslim lain yang sedang sholat di ruangan ini tiba-tiba berceloteh sinis.
"Lihat itu! Apa itu Syiah?" gumamnya.
"Mana?" tanya Rahman.
"Itu yang sholatnya tidak bersedekap."
"Oh, orang itu?" Rahman menatap orang yang dimaksud Sidik.
Aku hanya tersenyum dan tertunduk sambil mulut dan tanganku tidak berhenti melafadzkan dzikir. Mungkin bagi Sidik dan Rahman, mereka tidak biasa atau bahkan belum pernah melihat keragaman tata cara ibadah antar Mazhab seperti ini, bahkan dalam tubuh ahlusunnah sendiri ada beberapa perbedaan gerakan sholat. Fikih ikhtilaf dan berbagai macam ritus sholat dari salah satu Mazhab yang sebenarnya masih asing di Indonesia.
"Jangan suudzon dulu. Bisa saja dia merupakan orang yang bermazhab Maliki." Sahutku sembari komat Kamit masih berdzikir.
"Maliki? Memangnya tidak bersedekap juga ya Ran?" tanya Sidik seperti baru mengetahuinya.
"Iya! Mazhab Malikiyah juga tidak bersedekap dalam sholat mereka. Maliki sendiri merupakan Mazhab besar dan merupakan Mazhab resmi yang dianut oleh jutaan muslim di wilayah afrika utara yang meliputi Aljazair, Maroko, Tunisia, Libya dan sebagian daerah pesisir mediterania di eropa. Wajar kalian tidak pernah melihat hal seperti ini karena memang Mazhab Maliki sendiri agaknya sangat jarang di dapati di negara kita."
"Wah aku baru tahu Ran." Kata Rahman.
"Sama, aku juga baru tahu ini. Lantas, kenapa maliki dan syiah tidak bersedekap dalam sholat mereka?" tanya Sidik.