SEBELUM beranjak dari kompleks Haram Asy-Syarif, Masjidil Aqsha, aku merogoh kantongku dan sekeping uang shekel logam milikku jatuh di sekitar situ. Masuk ke dalam celah kecil di lantai halamannya dekat tangga turun dan tak sempat lagi kuselamatkan. Biarlah, cuma uang kecil ini pikirku.
Rombongan kami kemudian menuju kompleks gereja makam kudus dimana Mesjid Omar juga berdiri disitu, tepat bersebrangan dengan kompleks gereja. Lumayan juga jauhnya jalan kaki dari kompleks Al-Aqsha menuju kawasan ini. Aku juga sedang menunggu-nunggu, kapan Prof. Abdul Rashied akan menelponku dan dimana kami akan bertemu. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda kehadiran beliau. Aku khawatir beliau akan kesulitan mencariku karena tidak mengetahui jadwal kemana saja tour kami hari ini.
"Ada apa Ran? Nyari siapa?" tanya Dene yang melihatku celingukan mencari Profesor Abdul Rashied.
"Ah, nggak apa-apa Den! Aku cuma mencari Profesor Abdul. Katanya beliau akan menemuiku disini hari ini."
Walaupun baru pertama kali bertemu tetapi aku sudah mengenali wajah beliau.
"Profesor yang gendut kemarin itu, ya? Yang menjadi sponsormu itu, kan?" tanya Rahman.
"Iya, beliau yang merekomendasikanku hingga aku bisa ikut kesini bersama kalian semua."
Aku berencana untuk menelpon beliau tapi sialnya ketika hendak dicari, kartu nama beliau yang tertera nomor telpon beliau ternyata tertinggal di hotel. Ada disaku celana yang kupakai kemarin. Aku benar-benar lupa membawanya. Gawat! Bagaimana jika Prof. Abdul telah berada di sekitar sini sedari tadi dan juga sedang menungguku untuk menghubungi beliau lebih dulu. Astagfirullah! Kenapa bisa sampai lupa dibawa itu kartu nama. Kenapa bisa sampai aku seceroboh ini. Sekarang yang bisa kulakukan hanya bisa berharap beliau menelponku lebih dulu karena untung saja kemarin aku juga sempat memberi nomor teleponku pada beliau.
Rombongan kami telah sampai di kompleks gereja makam kudus atau dikenal sebagai The Holy Sepulchre of Church. Area disini tidak seluas lapangan di kompleks Haram Asy-Syarif atau alun-alun Dome of Rock. Gereja ini adalah gereja paling suci dan merupakan situs paling sakral bagi kekristenan terutama kristen ortodoks. Dipercaya gereja ini merupakan tempat dimana Yesus atau Nabi Isa as disalibkan dan dimakamkan. Gereja makam kudus memiliki festival atau ritual tahunan yang terkenal, disebut sebagai festival obor atau pengambilan api suci yang diselenggarakan sebagai peringatan turunnya roh kudus. Sayang kami tidak berkesempatan untuk bisa menyaksikan perayaan tersebut karena hanya diadakan ketika hari paskah saja.
Gereja makam kudus ini berhadapan langsung dengan Mesjid Omar yang didirikan untuk memperingati kedatangan sang Khulafaur Rasyidin, sahabat Umar bin khattab. Ketika pasukan muslimin menaklukan dan membebaskan kota Yerusalem dibawah kepemimpinan Sayyidina Umar sekitar tahun 636 masehi, beliau membuat suatu pertemuan atau perjanjian dengan patriakh atau tokoh kristen wilayah Yerusalem kala itu yakni Sofronius yang dikenal sebagai perjanjian umariyya. Dan gereja ini adalah saksi bisu bagaimana adil dan beradabnya Khalifah Umar yang menggambarkan sikap bertoleransi yang tinggi dari seorang pemimpin. Ketika dalam kunjungannya ke gereja ini, beliau ingin menunaikan sholat dan dipersilahkan menunaikan ibadah di dalam gereja, sang khalifah menolak dengan alasan jika nanti tokoh sepertinya diketahui pernah sholat disini, ditakutkan gereja ini di kemudian hari akan dikonversi menjadi sebuah mesjid oleh kaum muslimin.
