SETELAH pagi hari sekitar jam setengah lima pagi, kudapati aku tertidur di meja kecil tempat menelaah kertas-kertas itu. Berkas yang berserakan menempel di pipiku. Langsung saja aku menunaikan sholat Subuh. Tuan Hisham tadinya ingin menyuruh Thoriq untuk membangunkanku agar tidak terlewat waktu sholat Subuh. Gara-gara kelelahan aku agak pulas tidurnya bahkan aku belum pernah sholat tahajjud atau sholat malam ketika di Palestina. Rutinitas yang biasa aku lakukan ketika di Indonesia. Sungguh sangat disayangkan.
Hari ini tidak seperti pagi hari biasanya karena keluarga Abu Ghazalah tidak melakukan aktifitas rutin mereka. Mereka bangun tapi tidak sibuk menyiapkan jualan atau dagangan. Tuan Hisham tadi malam mengatakan akan istirahat berdagang selama seminggu karena mendapatkan sebuah rezeki yang lumayan cukup besar bagi mereka, mereka ingin istirahat. Tuan Hisham sebagai kepala keluarga yang baik ingin keluarganya mengambil istirahat dan rehat sejenak dari aktifitas yang menjemukan dan melelahkan. Ini merupakan keputusan yang baik dan bijak menurutku. Mereka bisa bersantai dan menikmati waktu senggang yang jarang mereka miliki. Suatu rezeki yang luar biasa yang Allah berikan kepada keluarga mereka.
Hari ini, aku berencana pamit keluar kepada keluarga Abu Ghazalah. Kukatakan bahwa mulai hari ini aku akan mulai mengerjakan urusanku di Yerusalem dan mungkin akan pulang sore atau bahkan malam setiap harinya. Aku meminta keluarga mereka untuk harap maklum, dan syukurlah mereka tidak masalah dengan hal itu. Mereka hanya memintaku untuk selalu jaga diri dan berhati-hati. Mereka, terutama tuan Hisham dan nyonya Ruqayya mendoakan keselamatanku. Aku menjadi tenang karena ada sosok orangtua yang mendoakan dan memberiku ridhonya disini untuk urusan yang akan kukerjakan. Selepas menunaikan sholat Subuh aku bersiap untuk berangkat. Rencananya aku akan berangkat jam delapan pagi menuju kota lama Yerusalem. Aku telah menelaah, mempelajari dan memfokuskan pencarian pada rute yang ada pada penelitian milik Profesor saja, yang menyebut bahwa Tabut Perjanjian itu kemungkinan besar di sembunyikan oleh Sayyidina Umar di salah satu tempat rahasia di kawasan kota lama. Masalahnya adalah, bagaimana caranya aku menghubungi Risme jika jaringan selular di negara ini sedang lumpuh? Kucoba menelpon Risme dan anehnya tersambung. Kumatikan sebentar lalu kucoba menelpon Zahra tapi tetap saja tidak tersambung dan tidak ada jaringan. Apa jaringan telah stabil tapi hanya untuk panggilan lokal saja sementara untuk panggilan internasional masih bermasalah? Setidaknya aku bisa menghubungi Risme hari ini dan mengabarinya bahwa hari ini aku siap melakukan pencarian.
Aku menelpon Risme kembali dan memberitahu dimana tempat kami bisa bertemu. Risme mengatakan ia bisa datang dan sedang berada di hotel yang dekat dengan lokasi pertemuan kami. Aku menjanjikan kami bertemu di alun-alun sekitaran gerbang Damaskus (Damascus Gate). Setelah aku selesai menelpon Risme, aku kemudian menunaikan sholat dhuha dan lalu pamit ke keluarga Abu Ghazalah untuk berangkat.
Aku ijin pamit ke tuan Hisham, nyonya Ruqayya, Nafisa dan Hanash terutama Hanash yang menampilkan ekspresi sedih dari wajahnya. Dia mengira aku akan pulang dan pergi dari rumah mereka hari ini.
"Hanash, aku belum akan pulang. Aku hanya pergi sebentar dan nanti akan kembali lagi." Kataku sembari jongkok menghadap Hanash yang sedang duduk. Ia hanya mengangguk pelan dan sedikit tersenyum
"Ayo...!" ajak Thoriq yang juga ingin pergi kerja ke bengkelnya. Aku dan Thoriq berjalan kaki bersama sampai jalan besar di dekat bengkel Thoriq dimana aku bisa memesan sebuah taksi.
