Semesta Ayat : Sakinah Di Palestina

Raz Aka Yagit
Chapter #24

Abu Ghazalah

SEMBARI menikmati malam yang syahdu di Hebron, menyantap makan malam yang dihidangkan. Aku dan mas Hamidun berbicara banyak, misalnya tentang bagaimana studi beliau bersama Rabbi Ben Abrahamson dan seperti apa saja kehidupan yang telah dijalani selama dua tahun tinggal disini. Apakah menyenangkan atau cukup sulit. Dari pengalaman mas Hamidun disini aku belajar banyak dan cukup menginspirasi. Kami berencana untuk bertemu kembali depan tepatnya di bulan april. Mas Hamidun berencana akan datang ke kota Martapura untuk ikut haul akbar tuan guru sekumpul yang telah menjadi agenda tahunan warga Kalimantan dan Kalimantan Selatan pada umumnya. Aku juga ada rencana mengajak istriku, Zahra, untuk ikut dalam haul akbar mufti sekaligus ulama kharismatik banjar, KH. Muhammad Zaini bin Abdul Ghoni tersebut pada tahun ini. Biasanya aku tidak memiliki waktu untuk ikut ke acara peringatan haul tersebut dan hanya pernah sekali menghadirinya, itupun sendirian. Sekarang berbeda, aku telah memiliki bidadari pendamping yang akan menemaniku ke acara haul tersebut, pasti sangat istimewa sekali. Mas Hamidun juga biasanya mengajak anak dan istrinya.

Kami telah hampir selesai menyantap makan malam dan hendak bersiap untuk kembali pulang ke Yerusalem. Tiba-tiba aku menerima sebuah panggilan telpon, ponselku berdering. Setelah kuangkat rupanya dari Profesor Abdul Rashied. Beliau baru tahu kalau jadwal kepulangan kami dipercepat sampai lusa. Waktunya tidak akan cukup untuk urusan kami nanti sehingga beliau secara pribadi memintaku untuk mau tinggal sebentar lagi saja dan tidak dulu ikut pulang ke Indonesia. Beliau bahkan berjanji akan membiayai dan menanggung segala keperluanku selama tinggal disini seperti hotel dan penginapan. Kukatakan kepada Profesor Abdul bahwa aku akan coba membantu beliau sebagai ungkapan terima kasihku atas kesempatan yang telah beliau berikan sehingga aku bisa datang kesini, ke Palestina. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membalas segala kebaikan beliau. Profesor Abdul memintaku untuk bertemu lagi besok, untuk membahas bantuan seperti apa yang beliau pinta.

Setelah Profesor Abdul menutup telponnya, mas Hamidun bertanya padaku. Ada urusan apa dengan Profesor itu. Kukatakan pada mas Hamidun secara garis besarnya saja bahwa Profesor Abdul meminta bantuanku untuk suatu riset kajian dan tidak kujelaskan secara rinci tentang pencarian Tabut Perjanjian itu. Jujur saja, menurutku agak berlebihan dan mungkin terdengar konyol jika kukatakan yang sebenarnya kepada mas Hamidun terkait ingin mencari benda legenda selevel Tabut Perjanjian. Aku bisa-bisa ditertawakan. Dan sebenarnya, orang yang cocok untuk pekerjaan ini seharusnya adalah orang seperti mas Hamidun ini yang jauh lebih paham terkait hal tersebut ketimbang diriku.

Mengetahui bahwa aku mungkin akan tinggal sedikit lebih lama lagi disini, mas Hamidun menawariku tempat tinggal di sebuah keluarga Palestina yang ia sudah kenal betul. Daripada aku harus tinggal di hotel atau penginapan katanya lebih baik jika aku tinggal bersama keluarga Palestina ini, lebih aman dan gratis. Kata mas Hamidun keluarga ini sangat baik dan ramah. Mas Hamidun sangat mengenal keluarga mereka karena pernah beberapa bulan tinggal disana. Jika aku mau, mas Hamidun akan bantu mengurus dan memberitahu mereka agar aku bisa tinggal sementara disana, di rumah keluarga Abu Ghazalah yang berada di kota Ramallah, hanya berjarak 30 menit dari Yerusalem. Ini merupakan tawaran yang bagus. Kupikir, jauh lebih baik jika aku tinggal disana daripada harus menginap di hotel yang pasti akan merepotkan Profesor Abdul karena harus membiayainya. Aku tidak ingin menyusahkan Profesor Abdul sehingga aku langsung menerima tawaran mas Hamidun itu. Segera saja mas Hamidun menghubungi keluarga Abu Ghazalah tersebut. Dari ekspresi mas Hamidun, aku bisa melihat betapa akrabnya keluarga ini dengan beliau. Mas Hamidun kemudian mengatakan kepadaku semuanya telah beres, keluarga Abu Ghazalah dengan senang hati akan menunggu kedatanganku. Mas Hamidun mengatakan jika aku merupakan teman dekat yang telah ia anggap keluarga sehingga keluarga Abu Ghazalah sangat antusias untuk menyambutku di rumah mereka nanti. Ini cukup bagus, nanti aku akan mengabari Profesor Abdul bahwa masalah tempat tinggal sudah diatasi dan beliau tidak perlu memesankanku kamar hotel.