Khalifah Umar dengan sifat kepemimpinan yang adil yang tentu saja meniru dan meneladani sifat-sifat mulia Rasulullah seperti dalam piagam madinah—menjamin keselamatan dan keamanan kepada seluruh masyarakat beragama di Yerusalem kala itu terutama pada umat kristen dan yahudi. Pada masa penaklukan Sayyidina Umar di Yerusalem, tidak ada pertumpahan darah. Tidak ada imperialisme yang menjerat, persekusi dan semacamnya, semua berjalan damai. Nyawa para penduduk, hak-hak beragama mereka dan tempat-tempat suci mereka, dijamin dan dilindungi dibawah perlindungan kekhalifahan Islam. Ini jelas sangat berbeda ketika pasukan salib yang dikenal sebagai Knight Templar menguasai Yerusalem pada era perang salib di kemudian hari. Umat islam dan yahudi dipersekusi, dijarah, di tindas dan diusir. Rumah dan kediaman mereka dibakar dan bahkan mereka dibantai dengan keji seperti dibakar hidup-hidup. Hal ini merupakan fakta sejarah yang tak terbantahkan.
Hal serupa yang terjadi sekarang ketika zionist Israel berkuasa di Yerusalem. Tidak ada lagi keadilan dari penguasa setempat bagi para warga dan masyarakat Palestina sebagaimana zaman Sayyidina Umar dahulu berkuasa. Yang ada hanya kekejaman, diskriminasi, dan penderitaan yang merebut hak-hak kemerdekaan baik dari segi aspek praktik keagamaan maupun sendi-sendi kehidupan.
Dari sekitar 250 orang peserta seminar yang mengikuti tour ini, mayoritas dari mereka yang beragama kristen memasuki ruangan dalam gereja makam kudus secara bergantian karena memang tidak cukup jika harus berjejal terlebih dengan para peziarah lain. Kami yang muslim tidak dilarang jika ingin masuk ke dalam ruangan gereja tetapi kebanyakan dari mereka yang muslim meminta ijin untuk berpencar ke Mesjid Omar. Aku, Dene dan Rahman serta beberapa peserta muslim lainnya diajak oleh pak Arat Musa ke kawasan Mesjid Omar. Waktu pun telah hampir memasuki waktu makan siang sehingga pak Arat dan beberapa tour guide dari rombongan kami yang lain mempersilahkan para peserta untuk pergi kemana saja untuk istirahat makan siang tetapi harus tetap di kompleks kota lama Yerusalem ini. Di jalan dekat Mesjid Omar ini memang banyak toko souvenir, restoran dan cafe jalanan. Tour kami hari ini telah setengah jalan. Kami mencari tempat untuk bisa istirahat makan siang.
Kami dibagi menjadi beberapa kelompok dan grup. Dari 250an peserta tour dibagi ke dalam puluhan grup yang berpencar untuk mencari tempat istirahat makan siang masing-masing. Kelompok atau grup yang lebih besar dipandu oleh para pemandunya. Pak Arat Musa membawa sekitar 30 lebih orang peserta dan kebanyakan dari mereka adalah para peserta muslim. entah kemana pak Arat membawa mereka. Kami bertiga memilih untuk mencari sendiri tempat makan kami. Memang para peserta juga dibolehkan mencari tempat istirahat dan makan siangnya sendiri, terserah mau kemana dan tidak masalah tidak ikut kelompok atau grup manapun asalkan pada jam dua siang tepat kami semua harus kembali ke titik yang telah disepakati. Jadi kami memiliki kurang lebih sekitar 1,5 jam waktu untuk sholat Dzuhur dan makan siang.
Sembari cari tempat yang enak untuk makan, aku juga ingin menunaikan sholat dan kebetulan Mesjid Omar adalah mesjid yang terdekat. Yah, biarpun niat hati tadi sangat ingin sekali menunaikan sholat di mesjid kubah emas yang terkenal itu. Ingin sekali masuk dan melihat interior dalamnya seperti apa dan merasakan sensasi sholat disana, tetapi sayangnya waktu timingnya tadi kurang tepat, lagipula kata pak Arat, selama konflik baru-baru ini—untuk sementara mesjid kubah emas tertutup untuk sholat bahkan untuk warga muslim Palestina sendiri. Kami pun ikut sholat Dzuhur berjamaah di Omar Mosque. Kami sholat bersama puluhan warga Palestina dan sebagian dari peserta seminar juga ada yang ikut sholat disini. Selepas sholat dan witir kami baru memikirkan untuk mencari tempat mana disini yang enak buat bersantai menyantap hidangan makan siang. Dene menunjuk ke sisi jalan sebelah kiri, katanya disitu banyak cafe atau restoran jalanannya dan banyak toko souvenir juga tetapi Rahman menunjuk ke sisi jalan sebelah kanan, katanya pemandangan disana bagus, instagramable dan keren untuk mengambil foto. Aku hanya tersenyum dan menyerahkan keputusan kepada mereka berdua saja.