"Aku pergi dulu. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam nak. Semoga urusanmu lancar." Sahut nyonya Ruqayya.
"Waalaikumsalam. Hati-hati nak." Timpal tuan Hisham. Dan Hanash melambaikan tangannya walau masih dengan tatapan sedih di wajahnya. Begitupula Nafisa yang hanya tersenyum mengantar kepergianku.
Aku dan Thoriq mulai berjalan kaki menyusuri jalan setapak sampai ke jalan besar. Selama diperjalanan Thoriq mengatakan menaruh kekaguman padaku. Katanya aku merupakan cerminan muslim yang luar biasa. Dia kagum pada orang-orang Indonesia sepertiku dan mas Hamidun yang pernah dikenalnya dimana negara Indonesia bukan native speaker bahasa Arab tapi mempunyai nilai-nilai keislaman yang dalam dan kuat bahkan jauh lebih kuat ketimbang orang Arab asli seperti beberapa teman yang dikenalnya. Kubilang padanya bahwa dari mana kita berasal tidak berhubungan sama sekali dengan nilai keislaman. Islam dan Al-Qur'an sendiri datang ke dunia ini tidak hanya untuk orang arab atau kawasan timur tengah saja tetapi juga untuk seluruh dunia dan untuk sekalian manusia. Iman dan takwa tidak mengenal ras dan bangsa. Aku menjelaskan beberapa ayat Qur'an yang menerangkan tentang hal tersebut. Nabi Muhammad, ajaran dan syariat beliau, terutama Al-Quran, bersifat universal.
"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."
(QS. Saba 28)
"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi seluruh manusia."
(QS. Al Baqarah 185)
"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman."
(QS. Yunus 57)
"Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk"
(QS. Al A'raaf 158)
"Dan banyak lagi ayat-ayat yang dibuka dengan seruan "Yaa Ayuhannaas" yang artinya segala risalah Nabi Muhammad, syariat beliau dan ajaran islam ini sendiri merupakan ajaran yang universal dan ditujukan bagi sekalian manusia di bawah kolong langit ini."
"Itulah hebatnya kalian. Kalian bahkan tidak memahami bahasa Arab tapi fasih menjelaskan ayat dan kandungannya seperti itu." Kata Thoriq.
Itulah masalahnya. Bahasa Qur'an merupakan bahasa universal namun juga sakral. Saking sakralnya tidak ada yurisprudensi hukum yang membolehkan kitab suci ini di alih bahasakan ke bahasa lokal masing-masing. Diperlukan sebuah kesadaran tersendiri bagi para pembaca dan pengamal Al-Qur'an, untuk mau memahami kandungan ayatnya. Al-Qur'an menurutku tidak hanya untuk dibaca dan dilantunkan namun juga perlu di pahami, di hayati dan diresapi agar mendarah daging dalam hati, pikiran dan kelakuan. Karena Qur'an adalah pedoman dan yang namanya pedoman haruslah kita pahami dan pelajari karena itu merupakan sebuah instruksi. Instruksi bagaimana berkehidupan, bagaimana menjadi manusia terbaik, dan bagaimana mencapai ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan. Segala solusi dan jalan keluar dari hidup ini sebenarnya ada di Al-Qur'an bagi mereka yang mau mencari dan memahami.
Aku jadi mengingat sebuah disertasi dari Ahmad Rofiq Ph.D yang pernah kubaca berjudul "The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speaking Community." Tekait polemik pengamalan ayat Qur'an bagi masyarakat dengan tutur bahasa non arab terlebih fokusnya terhadap masyarakat Banjarmasin, kota tempat asalku yang agamis yang meletakan nilai-nilai kesakralan ayat Al-Qur'an sebagai media yang mendatangkan keberkahan, kesalehan dan kebaikan tanpa tuntutan harus mengetahui arti dan makna dari bacaannya.
"Jika Al-Qur'an diwartakan dan diberitakan untuk semua manusia tanpa terkecuali, apa itu termasuk kaum yahudi?" tanya Thoriq.
"Tentu saja Thoriq. Bahkan jika kita jeli, seruan "Yaa Bani Israil" banyak terdapat dalam Al-Qur'an. Ini mengisyaratkan bahwa kitab ini pun di tujukan untuk mereka, sayangnya oleh sebagian besar dari mereka di tolak dan di dustakan."
"Ya, aku pernah dijelaskan panjang lebar oleh Hamidun sebelumnya tentang hal itu. Tentang perbedaan antara orang yahudi dan gerakan zionist." Sahut Thoriq.
