Semesta Ayat : Sakinah Di Palestina

Raz Aka Yagit
Chapter #22

Novy Milanovna

SETELAH melewati jalan besar rute 60 untuk menuju ke kota lama, kami turun di dekat Jaffa Gate. Ini karena sang driver menelpon seseorang dan mengetahui bahwa hanya disini akses ke kota lama yang sementara ini dibuka. Syukurlah ketika kami telah sampai di Jaffa Gate kompleks kota lama, kawasan ini masih sama. Masih ramai dengan pengunjung dan tampak masih stabil. Kami berlima pun turun dari taksi dan mulai berjalan kaki menyusuri tepi luar Jaffa Gate. Sembari berjalan kaki kuhidupkan ponselku yang sedari tadi kumatikan sejak dimulainya acara penutupan seminar. Rupanya banyak panggilan masuk tak terjawab dan pesan whatsApp dari Zahra. Semua isi pesannya adalah kekhawatiran tentang keadaanku disini. Katanya ia melihat berita tadi pagi dan mengetahui bahwa konflik bersenjata Israel-Palestina kembali memanas. Kubalas pesan-pesan Zahra dan kukatakan padanya untuk jangan khawatir, bahwa aku baik-baik saja, kucoba tenangkan dia bahwa keamanan di tepi barat insha Allah tidak segenting di Jalur Gaza. Kucoba menelpon istriku tetapi tidak diangkat. Aku baru ingat jam segini disana kemungkinan Zahra sedang sibuk kuliah. Baiklah asalkan aku sudah mengirim banyak sekali pesan singkat untuk mengabarinya agar ia tidak khawatir.

Selama kami berjalan kaki, pak Arat Musa menjelaskan kondisi dan situasi yang sebenarnya kepada kami. Aku dan Dene telah tahu lebih dulu tetapi Sidik dan Rahman tidak mengetahuinya. Pantas kata Sidik driver taksi mereka tadi mengatakan bahwa situasi disini mulai menegang kembali dan menyarankan kami sebagai wisatawan agar berhati-hati. Kami semua saling bertatapan, beberapa wajah mulai pucat dan tidak sesenang seperti tadi ketika menggebu-gebu ingin jalan-jalan. Bagi kami berada di pusara konflik sudah cukup buruk yang tentu saja mengganggu mood kami berlibur dan menikmati dengan santai kota ini. Pak Arat mengatakan ini hal biasa dan belum sampai tahap mengkhawatirkan tetapi sebagai turis kami hanya diharap maklum jika pemeriksaan dan akses dibatasi. Pak Arat membawa kami menuju kompleks Haram Asy-Syarif dimana kubah emas Dome of rock berada. Keadaan disini ternyata berbeda dengan keadaan kemarin ketika kami tour. Para pengunjung jauh lebih sedikit dan benar, akses masuk agak dipersulit. Jika tidak karena pak Arat yang melakukan negosiasi dan bicara dengan salah satu tentara yang sedang berjaga dan yang berwenang memblokade akses masuk, kami mungkin dilarang untuk masuk. Pak Arat menginformasikan kepada kami kemungkinan akan ada potensi gelombang demonstrasi yang terjadi disini jadi pak Arat menghimbau agar kami tidak terlalu lama berada disini. Kami tentu saja kecewa, tapi demi keselamatan ya apa boleh buat. Disini kami kembali foto-foto dan mengambil dokumentasi terutama Sidik yang belum pernah kesini. Sidik mengagumi betapa megahnya simbol peradaban Islam yakni kubah emas yang berdiri kokoh dan merupakan wajah dari kota Yerusalem dan Palestina tentu saja.

Rahman bertanya mau kemana kita setelah dari sini? Sidik langsung nyeletuk juga ingin ke tempat lain yakni tembok ratapan atau tembok barat. Setelah kami puas jalan-jalan, mengagumi dan berfoto ria di kompleks muslim Masjidil Aqsha, kami bersegera beranjak menuju ke tembok barat. Tepat sebelum kami pergi dari kompleks Masjidil Aqsha ada sebuah insiden kecil terjadi tepat dihadapan kami. Dari sisi lain alun-alun Masjidil Aqsha nampak terjadi bentrokan dan kericuhan antara kumpulan massa demonstran warga Palestina dengan barisan tentara Israel yang berjaga.

"Sebaiknya kita harus cepat meninggalkan tempat ini. Paling-paling tidak lama lagi akan terjadi kontak fisik dan kedua pihak akan bentrok seperti biasa." Kata Pak Arat Musa.