"Terserah kalian, yang penting kita bertiga bisa makan. Kebetulan aku sudah lapar nih." Desakku bercanda.
"Baiklah! Tentukan dengan suit." Kata Dene.
"Walah bagus juga itu, adil!" sahut Rahman.
Mereka berdua kemudian suit, tentu dengan interpretasi suit yang berbeda dalam benak masing-masing dari mereka dimana Dene mengeluarkan suit jakenpon, suit skala internasional yang umum dipakai di dunia barat. Tradisi suit yang berasal dari asia timur seperti China dan Jepang. Dene mengeluarkan gunting sementara Rahman mengeluarkan suit tiga jari atau suten yang lebih lokal dan tradisional dengan mengeluarkan telunjuknya. Tentu saja ini tidak nyambung sama sekali. Aku seketika tertawa melihat kerancuan suit mereka.
"Kenapa telunjuk?" tanya Dene.
"Lah kamu ngapain ngeluarin gunting." Sahut Rahman.
"Kalian ini lagi ngapain? Mau nyunat?" celetukku.
Sontak kami bertiga gelak tertawa. Dene pasrah dan mau mengalah, dia mengatakan tidak apa-apa biarlah kami ke tempat yang telah ditunjuk oleh Rahman. Dene juga ingin foto-foto disana untuk kenang-kenangan katanya. Kami bertiga menuju tempat yang dimaksud namun sebelum aku beranjak dari halaman depan Mesjid Omar, seseorang menyentuh pundakku dan menegurku. Aku menoleh, ada seorang berjanggut dan berambut putih berbaju hem garis-garis biru laut. Tidak lain dan tidak bukan beliau adalah Prof. Abdul Rashied. Beliau kembali menemuiku disini seperti yang telah beliau janjikan kemarin. Di sampingnya kulihat masih ada putri beliau, Risme Kelchuk yang menemani. Aku segera menyapa dan bersalaman dengan beliau begitu pula Dene dan Rahman yang juga ikut menyalami Profesor Abdul dan Risme.
"Akhirnya ketemu juga!" kata Risme.
"Maaf Prof, tadinya aku mau menelpon dan mengabari anda tapi kartu nama anda malah tertinggal dan lupa kubawa. kenapa anda tidak telpon saja Prof? Apa sudah lama anda mencariku?"
"Iya, sebenarnya tadi mau menelpon, tapi Risme bilang jalan-jalan saja dulu sambil mencarimu, katanya nanti juga mungkin bertemu, ternyata benar."
"Gimana nih Ran? Apa beliau ingin bergabung dengan kita atau kalian mau bicara di tempat lain?" tanya Dene.
"Mereka bilang apa?" tanya Prof. Abdul sembari tersenyum, tidak mengerti bahasa Indonesia.
"Begini Prof. Apa anda mau bergabung makan siang ikut bersama kami? Atau anda mau mencari tempat lain untuk kita bicara?"
"Oh, kalau bisa ... aku ingin mengobrol secara pribadi denganmu Rani."
"Baiklah kalau begitu Prof."
Aku lalu menyuruh Dene dan Rahman untuk makan siang di tempat yang telah direncanakan dan minta pengertian mereka. Sementara aku akan ikut Profesor Abdul dan makan siang di tempat lain. Mereka tidak masalah, Dene dan Rahman bisa memahami dan memakluminya. Kami berjanji akan bertemu lagi di tempat ini dan akan saling mengabari selesai makan siang nanti. Kami pun kemudian berpisah. Aku bersama Prof. Abdul serta Risme makan di tempat lain, masih di dekat kawasan dari Omar Mosque.
Kami bertiga pun duduk di sebuah restoran jalanan di gang-gang kecil di dekat Mesjid Omar. Disini banyak toko souvenir dan kerajinan serta cafe-cafe angkringan setempat. Ini adalah tempat yang mau dituju oleh Dene tadi. Tempat kami makan siang dipenuhi bangku dan kursi yang tersusun rapi di jalanan gang yang sempit tepat di depan tokonya. Setiap meja telah dipayungi oleh payung terpal bundar berwarna putih. Profesor Abdul menanyaiku ingin pesan apa. Karena kulihat restoran ini juga menyediakan shawarma jadi kukatakan aku pesan shawarma saja, lagipula aku penasaran shawarma ini makanan yang seperti apa semenjak menonton film avengers yang pertama. Begitu pula Risme, ia memesan shawarma dan minuman sahlab, minuman musim dingin khas Palestina sementara Profesor Abdul hanya memesan teh madu saja, katanya beliau masih kenyang. Ketika aku hendak menyantap shawarma yang baru saja disajikan oleh pramusaji disini, seorang bocah kecil mendekatiku, menawariku dagangan asongannya. Anak lelaki yang berusia sekitar tujuh tahunan ini menjajakan jajanan halloumi. Raut mukaku seketika berubah sedih melihat bocah yang berdagang menjajakan makanan. Sembari melempar senyum lebarku untuk menyapa anak ini, kutanyakan berapa harga halloumi yang dijualnya.
