SEGERA saja aku bergegas menuju Ramallah. Aku memesan sebuah taksi online. Perjalanan ke kota Ramallah lumayan cukup jauh juga, sekitar setengah jam dari Yerusalem. Kota Ramallah sendiri sekarang ini dianggap merupakan ibukota dari otoritas Palestina dimana pusat pemerintahan dan kepresidenan Palestina berada di kota ini. Wilayah yang kutuju sendiri adalah daerah di El Han'nun Street. Sebuah daerah suburban kota Ramallah. Biaya taksi online kesini menghabiskan sekitar 170 Shekel. Cukup mahal atau lumayan murah, aku tidak mengetahuinya. Aku juga tidak terlalu memikirkan itu. Akhirnya setelah perjalanan hampir setengah jam, aku tiba di tempat yang dimaksud. Sayangnya sang supir mengatakan tidak bisa mengantar persis ke alamat yang kutunjukan, karena katanya daerah tersebut merupakan daerah lereng yang medan jalannya tidak mudah dilalui sebuah mobil. Ia hanya bisa mengantar sampai disini saja, di sebuah jalan raya di kaki bukit. Aku harus berjalan kaki dari sini menuju alamat rumah keluarga Abu Ghazalah. Sembari berjalan kaki menyusuri jalan setapak bebatuan dan pasir namun cukup lebar. Mobil seharusnya bisa masuk dan melewati jalan seperti ini tapi ya sudahlah. Berjalan kaki di pemukiman biasa dan bukan perumahan elit seperti ini, rasanya aku seakan berada di perumahan-perumahan slum di Meksiko. Pemandangan disini cukup lapang, luas dan bagus. Bangunan-bangunan khas Palestina yang amat sederhana, menghiasi lanskap pemukiman disini.
Aku menyusuri tiap bangunan di tepi jalan sembari melihat secarik kertas berisikan alamat lengkap keluarga Abu Ghazalah. Untung saja di kawasan Ramallah hampir semua papan jalan, plang, penunjuk arah, nama toko atau alamat pemukiman, dominan dengan aksara Arab dan bukannya Ibrani sebagaimana lumrahnya di kota besar seperti Yerusalem. Setidaknya aku memahami tulisannya.
Akhirnya, aku menemukan alamat yang dimaksud. Rumah yang aku tuju ternyata merupakan bangunan tunggal yang letaknya agak sedikit jauh dan tersendiri dari perkampungan warga terdekat. "Ini dia ... ini benar alamatnya!"
Dengan perlahan kucoba mengetuk dengan pelan pintu rumah yang tertutup tersebut. Sebuah bangunan tingkat dua berwarna putih polos yang tampilannya sangat-sangat sederhana dan jauh dari kata mewah. Dari alamat yang ditunjukan mas Hamidun—disinilah alamatnya. Semoga saja benar ini adalah alamat yang dimaksudkan. Aku mengetuk beberapa kali tetapi tidak ada jawaban. Kucoba lagi untuk mengetuk sambil mengucapkan salam. "Assalamualaikum!"
Tidak lama setelah itu, aku mendengar derak langkah kaki mendekati pintu, membuka kuncinya dari dalam dan perlahan pintu itu terbuka dengan pelan. Kudapati seorang gadis muda jelita bermata teduh dan besar, berkerudung biru muda. Gadis itu menatapku dengan tatapan polosnya.
"Apa kau Rizalul Qur'ani?" tanyanya dengan nada lembut dan pelan. Gaya bicaranya itu mengingatkanku akan gaya bicara istriku, Zahra. Gadis ini seakan tahu bahwa aku akan datang. Oh ya tentu saja, mas Hamidun kan telah memberitahu mereka.
"Iya, aku adalah orangnya."
"Masuklah," ucapnya mempersilahkan sembari membuka pintu agak lebar.
"Ayah, ibu dan kakak sedang bekerja, berjualan di pasar. Masuklah, sebentar lagi juga mereka akan pulang." Katanya dengan sangat segan.
Gadis remaja yang seumuran denganku ini cukup lancar berbahasa Inggris dan dari yang kulihat, dia tipe orang yang pemalu dan canggungan namun cerdas. Ia selalu menunduk dan tidak menatapku secara langsung saat berbicara. Hanya sesekali saja ia tujukan pandangannya padaku. Dia pasti salah seorang anak dari tuan Hisham Nadeer. Kukatakan bahwa aku akan menunggu di luar rumah saja. Tidak enak jika harus masuk ke dalam rumah dimana hanya ada seorang anak gadis. Kubilang aku akan menunggu sampai tuan dan nyonya Abu Ghazalah pulang saja. Gadis itu nampak sedikit bingung seperti ingin bersikeras mempersilahkanku masuk atau membiarkanku di luar. Kubilang tidak apa-apa bahwa aku akan menunggu di luar ini saja sementara. Ia hanya kembali masuk ke dalam rumah namun pintu rumahnya tidak ia tutup sepenuhnya.
Dari dalam rumah, kulihat ada jari-jari kecil nan mungil yang perlahan membuka pintu rumah dan mengintaiku secara diam-diam. Rupanya ada satu lagi yang berada di rumah selain gadis remaja tadi. Seakan takut dan penasaran, dari balik pintu ia mengintip dan memperhatikanku. Seorang gadis kecil berkerudung merah. Wajahnya lucu dan sangat imut. Ia pasti putri paling bungsu dari tuan Hisham. Aku melemparkan senyum ramahku selebar-lebarnya.
"Kemarilah," kataku menyapa gadis cilik tersebut. Tidak seperti kakaknya tadi, ia nampak tidak segan mendekatiku namun dengan perlahan. Ia memegang sebuah boneka polar bear yang sudah agak kusam. Mata bonekanya pun hanya satu dan ada beberapa sobekan halus di bonekanya. Ketika kuperhatikan, kerudung gadis kecil ini pun sama lusuhnya. Ada beberapa sobekan, kotor dan terlihat kusam. Aku memandang kasihan dan sedih padanya. Apa sesederhana itu keluarga Abu Ghazalah? Apakah keluarga mereka tergolong ke dalam keluarga menengah ke bawah yang sebenarnya ekonomi mereka benar-benar berada di bawah?! Aku tiba-tiba malah menjadi ragu, apakah aku tidak akan merepotkan dan menjadi beban mereka ketika harus ikut tinggal dan makan disini.