"Jadi, mereka mau menerimaku? Apa tidak masalah aku tinggal bersama mereka akhi? Apa mereka tidak merasa keberatan?" tanyaku ke mas Hamidun.

"Tenang saja, mereka keluarga Palestina yang sangat baik. Aku sudah sangat mengenal mereka. Selama hampir delapan bulan aku tinggal bersama mereka, aku diperlakukan dengan penuh kehangatan layaknya juga bagian dari keluarga mereka. Nanti kau juga akan mengetahuinya akhi, seberapa baiknya mereka. Jadi nggak usah khawatir lagi ... antum akan diperlakukan dengan sangat baik nanti, percaya sama ana akhi. Tadi aku sudah bicara dengan tuan Hisham Nadeer Abu Ghazalah selaku kepala keluarga. Kata beliau mereka akan menunggu kedatanganmu dengan senang hati. Tinggallah selama yang kau mau. Bahasa Arab antum juga cukup fasih kan akhi? Mereka pasti akan sangat senang bisa menampung muslim Indonesia lagi." Kata mas Hamidun semakin meyakinkanku.

Mas Hamidun kemudian memberikan alamat lengkap rumah keluarga Abu Ghazalah di Ramallah yaitu di jalan El Han'nun Street beserta nomor yang bisa kuhubungi. Katanya mereka adalah sebuah keluarga dengan lima orang yang tinggal bersama yakni tuan Hisham Nadeer beserta istrinya lalu ketiga anak mereka, Nafisa, Hanash dan Thoriq Razan. Kata mas Hamidun rumahnya tingkat dua dan juga lumayan besar walaupun mereka bukan orang kaya dan mereka hanya warga yang hidup secara sederhana. Katanya keluarga Abu Ghazalah ini merupakan keluarga Palestina yang religius. Rasanya aku tidak sabar untuk bisa bertemu dengan mereka. Kukatakan kepada mas Hamidun bahwa aku mungkin akan tinggal disana tidak lebih dari dua minggu. Aku juga tidak ingin lama-lama berada disini dan meninggalkan istriku di tanah air.

Setelah menyelesaikan makan malam kami, kami bersiap untuk kembali pulang. sudah waktunya untuk kembali ke Yerusalem. Waktu telah memasuki sholat Isya dan mas Hamidun telah memesan taksinya secara online. Mas Hamidun berjanji akan mengantarkanku pulang tepat sampai ke hotel tempatku menginap dan tiba sebelum jam sembilan malam. Di dalam taksi aku sempat-sempatnya tertidur dan tahu-tahu sudah sampai di depan hotelku. Mas Hamidun membangunkanku. 

"Maaf membangunkan akhi. Sudah sampai di hotel." Kata mas Hamidun sembari menggerak-gerakan tubuhku secara pelan

"Astaghfirullah ... maaf akh, aku tertidur. Ya Allah, sudah sampai ya." Sahutku sembari mengusap-ngusap mata dan wajahku yang diselimuti kantuk.

"Iya sepanjang jalan tadi antum tertidur pulas. Kecapean kan pasti setelah acara penutupan terus lanjut jalan-jalan seharian. Jadi sengaja nggak kubangunin karena paham antum pasti sangat lelah."

"Iya terima kasih banyak ya akhi atas waktu dan kesempatannya hari ini. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Nanti pulangnya hati-hati ya akhi, semoga selamat sampai kembali ke Indonesia dan semoga kita ada umur lagi jadi bisa berjumpa kembali." Ucapku sembari kami berpelukan dan berpamitan.

"Aamiin ya Allah! Jaga diri ya Akhi." Sahut beliau.

"Salam sama keluarga disana ya akhi. Nanti kalau sudah sampai di tanah air kabari ya." 

"Pasti, pasti ... pergi dulu ya akh. Besok ada penerbangan yang harus dikejar." Kata mas Hamidun.

"Terima kasih kembali atas bantuan antum tadi akhi."

"Iya, itu tadi hubungi saja keluarga Abu Ghazalah akhi. Semua sudah kuberitahukan jadi antum tinggal ke rumahnya aja. Pasti insha Allah akan disambut. Jangan segan, mereka orang-orang baik kok. Pulang dulu ya akh. Assalamualaikum." Mas Hamidun masuk kembali ke dalam taksi.

Lihat selengkapnya