AKU tertegun sejenak. "Lantas Prof, kenapa anda menamakan Theos Intelegensia dengan terma berbau Yunani?"
"Sebelum bahasa Inggris, bahasa yunani merupakan bahasa internasional dari zaman kuno. Kebudayaan paling maju dengan keunggulan sastra, pengetahuan dan filsafatnya. Itu hanya penamaan saja Rani, tidak ada yang istimewa. Kaulah sebagai pribadi penyandangnya yang membuatnya istimewa." Jawab Profesor Abdul.
"Tapi aku masih belum yakin Prof, aku seistimewa itu. Apalagi hanya dari gematria nama."
Profesor Abdul hanya tersenyum menatapku. "Kau seorang hafidz Qur'an kan Rani?"
"Ya, alhamdulillah aku hapal Qur'an. Tapi apa istimewanya Prof? Ada jutaan penghapal Qur'an di dunia dan bahkan anak-anak di negara ini juga rata-rata seorang hafidz, contohnya seperti anak penjual halloumi tadi."
"Apa kau tahu bahwa seorang hafidz merupakan indikasi awal dari kemampuan daya ingat super? Yang artinya dengan menjadi hafidz, maka seseorang telah memaksimalkan kognitif dan tingkat konsentrasi mereka. Penelitian terbaru di Pasadena, California, menyebutkan bahwa otak para hafidz berkembang lebih pesat dan lebih kuat dalam hal daya ingat. Di dapati perkembangan lobus frontal dan temporal dalam cerebrum mereka yang hafidz dengan non-hafidz sangat berbeda. Inilah keunggulan mereka yang hapal Al-Qur'an."
"Lalu kenapa harus aku? Banyak hafidz-hafidz yang lain kan Prof."
"Pertanyaan yang bagus. Kamu memiliki beberapa kriteria lanjutan dan kecocokan faktor dalam algoritmaku yang menunjukan kau seorang Theos Intelegensia."
"Contohnya Prof?"
"Ketika mengikuti tulisan-tulisanmu dan membaca buku-bukumu terlebih untuk sesuatu yang termasuk kedalam ranah dimensi tafsir (Ekseges), kau hampir selalu bisa menemukan sebuah pola. Rangkaian pola yang sering kau tulis ketika menafsirkan sesuatu ini hanya dimiliki oleh segelintir oknum saja Rani. Aku menyebutnya sebagai Muffasir (ahli tafsir) Hyper-Dimensional."
"Jadi maksud anda tidak semua muffasir memiliki kemampuan itu? Dan aku salah satunya?"
"Ya, hanya segelintir kecil saja yang benar-benar dapat membaca dan menemukan pola ketika menafsir bahkan tanpa mereka sadari."
"Dengan kata lain ... aku salah satu dari muffasir istimewa ini?" tegasku lirih.
"Tepat sekali!" gumam Profesor.
"Apa kau menyadarinya Rani? Bahwa semua yang ada di bumi ini, jagat raya dan seisinya, memiliki pola? Kau pasti sudah tahu apa itu yang disebut sebagai 'PHI' kan? Sering disebut rancang bangun ilahi atau kita sering menyebutnya—sebagai golden ratio (rasio emas)."
"Ya, aku tahu Prof. Rasio 1,618 yang selalu didapati pada sebagian besar ukuran dalam kehidupan seperti bentuk spiral kerang, volume lingkar gerak badai, struktur tumbuh-tumbuhan dan bahkan pada seluruh anggota tubuh kita sendiri, juga pada ukuran wajah. Rancangan ilahi yang sebenarnya diciptakan selalu simetris dan memiliki ukuran di semua bentuk kehidupan. Menandakan akan adanya keteraturan penciptaan. Bukti nyata adanya campur tangan Tuhan." Aku sedikit melirik ke arah Risme dengan segan sembari membacakan surah Al Infitar ayat 7 dan Al Qomar ayat 49 beserta terjemahannya.
"Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang."
(QS. Al Infitar 7)
"Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu dengan ukuran."
(QS. Al Qomar 49)
"Jarak antara kota Mekkah ke kutub Utara dan Mekkah ke kutub selatan juga memperlihatkan ukuran golden ratio 1,618." Tambahku.
"Ya, ruas jari tangan manusia juga mengandung deret fibonnaci yakni 2, 3 dan 5. Begitu juga pada struktur bangun sebuah pohon atau setangkai bunga jika mau dicermati, fibonnaci terkandung di dalamnya." Timpal Profesor.
"Ada ratusan matematikawan dan pakar geometris yang mengagumi golden ratio dan deret fibonnaci, tapi mereka semua tetap ateist. Ateist bukan berarti menolak keteraturan dan ukuran konstan di alam semesta tetapi menolak sesuatu yang abstrak dan belum empiris." Ketus Risme.
"Tenanglah sayang! Jangan terlalu sensitif begitu. Seperti kami yang memahami pilihanmu untuk menjadi irreligius. Hormatilah kami yang religius disini." Sahut Profesor Abdul. Aku hanya tersenyum simpul menatap Risme.
"Iya papa, maafkan aku. Maaf ya Rani. Silahkan kalian lanjutkan." Kata Risme sembari lanjut menyantap shawarmanya yang hampir habis.
"Maaf," kataku pada Risme.