Semesta Ayat : Sakinah Di Palestina

Raz Aka Yagit
Chapter #18

Wali Berjubah Ailurophilia

PAGI hari ini aku terbangun dengan badan yang masih agak lelah tapi alhamdulillah masih sangat fit dan sehat. Sayangnya tidak untuk Sidik. Ia mengalami gejala demam—mungkin karena terlalu lelah akibat acara kemarin dan imunitas tubuhnya pun tidak terlalu kuat. Kami pertama kali menyadari Sidik tidak enak badan dan sakit ketika hendak membangunkannya untuk sholat Subuh. Rahman yang bangun lebih dulu dariku, langsung memberitahu bahwa Sidik kemungkinan mengalami demam. Kami berdua pun seketika panik dan pagi-pagi sekali kami menghubungi orang dari Konsulat, mas Jamali dan pak Idris yang alhamdulillah masih menginap di hotel ini. Pak Arat juga diberitahu bahwa ada salah satu dari kami yang sakit. Malahan beliaulah yang mengurus segala urusan seperti menelpon dokter untuk datang ke hotel kami memeriksa kondisi Sidik. Sebenarnya beliau ingin memanggil ambulance dan mengantarkan Sidik ke rumah sakit untuk rawat inap tetapi kata pak Idris panggil dokter saja dulu, kalau memang harus rawat inap di RS maka Sidik akan segera dilarikan ke RS terdekat. Tapi alhamdulillah, syukurlah ketika diperiksa dokter mengatakan bahwa apa yang dialami Sidik hanyalah demam biasa dan tidak apa-apa dirawat di kamar hotel ini saja. Dokter hanya memberinya suntikan dan obat-obatan untuk diminum. Pak Idris memintaku dan Rahman untuk mengurus Sidik selama ia sakit. Dengan senang hati kami akan merawat Sidik tetapi hari ini ada kegiatan tour ke kompleks kota lama. Pak Arat meminta salah satu temannya, pak Tsair Shadi, seorang Arab-Palestina untuk diminta menjaga dan merawat Sidik selama kami semua pergi ke kota lama.

Aku, Rahman dan Dene meminta ijin kepada Sidik untuk berangkat tanpa dirinya. Dengan ucapan lirih karena lesu dan sakit, Sidik tersenyum dan bilang tidak apa-apa kami semua pergi. Kami berjanji setelah pulang dari kegiatan hari ini, kami semua akan menemani Sidik dan membantu merawatnya.

"Jangan lupa makan biar pun sedikit Dik." Ucap Dene.

"Obatnya jangan lupa diminum." Sahut Rahman.

"Syafakillah, insha Allah kamu akan sembuh! Yakin sama Allah, terus berdoa dan cukupkan istirahat." Kataku.

"Terima kasih ustadz Rani!" ledek Sidik tergelak walau agak lirih.

"Sayang aku nggak bisa ikutan. Tapi selamat bersenang-senang ya kalian dan jangan lupa bawa cinderamata dari sana." Tambahnya.

"Makanya sembuh dulu. Nanti kita semua bisa kesana lagi bareng-bareng." Dene menghibur Sidik.

Kami pun disuruh bersiap-siap untuk kegiatan hari kedua. Selepas sarapan kami akan segera dijemput bus menuju kota lama. Kali ini kami tidak memakai setelan jas seperti acara resmi kemarin, kami hanya dianjurkan memakai baju yang bebas namun masih pantas. Pak Arat mengatakan beliau langsung yang akan memandu kami. Sementara peserta seminar yang lain di pandu oleh pemandu lain yang merupakan teman-teman dari pak Arat. Acara hari ini khusus hanya dihadiri oleh peserta dan tamu undangan seminar kemarin, jadi sekitar 250 orang. Tidak ada lagi pejabat pemerintah, orang-orang institusi dan yang lainnya, hanya kami para peserta seminar saja yang akan berkeliling kota lama Yerusalem. Aku sangat bersemangat hari ini walau juga merasa sangat sedih karena Sidik tidak bisa ikut bergabung bersama kami dalam perjalanan kali ini. Seperti ada yang kurang nantinya.

Sebelum berangkat kubuka laptopku. Aku berkomunikasi dengan saudara Hamidun lewat facebook. Kukatakan bahwa aku akan mengunjungi kota lama Yerusalem dan apakah kami bisa bertemu disana. Katanya insha Allah akan dia usahakan untuk menemuiku hari ini disana. Katanya dia juga sedang sibuk untuk mempersiapkan kepulangannya kembali ke Indonesia. Masa belajarnya katanya telah selesai. Aku juga coba menghubungi istriku, Zahra, lewat telepon. Aku ingin mengabarinya bahwa hari ini aku akan mengunjungi situs paling bersejarah dan paling ikonik di Palestina, yakni kompleks Masjidil Aqsha. Aku juga ingin tahu kabar istriku itu karena kemarin, saking letihnya aku tidak sempat untuk menelponnya. Kucoba untuk menelpon istriku tapi disana kira-kira masih dini hari antara pukul dua atau tiga malam. Jadi aku hanya mengirim pesan singkat saja padanya.

Rupanya Zahra terbangun ketika pesan WhatsApp-ku masuk. Dia balik meneleponku dan kuangkat lalu kami mengobrol sebentar. Kuceritakan pada istriku bahwa aku juga sudah bertemu dengan Profesor Abdul dan hari ini akan bertemu lagi.

"Ya sudah, sayang lanjut tidurnya ya. Nanti nggak kebangun Subuh. Jaga kesehatan. Assalamualaikum." Kataku menutup teleponnya.

"Cie cie yang baru kawin. Pakai sayang-sayangan. Jadi pengen." Sahut Dene tiba-tiba meledekku yang rupanya mendengar pembicaraan kami ditelpon tadi. Bisa juga rupanya, manusia yang terlihat sangat cerdas namun berpenampilan seorang nerd seperti Dene meledekku seperti itu.

"Makanya nikah Den. Sudah punya pacar belum?" sahut Rahman.

Sidik yang sedari tadi tiduran sedikit tertawa mendengar candaan kami. Sedangkan pak Tsair Shadi teman dari pak Arat tidak mengerti sama sekali obrolan kami karena memang beliau tidak paham bahasa Indonesia.

"Malah ketawa lagi. Tidur aja dik, istirahat." Gumam Rahman.

"Kamu sendiri sudah punya pacar?" tanya Dene ke Rahman.

"Calonnya sih banyak. Dananya yang masih sedikit." Sahut Rahman sedikit gelak.

Dene mengerang. "Halah, sama aja kamu denganku. Kalau aku sih lagi sibuk-sibuknya. Urusan nikah mah nanti aja lah."

"Kalau sudah ada calonnya, akan lebih baik agar segera menikah." Timpalku.

"Tapi kita harus memperhatikan kemapanan kan. Pernikahan bukan hanya melibatkan hati dan perasaan tapi juga finansial untuk penghidupan." Kata Rahman.

"Kalau masalah itu, nikah aja dulu. Nggak usah banyak perhitungan dan kalkulasi. Nikah itu ibadah dan Allah sendirilah yang akan menjamin penghidupan bagi mereka yang ingin menikah lillah karena Allah."

"Begitu ya Ran?"

"Iy yakuunuu fuqaraaa yughnihimullahu min fadhlihi."

Lihat selengkapnya