KAMI lalu berjalan kaki menyusuri kota lama dari kompleks Haram Asy-Syarif menuju tembok barat atau tembok ratapan tempat ibadah umat yahudi. Sesampainya disana kami foto-foto dan mengambil banyak sekali dokumentasi untuk kenang-kenangan. Sama banyaknya dengan foto yang kami ambil ketika tadi di Masjidil Aqsha. Aku juga menjepret beberapa foto menggunakan ponsel pintarku untuk di share dan di upload ke akun facebookku karena mirisnya aku tidak memiliki akun instagram. Entah kenapa aku terlalu udik untuk tetap bertahan tidak ingin dan tidak berminat memiliki akun instagram, bagiku akun seperti facebook ini saja sudah cukup untuk media berbagi informasi dan dokumentasi. Baru di saat-saat ada kesempatan bisa jalan-jalan ke luar negeri seperti sekarang inilah—aku mulai memikirkan kegunaan dari instagram. Tak lama setelah aku mengupload fotoku di facebook, mas Hamidun mengomentari fotoku tersebut. Dia menanyakan apakah aku masih lama berada di kota lama? Ia menyuruhku untuk menunggunya. Rupanya mas Hamidun berniat ingin mengunjungiku disini karena besok, katanya dia sudah harus balik ke Indonesia dan ini merupakan kesempatan kami untuk bisa bertemu kembali. Kubalas komentarnya di facebook, kukatakan aku akan menunggu di tempat ini di kawasan tembok barat. Mas Hamidun mengatakan akan segera meluncur, paling lama sepuluh menit sudah sampai karena ia kebetulan sedang berada di dekat kota lama. Kami pun janjian bertemu disini di kawasan tembok barat.
Pak Arat baru saja mendapat pemberitahuan baru dari pak Idris Irshad, katanya kami harus segera pulang kembali ke hotel, ada perubahan rencana. Pak Arat mengatakan kepada kami informasi ini. Dikarenakan situasi yang kembali kurang stabil, maka panitia acara mempercepat jadwal kepulangan kami. Besok lusa kami harus segera kembali ke Indonesia, acara seminarnya pun sudah berakhir, jadi ada baiknya jika peserta sudah harus kembali pulang ke negara masing-masing. Mengetahui hal ini, kami pun terkejut. Rasanya begitu singkat dan tidak sampai satu minggu seperti jadwal semula, tetapi kami dapat memakluminya, langkah ini pun diambil demi keselamatan dan keamanan kami para peserta. Untung saja kami memutuskan untuk jalan-jalan dengan puas hari ini tidak menunggu besok-besok. Jika tidak maka kami tidak memiliki kesempatan lagi dan alhamdulillah juga sempat membawa Sidik jalan-jalan ke kota lama.
Sebelum pulang kembali ke hotel, Pak Arat mengajak kami menyusuri jalan terowongan Suq El Qatanin sambil menuju kawasan jalan Aqbat E Saraya untuk membeli pernak-pernik cinderamata ataupun oleh-oleh bagi Sidik yang belum sempat membeli apapun. Aku memberitahu kepada pak Arat dan teman-teman bahwa aku tidak ikut mereka kembali ke hotel karena telah ada janji bertemu dengan mas Hamidun. Pak Arat menanyakan apakah aku bisa pulang ke hotel sendirian? Masalahnya bagi pak Arat, aku juga adalah salah satu tanggung jawab beliau. Kuyakinkan pada pak Arat bahwa insha Allah aku akan pulang ke hotel secepatnya dan bisa pulang sendiri. Kubilang bahwa mas Hamidun telah lama tinggal disini, jadi dia juga bisa mengantarkanku pulang.
"Mau ketemuan sama mas Hamidun temanmu di TYI itu ya, Ran?" tanya Dene.
"Iya, tidak apa-apa. Kalian balik saja duluan."
Mereka berempat lalu meninggalkanku menuju Aqbat E Saraya Street dan aku kembali ke kawasan dekat tembok barat karena aku dan Hamidun telah janjian akan bertemu disana. Cukup lama aku menunggu. Sekitar dua belas menit kemudian, mas Hamidun akhirnya tiba. Dari kejauhan aku bisa mengenali wajah beliau walau kami hanya pernah satu kali bertemu. Beliau pemuda yang memakai kacamata dan sedikit lebih tua dariku, sekitar hampir dua tahun lebih tua.
