Semesta Ayat : Sakinah Di Palestina

Raz Aka Yagit
Chapter #29

Keluarga Cemara Di Palestina

KESAN pertama yang kudapati dari keluarga mereka adalah kehangatan. Mereka memperkenalkan diri mereka. Hisham Nadeer Abu Ghazalah selaku kepala keluarga, Ruqayya Abu Ghazalah, istri tuan Hisham dan Thoriq Razan Abu Ghazalah sebagai anak tertua mereka.

"Nafisa, kenapa kau jamu tamu kita di luar seperti ini?" tanya tuan Hisham.

"Maaf tuan Hish ... aku," Sahutku.

"Kenapa kau bisa tidak sopan seperti ini anakku?"

"Bukan, bukan begitu tuan Hisham." Kataku menyela, sangat ingin menjelaskan.

"Nafisa sudah menyuruhnya untuk masuk ayah. Hanya saja dia sangat sopan dan mengatakan tidak baik karena hanya ada aku di dalam rumah. Dia tidak ingin ada fitnah karena memasuki rumah yang hanya ada anak gadisnya sendiri." Terang Nafisa.

"Ya Allah ... begitu ya. Sungguh nak, kau muslim yang adab dan akhlaknya sangat baik." Kata tuan Hisham padaku.

"Ternyata kau memang anak yang baik seperti yang dikatakan nak Hamidun. Kami dengan sangat bangga dan senang hati menyambutmu di rumah sederhana kami ini. Tinggallah selama yang kau mau nak. Kau sekarang tamu kehormatan kami." Sahut nyonya Ruqayya.

"Maafkan ayah ya Nafisa, ayah tidak tahu." Tuan Hisham meminta maaf kepada Nafisa atas kesalahpahaman beliau. Nafisa hanya mengangguk dan tersenyum. Sungguh putri yang pengertian dan pemaaf.

"Thoriq akan membawakan barang-barangmu dan mengantarkamu ke atas. Disanalah kamarmu nak tapi maaf jika keadaannya kurang nyaman atau tidak layak menurutmu." Timpal tuan Hisham.

"Tidak apa-apa tuan Hisham. Rumah anda ini sangat-sangat layak dan nyaman untukku. Di negara asalku, aku juga biasa hidup seperti ini. Ini tidak ada bedanya dengan rumahku. Kalian menyambutku dengan sambutan yang baik seperti ini saja sudah membuatku merasa nyaman disini. Terima kasih banyak."

"Baiklah nak.. maaf kami harus memanggilmu siapa? Ahmad atau Rizal?" tanya tuan Hisham.

"Panggil saja aku Rani tuan. Kalian bisa memanggilku Rani. Di tempatku, aku biasa dipanggil Rani."

"Baik kalau begitu Rani. Mari kuantar ke kamarmu. Silahkan melihat-lihat tempatnya." Ucap Thoriq sembari merangkul pundakku. Sambil membawa barang-barang bawaanku keatas, Thoriq menunjukan dimana kamar tempat aku tidur. Kamarnya lumayan besar walaupun sederhana dengan kasur yang agak lusuh dan kurang empuk tapi ini sudah cukup nyaman. Kamarku berdampingan dengan kamar Thoriq dan kamar Nafisa di seberangnya sementara Hanash kata Thoriq ia tidur bertiga bersama tuan Hisham dan nyonya Ruqayya.

"Maaf kalau tempatnya tidak senyaman di hotel. Sebelumnya kau tinggal di hotel, kan? Hamidun menceritakan kepada kami bahwa kau merupakan kenalan akrabnya yang telah dia anggap seperti keluarga dan katanya kau ke Palestina ini dalam rangka menghadiri seminar dunia oleh PBB yang kemarin itu kan. Itu sebuah acara besar." Kata Thoriq.

"Ini lebih dari cukup Thoriq. Aku merasa sangat nyaman disini. Kalau boleh, aku ingin tahu di rumah ini dimana aku bisa menunaikan sholat? Sudah masuk waktu Dzuhur."

"Oh kau benar. Ayo kita kembali turun. Tempat kau bisa sholat ada dibawah. Akan aku taruh tas dan barangmu disini. Kau bisa merapikannya nanti. Ayo kita ke bawah." Kata Thoriq. Kami kembali ke bawah.

Tuan Hisham kemudian menunjukan tempat aku bisa berwudhu, ada di samping rumah mereka. Air disini lumayan lancar dan bersih. Kebetulan tuan Hisham sekeluarga juga akan menunaikan sholat Dzuhur berjamaah. Mereka memang telah terbiasa menunaikan sholat berjamaah sekeluarga. Sungguh keluarga yang benar-benar memahami keutamaan dari tuntunan agama. Aku merasa sangat senang ada disini tinggal bersama mereka. Ketika hendak memulai sholat, tiba-tiba tuan Hisham mempersilahkanku untuk mengimami mereka sholat berjamaah. Aku dipaksa untuk menjadi imam mereka kali ini. Tapi aku bersikeras menolak dengan alasan tidak ingin melangkahi sang tuan rumah. Ini juga merupakan adab bagi mereka yang memahami ilmu tata krama bertamu. Kukatakan bahwa aku akan menjadi salah satu makmum mereka saja dahulu dan mungkin Maghrib atau Isya nanti aku baru menerima tawaran mengimami sholat mereka. Untuk sekarang ada baiknya aku bermakmum kepada sang tuan rumah.

Ternyata yang menjadi imam bukanlah tuan Hisham melainkan putra tertua mereka, Thoriq. Mereka katanya memang sering bergantian menjadi imam sholat, kadang tuan Hisham kadang Thoriq. Selepas sholat, Thoriq membaca Qur'an beberapa lembar. Sungguh, suara merdu dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an yang Thoriq bacakan, sangatlah menghanyutkan. Cukup mampu menenangkan hati. Rupanya Thoriq berbakat dan lumayan dahsyat bacaan Qur'annya. Sayang sekali orang seperti dirinya jika hanya menghabiskan potensi diri di sebuah bengkel reparasi. Thoriq memiliki banyak potensi yang sangat bisa untuk digali.

Nafisa pun punya suara merdu ketika membaca Al-Qur'an.

Setelah sholat dan wirid, aku juga membaca selembar surah Al Anfal dengan mushaf kecil milikku. Setelah itu nyonya Ruqayya dengan ramahnya mengajakku untuk ikut mereka makan siang. Biasanya keluarga tuan Hisham pulang berjualan menjelang waktu Ashar tapi untuk beberapa hari ini mereka pulang lebih cepat yakni menjelang waktu Dzuhur dikarenakan kondisi Hanash yang sedang tidak sehat sehingga mereka sengaja membuat jumlah manakeesh yang sedikit untuk dijual agar cepat habis. Aku menerima tawaran makan siang bersama mereka dengan senang hati. Makanan kami kali ini hanyalah hummus, dan beberapa manakeesh sisa jualan yang sengaja di sisihkan untuk mereka makan. Kebetulan aku belum pernah merasakan yang namanya manakeesh ini. Kata orang makanan ini disebut sebagai pizza-nya orang Arab.

Benar saja, Rasa manakeesh ini sungguh lezat dan cocok dengan lidahku. Aku memang menyukai makanan gurih nan agak pedas semacam ini. Ini merupakan makanan terenak yang pernah aku makan selama di Palestina. Ini bahkan jauh lebih enak dari makanan dan hidangan hotel yang aku santap.

"Maaf nak Rani. Ini hanya manakeesh. Hanya ini yang bisa kami sajikan untukmu. Andai kami tahu kau akan datang hari ini, kami pasti akan membeli daging domba untuk menjamumu." Ucap nyonya Ruqayya.

"Ini sudah lebih dari cukup nyonya Ruqayya. Malah ini lebih enak dari makanan hotel yang beberapa hari ini aku makan. Sungguh demi Allah aku sungguh menyukai hidangan kalian ini. Sebenarnya ... aku ini suka makanan yang agak pedas seperti ini. Semakin pedas, maka semakin aku suka."

"Apa? Benarkah nak? Ibu baru tahu bahwa orang indunisiy itu juga menyukai makanan pedas seperti orang-orang kami." 

"Tidak semua, tapi ada beberapa daerah di negara kami yang orang-orangnya menyukai pedas dan semua makanan khasnya pun bercita rasa pedas. Aku salah satu pecinta pedas."

"Ya Allah, kalau begitu aku akan membuatkanmu makanan yang super pedas nantinya. Agar kau betah disini." Kata nyonya Ruqayya gelak tertawa sembari mendorong badanku dengan pelan dan kemudian memelukku layaknya aku adalah salah satu dari anaknya sendiri. 

Lihat selengkapnya