"Aku akan beli. Berapa satunya?"
"Dua shekel," jawabnya lirih.
"Baik aku beli dua ya." Ucapku sembari mengelus-ngelus kepala bocah pekerja keras itu.
Dengan sigap dan agak sedikit kerepotan antara membuka lembaran-lembaran kertas koran dan membuka plastik yang menutupi dagangannya—bocah tersebut membungkus halloumi nya. Profesor Abdul dan Risme nampak juga tersenyum lebar melihat tingkah bocah penjual tersebut.
"Kalau begitu bungkuskan satu juga untukku." Kata Risme sambil menyodorkan uangnya ke bocah tersebut. Raut wajah bocah ini nampak sangat senang sembari menggoyangkan kepalanya dan tersenyum, ia mengangguk dan mulai membungkus satu lagi untuk Risme.
"Ini uangnya." Ku berikan anak itu 5 shekel.
"Maaf tuan ini kelebihan." Katanya, dengan jujur mengembalikan uang lebihannya.
"Tidak, ambil saja semuanya untukmu."
"Kalau begitu terima kasih tuan." Ia tersenyum, bocah itu kemudian memasukan uangnya ke kantongnya namun secara serampangan.
"Hati-hati memasukan uangnya. Nanti tercecer!" kataku sambil mengambil dan mengeluarkan semua uang-uang kertas di kantong bocah tersebut, merapikan dan melipatnya dengan baik lalu memasukannya kembali ke kantongnya. Ia sempat kebingungan ketika kuambil semua uang di kantongnya, ia hanya diam tak bergeming namun ia akhirnya paham dan berterima kasih padaku.
"Kamu sudah hapal Qur'an berapa juz?" tanyaku pada anak itu.
"Sudah 22 juz tuan."
"Masha Allah! Semangat terus ya ... kemuliaan dan keberkahan dari Allah menyertaimu dan keluargamu." Kuusap kembali rambut kepala anak itu.
"Sungguh luar biasa kamu nak!" sahut Prof. Abdul yang duduk tepat di samping dimana anak tersebut berdiri sembari memegang pundak anak tersebut. Dapat kulihat dari senyum Prof. Abdul, beliau merupakan bapak yang ramah dan penyayang terlebih pada anak-anak.
"Terima kasih tuan!" ucap anak itu hanya tersenyum.
Palestina adalah lumbung bagi para hafidz penghapal Qur'an. Negeri ini adalah produsen terbesar dalam mencetak penghapal-penghapal Al-Qur'an. Di negara ini, menghapal Quran sebuah keharusan atau kewajiban yang telah menjadi tren atau komoditi budaya yang mengakar dan merupakan tuntutan moril bagi setiap anak muslim. Semakin banyak hapalan Qur'an mereka maka semakin sukses mereka dipandang sebagai anak Palestina sejati. Baik di Jalur Gaza maupun daerah tepi barat, bagi anak-anak Palestina mengkhatamkan Al-Qur'an merupakan sebuah prestis tersendiri sebagai kebanggaan diri dan keluarga mereka dalam rangka cita-cita untuk dapat meraih surga.
Anak penjaja asongan itu pun pergi beranjak dari kami dan mulai mendatangi pengunjung lain yang duduk di meja-meja lainnya untuk menawarkan halloumi yang dijajakannya. Sembari menyantap makan siang, kami pun akhirnya mengobrol. Dengan melihat apa yang barusan kulakukan terhadap bocah penjual makanan tadi, Prof. Abdul mengatakan bahwa aku merupakan pemuda yang baik dan beliau tidak salah dalam menilaiku. Prof. Abdul mengatakan bahwa keputusannya untuk bertemu denganku adalah hal yang benar. Dan ini saatnya aku menanyakan kepada beliau tentang apa sebenarnya maksud dan tujuan beliau membawaku kemari, ke Palestina dan bagaimana beliau mengetahui tentangku.