"Assalamualaikum sanak." Sapanya dengan sapaan kedekatan khas orang-orang Kalimantan Selatan.
"Walaikumsalam." Jawabku sembari kami berpelukan.
"Apa kabar? Lama tidak bertemu. Alhamdulillah ada kesempatan kita bertemu disini."
"Iya, alhamdulillah akhi kita bisa jumpa lagi. Terima kasih banyak atas bantuan akhi dulu saat pengerjaan skripsiku. Gimana juga kabarnya akhi? Anak istri sehat? Udah umur berapa sekarang anaknya?"
"Anak istri Alhamdulillah sehat. Kalau anak udah mau 4 tahun akhi. Lagi imut-imutnya."
"Masha Allah ... alhamdulillah, akhi."
"Iya, udah kangen berat ini sama anak hampir dua puluh bulan gak ketemu. Tapi syukur Alhamdulillah besok ana pulang balik ke Kalimantan Timur. Makanya ini tadi disempet-sempetin soalnya besok harus langsung ke bandara. Pas dengar antum kemarin ke Palestina ana sangat senang, jadi ada kesempatan bertemu lagi kan kita disini. Lancar acaranya? Sampai kapan disini antum?"
"Acaranya Alhamdulillah sudah selesai akhi. Dan besok lusa seharusnya rombongan kami akan pulang ke Indonesia, lebih cepat dari jadwal mengingat situasi politik saat ini kan. Tapi sepertinya aku akan sedikit lebih lama disini dan belum akan pulang dulu akh."
"Loh kenapa Akh?" tanya mas Hamidun penasaran.
"Masih ada urusan akhi. Orang yang menjadi sponsorku dan yang membantuku sampai akhirnya bisa ikut kemari perlu suatu bantuan. Jadi, nggak bisa pulang dulu, tahu sampai kapan. Padahal sih maunya juga ingin cepat-cepat pulang. Rindu rumah dan ...."
"Rindu istri?" sahut mas Hamidun sembari gelak tertawa.
"Iya akhi." Jawabku senyam-senyum.
Mas Hamidun memberi selamat kepadaku atas pernikahanku. Kami pun berjalan-jalan di sekitaran tembok barat. Sebagai seorang pakar kajian semitik, sejarah dan bahasa Ibrani—dengan fasihnya mas Hamidun menjelaskan sejarah serta seluk beluk terkait tembok ratapan atau Ha har-bayit, sisa-sisa reruntuhan bait suci yahudi atau kuil Sulaiman. Beliau memaparkan bahwa Beit Ha-Mikdash atau Baitul Maqdis bagi umat Islam ini merupakan kiblat umat yahudi rabbinic atau yahudi arus utama yang mayoritas tetapi bagi yahudi samaria atau Samaritan Jews, kiblat yang sesungguhnya bukan berada di bukit ini melainkan di bukit Gerizim atau Har Gerizim di kota Nablus. Bagi yahudi rabbinic di kota Yerusalem inilah, tepatnya di bukit moriah, tempat bait suci atau kompleks Al-Aqsha berdiri, Abraham atau Nabi Ibrahim as mengorbankan putranya Ishak (Ismail dalam literatur Islam) sementara bagi yahudi samaria, tempat pengorbanan Ibrahim atau Aqeedah Yitzhak itu sebenarnya adalah di bukit Gerizim. Perbedaan dimana lokasi bait suci atau tempat pengorbanan Ibrahim yang sebenarnya adalah merupakan bukti kuat, bahwa telah terjadi tahrif pada kitab Taurat (Torah) yang dimiliki oleh kaum yahudi sekarang ini sehingga sejarah mereka pun tidak jelas dan punya banyak versi. Tahrif dan penyelewengan teks-teks Taurat ini telah diketahui bersama sebagaimana banyak disinggung oleh ayat-ayat Al-Qur'an.
"Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya, “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan."