Semesta Ayat : Sakinah Di Palestina

Raz Aka Yagit
Chapter #30

Akumulasi Rezeki

KEESOKAN harinya ketika kami semua selesai menunaikan sholat Subuh, keluarga Abu Ghazah langsung menyibukkan diri dengan berbagai aktifitas. Hanya si kecil Hanash yang masih tertidur pulas dan tidak di bangunkan. Semua anggota keluarga mulai sibuk dengan tugas dan pekerjaan masing-masing untuk keperluan mereka berjualan nantinya. Tuan Hisham mulai memotong-motong daging yang telah beliau sortir kulit dan tulangnya kemarin menjadi dadu-dadu berukuran sedang. Nafisa dengan sigap sembari menyingsing kedua lengan bajunya yang panjang, mulai menyiapkan bumbu-bumbu dan bahan seperti memeras air perasan lemon, mengupas dan memotong tomat, menyiapkan gula, garam, lada, rempah dan paprika bubuk. Sementara nyonya Ruqayya dengan tangan besar beliau mulai mengolah adonan manakeesh yang telah di campur sebelum mereka akan olah dan kukus dengan tungku yang akan dilakukan oleh Thoriq. Aku baru mengetahui bahwa manakeesh ini terbuat dari tepung terigu.

Selepas adonan telah siap. Nafisa menggantikan nyonya Ruqayya mencampur ragi keringnya lalu menyiapkan jus perasan lemon yang segar, minyak zaitun, gula, dan madu. Rupanya baik sate kebab maupun manakeesh sama-sama memakai perasan lemon segar untuk olahannya. Dan yang menjadikan manakeesh Arab serasa seperti sebuah pizza atau datang dari keluarga pizza adalah salah satu bahannya yakni Zaatar, yang merupakan daun sejenis oregano. Makanan khas timur tengah memang unik. Aku hanya duduk termangu melihat mereka semua bekerja dengan harmoni sembari hati dan pikiranku melafalkan dzikir dalam hati. Aku ingin saja membantu mereka tapi takut salah dan nantinya malah mengacaukan pekerjaan mereka. Jadi aku memperhatikan saja dulu sambil belajar. Rencananya hari ini aku ingin ikut berjualan bersama mereka. Aku sudah bilang ke tuan Hisham. Nyonya Ruqayya awalnya menolak dengan alasan aku pasti akan menjadi sangat lelah. Belum lagi cuacanya yang panas luar biasa dan bisa membuat sakit bagi warga asing yang mungkin tidak terbiasa dengan cuaca tersebut sepertiku. Tapi aku tetap bersikeras dengan alasan ingin observasi dan meninjau langsung aktifitas mereka sembari mencari pengalaman. Akhirnya nyonya Ruqayya menyetujuinya.

Sembari mengerjakan pekerjaannya tuan Hisham mengatakan padaku bahwa negara asalku, Indonesia, adalah saudara bagi Palestina. Kedudukan Indonesia di hati para warga Palestina sangat istimewa tutur beliau. Ini karena Indonesia dalam pandangan mereka, adalah negara yang selalu membantu Palestina. Selalu berdiri dengan tegas mengakui kedaulatan negara mereka dan ikut berjuang dengan berbagai upaya untuk Palestina. Inilah alasannya keluarga beliau sangat senang dan welcome menjamu orang Indonesia seperti mas Hamidun dahulu dan sekarang aku.

Sekitar jam delapan keluarga Abu Ghazalah mulai membawa semua jualan mereka ke pasar Al Salaymeh. Mereka membawanya dengan sebuah gerobak yang ditarik oleh sebuah sepeda motor yang dikendarai oleh Thoriq. Selepas mengantar mereka barulah Thoriq kembali ke bengkel reparasi mobil tempatnya bekerja. Hari ini aku ikut dengan mereka untuk melihat bagaimana mereka berjualan dan berdagang mencari nafkah. Semua anggota keluarga hari ini ikut berjualan. Nafisa dan si kecil Hanash juga ikut hari ini karena Hanash telah sembuh dari demamnya. Nampaknya Hanash sangat senang hari ini. Gadis kecil ini sangat senang karena aku ikut dengan mereka. Ia sengaja mendempet dan duduk di sampingku. Bidadari kecil Abu Ghazalah ini terlihat sangat menyukai bergaul dengan orang asing sepertiku. Aku tidak tahu alasannya, apakah karena ia memang jarang memiliki teman. Si kecil Hanash memang tidak memiliki teman sepermainan atau yang seumur dengannya satupun di lingkungan rumahnya. Itu karena rumah keluarga mereka yang letaknya agak jauh dari pusat pemukiman warga terdekat.

Aku, Nafisa, Hanash, tuan Hisham dan nyonya Ruqayya duduk dalam sebuah gerobak dari kayu berukuran sedang hanya saja tidak ada tepinya. Jadi aku harus hati-hati duduk disini dan menjaga si kecil Hanash agar tidak terjatuh. Thoriq mulai menghidupkan sepeda motornya. Perjalanan dari rumah mereka ke Al Salaymeh ternyata lumayan jauh. Ini termasuk perjalanan yang sedikit melelahkan jika tidak terbiasa. Thoriq tidak terlalu cepat membawa sepeda motornya karena akan sangat berbahaya jika terlalu cepat sehingga untuk sampai ke tempat tujuan memakan banyak waktu. Selama di perjalanan, Hanash sering menarik-narikku, dia aktif menunjukkan sesuatu di jalan. Aku hanya tersenyum manis memandangnya dan menganggukan kepala. Nafisa juga nampak tersenyum lebar melihat kedekatanku dengan Hanash adiknya. Selama perjalanan kami memakan manakeesh dan buah-buahan kering yang telah di olah sebagai sarapan. Tuan Hisham mengatakan sangat menghargai keikutsertaanku untuk membantu mereka berjualan hari ini. Beliau dan nyonya Ruqayya mengucapkan terima kasih. Kukatakan kepada mereka berdua bahwa aku tidak akan bisa membantu banyak. Pertama, aku takut salah dan tidak mau menambah pekerjaan mereka. Kedua, aku hanya ingin memperhatikan bagaimana mereka berniaga.

Tuan Hisham kemudian menanyakan apa yang sedang kukerjakan sekarang di Palestina selama dua minggu ke depan. Aku memang telah memberitahu beliau bahwa aku hanya dua minggu saja tinggal bersama mereka. Kujawab bahwa aku sedang ada urusan dengan salah seorang Profesor dari Turki. Beliau hanya mengangguk. Tentu tidak kukatakan secara detail urusan apa yang sedang kulakukan disini yakni mencari sebuah benda atau artefak kuno, Tabut Perjanjian.

Setelah perjalanan yang memakan waktu satu jam lebih akhirnya kami sampai di tempat yang dituju. Sebuah kawasan pertokoan, pusat perbelanjaan tradisional modern mirip mini market seperti toko buah, toko makanan dan lain-lain berjejer menghiasi kawasan ini. Tapi kami hanya berjualan di area parkiran saja karena memang tidak memiliki lahan atau toko sendiri.

Tuan Hisham dan nyonya Ruqayya mulai menyiapkan meja lipat yang tadi kami duduki dalam gerobak. Nafisa dan si kecil Hanash mulai menaruh alas serta menyiapkan jualan dan menyusunnya di atas meja. Thoriq dan aku turut membantu mengangkat jualan-jualan itu ke meja sembari Nafisa menyusunnya. Tidak lama setelah itu, Thoriq pamit untuk kembali ke bengkelnya dan akan datang lagi nanti sekitar habis Ashar untuk menjemput kami saat ia telah selesai bekerja. Setelah Thoriq pergi, semua dagangan telah siap dan tinggal menunggu pembeli. Sekitar dua jam kami menunggu tapi belum ada satupun pembeli yang datang. Apa memang seperti ini yang namanya berdagang? Harus sabar menunggu penglaris atau pembeli pertama datang. Aku memang belum tahu rasanya bagaimana berdagang dan berjualan, bahkan ketika di Indonesia pun aku belum pernah ikut atau berpengalaman berdagang. Kehidupanku semasa SD memang terbilang juga cukup susah. Hal-hal yang pernah kulakukan untuk mencari nafkah bahkan saat usiaku masih sangat muda adalah seperti menjadi pengumpul koran bekas, menjadi penjaga bola freelance di lapangan tenis atau ikut bertani bersama bibi Salamah di ladang padi milik bibi tapi aku tidak pernah merasakan berdagang dan berjualan makanan.

"Sabar saja nak. Rezeki adalah urusan Allah dan serahkan saja kepada Allah. Setiap yang sabar pasti akan mendapatkan rezekinya. Karena itu telah Allah siapkan untuk usaha-usaha hamba-Nya." Kata tuan Hisham padaku sembari tersenyum penuh kesabaran dalam penantian.

Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya seorang pembeli datang. Ia membeli dua buah manakeesh dan satu tusuk shish taouk. Langsung saja dengan senyum sumringah tuan Hisham yang sedari tadi menyapu keringat di wajah karena kepanasan sembari menunggu pelanggan, mulai menyiapkan pesanan. Tidak berselang lama beberapa pembeli mulai berdatangan. Nafisa mulai turun tangan membantu kedua orangtuanya yang mulai kewalahan. Alhamdulillah hari ini usaha mereka ternyata berjalan dengan lancar tidak macet seperti yang tadi aku perkirakan. Kesabaran keluarga Abu Ghazalah di jawab oleh Allah. Tuan Hisham benar. Rezeki memang akan menghampiri kita jika memang sudah waktunya dan tidak ada yang akan bisa menghalanginya.

Melihat mereka berdagang membuatku tersadar bahwa seluruh rezeki telah Allah siapkan. Walaupun kelihatannya orang-orang yang berjualan baik skala sedang maupun mikro dimanapun di belahan bumi ini berebut pelanggan, pembeli dan pasar, tapi mustahil rezeki mereka akan tertukar. Perasaan kasihan kepada pedagang-pedagang kecil sampai memikirkan apakah mereka bisa mencukupi kehidupan mereka hanya dengan jualan ini, jualan itu? Sering aku pikirkan ketika dulu berada di Indonesia ketika sedang jalan-jalan ke pasar atau kemanapun. Padahal telah Allah takarkan dan siapkan untuk mereka rezekinya masing-masing.

"Dan tidak ada satupun makhluk bergerak (bernyawa) di muka bumi melainkan semuanya telah dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediaman dan tempat penyimpanannya. Semua itu (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."

(QS. Hud 6)

"Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak mampu membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan juga kepadamu. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." 

(QS. Al Ankabut 60)

"Wahai manusia, Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberi kamu rezeki dari langit dan bumi? Tidak ada tuhan selain Dia, maka mengapa kamu berpaling (dari ketauhidan)?."

(QS. Fathir 3)

Sesulit apapun kehidupan keluarga Abu Ghazalah, setidaknya mereka punya usaha. Itulah yang mereka lakukan. Memiliki ikhtiar dan perjuangan untuk mengais rezeki Allah ta'ala yang telah Ia siapkan untuk seluruh manusia. Adapun sebuah hadist yang menyebut bahwa berdagang merupakan sembilan pintu dari kesepuluh pintu rezeki. Walaupun hadist ini dipandang dhaif dan mursal menurut sanad periwayatannya. Setidaknya berdagang adalah salah satu upaya nyata manusia dalam mencari rezeki-Nya.

"Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah."

(QS. Al Baqarah 172)

"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan."

(QS. Ar Rum 23)

Alhamdulillah hari ini jualan mereka lumayan walau masih sisa banyak sementara waktu Dzuhur telah berkumandang, kami semua mencari tempat untuk menunaikan sholat. Kebetulan tidak jauh dari sini ada mesjid kecil yakni mesjid Thohami. Aku dan tuan Hisham sholat duluan kesana sementara Nafisa dan nyonya Ruqayya bersama Hanash menunggu dagangan mereka. Kami memang harus bergantian sholatnya agar tetap ada yang menunggu dan menjagakan dagangan. Selepas sholat aku dan tuan Hisham langsung kembali dan giliran Nafisa serta Nyonya Ruqayya yang sholat. Si kecil Hanash tetap bersama kami, dia tidak ikut sholat. Lagipula Hanash masih belum dibebani kewajiban sholat karena di usianya sekarang ia masih belum aqil baliqh dan ia hanya membiasakan sholat ketika di rumah saja. Aku bertanya padanya, "apa Hanash haus?" dengan segan Hanash mengangguk. Aku ingin mengajaknya ke salah satu toko disini dan membelikan Hanash minuman yang segar, kebetulan aku juga haus. Tuan Hisham menyuruhnya untuk minum air perbekalan mereka saja tapi aku tetap ingin membelikan Hanash minuman.

Aku dan Hanash kemudian berjalan ke toko terdekat untuk mencari minuman sambil Hanash memegang erat tanganku. Aku hanya bisa tersenyum melihat keceriaan Hanash. Kapan lagi aku bisa menghabiskan waktu bersamanya dan membahagiakan anak malang yang baik hati ini. Dua minggu ke depan aku harus kembali pulang dan akan berpisah dari Hanash. Siapa yang bisa menduga kapan lagi aku ada kesempatan ke Palestina dan bisa bertemu lagi dengannya. Mungkin tidak akan pernah lagi. Jadi selama masih disini, masih bersama orang-orang baik ini dan masih bersama Hanash, aku ingin membahagiakannya. Entah kenapa rasanya aku sangat menyayangi anak ini. Dia anak yang manis, pintar dan sopan. Hanash telah kuanggap sebagai adik kandungku sendiri dimana aku memang anak tunggal dan dahulu pernah sangat menginginkan seorang adik terutama perempuan. Hal itu berlanjut ketika aku memikirkan suatu hari nanti jika memiliki anak, aku sangat ingin seorang putri atau anak perempuan. Tapi ya, mau laki-laki atau perempuan, itu terserah saja asalkan sehat dan kuat. Aku langsung teringat istriku, Zahra. Lebih-lebih ketika aku menggenggam tangan Hanash seperti ini. Aku membayangkan andai punya seorang putri yang parasnya seimut dan sikapnya sebaik Hanash. Buah hati antara aku dan Zahra. Pasti keluarga kecil kami akan sangat bahagia.

Kami kemudian sampai di salah satu toko setelah menyebrang jalan dan menyusuri trotoar. Aku langsung menuju tempat minuman-minuman dingin. Membuka kulkas pendinginnya dan mempersilahkan Hanash memilih minuman yang ia hendaki dan sukai. Hanash dengan tatapan polos dan ragu-ragu menatapku. Ia seakan ragu ingin memilih dan mengambil salah satu dari minuman-minuman itu. Hanash masih segan, mungkin karena dia kira minuman-minuman ini mahal harganya. Seketika aku tersadar bahwa anak malang ini pasti tidak pernah membeli atau merasakan minuman seperti ini. Bibirku bergetar dan mataku sayup mengasihani gadis baik hati ini.

"Pilihlah yang kau suka Hanash. Ambillah sebanyak yang kau mau. Jangan malu." Kataku. Dengan gesture tubuh dan ekspresi sungkan Hanash mengambil sebuah susu kotak strowberry. 

"Yang itu?" tanyaku, Hanash mengangguk sembari tersenyum.

"Ambil lagi. Apapun yang Hanash mau." Kataku tapi Hanash langsung menggeleng. Baginya cukup sekotak susu ini saja.

Aku kemudian mengambil tiga kotak susu strowberry lagi berukuran besar untuk Hanash dan beberapa produk minuman lain yang beragam untuk tuan Hisham, nyonya Ruqayya dan Nafisa. Nampak wajah Hanash terlihat heran aku memborong banyak produk minuman. Aku juga membeli beberapa produk makanan kecil seperti coklat untuk cemilan Hanash nanti di rumah dan membeli beberapa buah untuk mereka.

Setelah membayar semuanya aku dan Hanash bersiap kembali. "Ayo kita kembali pada mereka." Ajakku pada Hanash. Ia tersenyum lebar dan kembali menggenggam erat tanganku. Sebelum kami beranjak dari toko aku memasukan sedotan ke kotak susu Hanash agar ia bisa langsung meminumnya dan dengan riang ia meminumnya ketika dalam perjalanan kembali.

Nafisa dan nyonya Ruqayya juga nampak telah kembali dari menunaikan sholat mereka. Melihat aku membawa banyak belanjaan, tuan Hisham dan nyonya Ruqayya bertanya untuk apa. Kukatakan bahwa aku haus lalu membeli minuman, aku juga membeli beberapa untuk mereka. Tidak hanya minuman tetapi juga makanan dan buah untuk makan siang kami. Tuan Hisham mengatakan seharusnya aku tidak perlu menghabiskan uang seperti itu hanya untuk mereka. Kubilang tidak apa-apa dan aku ikhlas melakukannya. Beliau kemudian mengucapkan terima kasih padaku begitu pula nyonya Ruqayya dan Nafisa.

Melihat Hanash sangat senang dengan susu kotak yang kubelikan, Nafisa tersenyum padaku dan mengucapkan terima kasih. "Dia tidak pernah minum yang seperti ini sebelumnya." Katanya sembari mengusap kepala Hanash dan membersihkan mulut Hanash yang kotor belepotan oleh susu. Nafisa sebagai kakak benar-benar memiliki insting keibuan yang kuat. Gadis ini sebenarnya sudah pantas menikah dan telah layak memiliki seorang anak. Semoga saja Nafisa cepat mendapatkan jodohnya.

"Tidak apa-apa. Aku senang dan bahagia melihat Hanash bahagia seperti itu." Jawabku.

Setelah kami puas makan siang, minum dan istirahat, kami kembali bersiap untuk berjualan kembali. Masih ada lumayan banyak dagangan manakeesh yang tersisa tapi sebelum Ashar, tuan Hisham mengusahakan harus bisa pulang. Jualan kembali sepi, hanya ada eorang turis asal Luxemburg dan Belgia yang membelinya. Sayangnya mereka tidak bisa berbahasa Arab dan keluarga Abu Ghazalah juga tidak bisa bahasa Inggris. Ketika aku hendak bergerak untuk membantu berkomunikasi dengan mereka, Nafisa mulai bicara dengan para turis tersebut dengan bahasa Inggris yang lumayan fasih. Aku tentu saja terkejut mengingat bahwa Nafisa telah lama putus sekolah. Darimana dia belajar bahasa Inggris hingga bisa sefasih itu? Saat itu aku tahu, bahwa Nafisa merupakan gadis yang cerdas. Setelah para turis itu kembali aku bertanya pada Nafisa dengan bahasa Inggris.

Lihat selengkapnya