Kami semua bergegas ingin meninggalkan kompleks halaman Dome of Rock tetapi tepat di depan mataku terlihat seorang berpakaian serba hitam dengan topi bundar khas yahudinya. Aku tahu dengan pasti dia warga yahudi, lingkaran peyot pada rambut di kedua sisi telinganya dengan jelas terlihat. Malang, pria yahudi yang sebenarnya cukup uzur dan tua tersebut entah bagaimana bisa terjebak di tengah-tengah kerumunan yang hampir bentrok tersebut. Pria tua itu hampir berhasil keluar dari kerumunan dan berjalan melewati sudut lain tetapi seseorang mendorongnya sehingga ia kembali tersungkur. Tidak ada yang membantunya, jelas karena ia seorang yahudi, akan tetapi dari tentara Israel yang melihat kejadian nahas itu pun tidak melakukan apa-apa terhadap apa yang menimpa pria tua malang tersebut. Pria itu mencoba bangkit tetapi kerumunan mulai merangsek ke samping kembali menyudutkan sang pria tua. Dia tenggelam dalam lautan kericuhan. Bentrokan telah pecah antara kedua pihak yang sedari tadi saling dorong. Seketika refleks aku berlari ke arah pria tua yahudi itu, masuk ke dalam keramaian yang telah ricuh dan menarik pria tua itu kesamping keluar dari kerumunan. Dari dekat kulihat wajah pelipis beliau lecet, sobek! dan hidung beliau berdarah. Ketika hendak membangunkan dan menarik tubuh renta beliau keluar dari kerumunan, aku merasakan sebuah pukulan keras di punggung, aku pun menoleh dan rupanya aku tengah berada di tengah-tengah massa yang telah mengamuk. Segera saja kuselamatkan pria tua yahudi itu dengan melindunginya walaupun punggungku menjadi sasaran empuk amarah massa yang saling dorong. Kulihat seorang dari kerumunan dengan tatapan sinis menatapku yang sedang menunduk untuk melindungi seorang yahudi tua. Ia kemudian mendorongku dengan keras.

"Kenapa kau membantunya? Apa kau juga seorang yahudi?" teriak pria tersebut.

"La, la, aku muslim tolong bantu pria ini keluar dari sini," kataku sembari memperlihatkan telapak tangan karena pria itu terlihat seperti seakan menyerang kami. Tebakanku benar, kata-kataku tidak digubris pria itu. Dengan kalap ia hendak menyerang kami berdua, tangan dan betisku mulai terinjak-injak massa yang terus bergerak. Belum sempat pria itu menganiayaku ia telah terhalang kerumunan massa. Kudengar samar-samar teriakan dari kawan-kawan, teriakan Dene, Rahman dan Sidik yang memanggil-manggil namaku. Tiba-tiba saja entah darimana, ada seorang gadis asing berambut hitam pendek sebahu, sepertinya seorang wartawan atau jurnalis, ia menarikku dan membantu pria yahudi itu keluar dari kerumunan massa yang mengamuk. Walaupun dia seorang wanita, tetapi dia sangat sigap, kuat dan cukup gesit membantu kami berdua keluar menjauh dari kerumunan massa ke tempat yang aman. Tanpa sadar aku yang sedari tadi merangkul dan membopong pria yahudi itu pun dapat digiring keluar dari kerumunan menuju ke tempat yang lebih lapang dan aman. Disana kulihat ada pak Arat Musa dan kawan-kawan dengan ekspresi wajah pucat karena khawatir, mereka segera menghampiriku yang sedang ngos-ngosan. Wanita berambut pendek itupun melihat wajah dari yahudi tua itu, memeriksa keadaannya. "Dia tidak apa-apa. Hanya sedikit terluka." Kata wanita misterius tersebut sembari menatapku.

"Apa kau tidak apa-apa?" tanyanya, begitu pula pak Arat Musa dan teman-teman yang memberondongku dengan pertanyaan apa aku baik-baik saja.

"Apa yang tadi kau lakukan? Itu berbahaya! Bagaimanapun kalian ini tanggung jawabku." Kata pak Arat Musa padaku dengan nada kesal.

    "Tindakan kamu tadi berbahaya Ran." Tegur Dene.

"Tidak apa-apa, aku baik-baik saja kok. Aku tidak bisa jika hanya diam saja melihat suatu musibah yang menimpa seseorang." Jawabku.

Setelah memeriksa keadaan pria yahudi tua itu sang wanita berambut pendek itu pun memperkenalkan dirinya kepadaku dan menanyakan keadaanku. Dugaanku benar, wanita ini seorang jurnalis sekaligus reporter dari kantor berita Reuters. Dia merupakan seorang jurnalis senior berdarah Rusia, dia pun memperkenalkan dirinya.

"Namaku Novy Milanovna. Aku seorang jurnalis dan reporter yang sedang meliput disini. Tindakan yang tadi kau lakukan itu cukup hebat." Katanya.

"Terima kasih! Namaku Ahmad Rizalul Qur'ani."

"Apa kau Indonesian?" tanyanya, kujawab hanya dengan anggukan ringan.

Lihat selengkapnya