"Tapi jujur saja, aku sangat membenci mereka. Seperti yang kau tahu, keluarga kami seperti hampir semua keluarga di Palestina ini mempunyai pengalaman yang pahit terkait kaum yahudi. Sedari kecil aku menjadi saksi kedzaliman mereka seperti bagaimana kami harus kehilangan rumah-rumah kami sebelumnya, dan bagaimana Hanash harus mengalami hal buruk seperti itu. Dia tidak layak mengalami itu bahkan di usianya sekarang. Ketika aku mengingat nasib buruk Hanash, aku semakin membenci mereka. Mereka telah menimpalkan banyak penderitaan kepada kami warga Palestina. Mereka penjajah kotor yang busuk dan kejam. Beberapa temanku bahkan banyak yang tewas di tangan mereka. Saat muda aku pernah kehilangan sahabat karibku dalam sebuah baku hantam dengan tentara mereka. Belum lagi jika kau tertangkap, antara kau tewas disana dan tidak kembali, atau kau beruntung bisa kembali untuk menceritakan betapa kejam dan bengisnya mereka memperlakukanmu sewaktu di penjara. Aku pernah mengalami hal itu. Rasanya benar-benar seperti di neraka dan untungnya aku bisa keluar dari jurang neraka yang mereka ciptakan itu dan kembali pada keluargaku." Tambahnya dengan nada penuh kebencian mendalam. Dan aku cukup memahami dan memaklumi, darimana akar kebencian itu berasal.
"Aku memahami itu Thoriq. Kalian telah mengalami berbagai macam hal yang aku sendiri tak bisa bayangkan. Kalian menanggung semua beban dan penderitaan jauh lebih besar dari yang pernah dialami oleh kaum muslim manapun di muka bumi. Jadi kau pernah disiksa oleh mereka?"
"Lebih dari sebuah penyiksaan. Bagi kami, itu semua terasa seperti sebuah hinaan. Tidak ada yang lebih buruk dari itu."
"Kapan kau mengalaminya?"
"Sudah cukup lama. Mungkin sudah sekitar empat tahunan. Aku selalu ingin berjuang bahkan jika harus bersenjatakan sebongkah batu. Aku selalu ingin berjuang membela bangsaku, orang-orangku, keluargaku, masyarakatku dan agamaku. Aku ingin mempertahankan harga diriku. Tapi ... sejak itu, ayah dan ibu melarang keras aku ikut. Mereka takut aku tidak akan kembali jika tertangkap atau malah akan tewas di tempat akibat peluru nyasar. Seperti yang di alami beberapa teman seusiaku dulu."
"Orangtuamu benar Thoriq. Sedikit saran dariku, sebaiknya kau tidak lagi terlibat dengan hal-hal berbahaya seperti itu. Aku sangat paham dan mengerti bahwa ini merupakan jihad fisabilillah kalian sebagai pemuda tanah Palestina. Aku pun jika jadi kalian pasti akan melakukan hal yang sama. Aku akan membela tanah airku, kaumku, harga diriku dan jati diri bangsaku yang hak-haknya dirampas secara paksa dan dzalim. Tapi kau juga harus ingat Thoriq, kau merupakan tulang punggung keluargamu. Kau satu-satunya harapan yang di miliki oleh mereka. Akan ada masanya kedua orangtuamu kelak menggantungkan harapan padamu. Nafisa juga kelak pasti akan ikut dengan suami dan keluarganya begitu juga Hanash. Terlebih Nafisa tidak meneruskan pendidikannya sehingga hanya kau yang mampu meneruskan cita-cita mereka Thoriq. Kau bahkan memiliki cita-cita dan impian ingin meneruskan ke jenjang perguruan tinggi kan? Kau pasti bisa sukses dan kau harus membuat bangga keluargamu. Mengangkat keluargamu dengan tanganmu dan membantu mereka. Jadi jika kau kenapa-napa. Itu semua akan sirna."
"Kau benar Rani ... terima kasih banyak!" katanya sembari menepuk punggungku.
"Oh iya, urusan seperti apa yang kau sedang kerjakan di Yerusalem? Apa terkait dengan studimu atau apa?" tanyanya.
"Iya, Ini semacam riset dan penelitian yang harus kulakukan. Aku di suruh untuk membantu salah seorang Profesor dari Turki." Jawabku secara jujur.
"Kau hebat Rani! Kau jauh lebih muda dariku tapi aku bahkan tidak sukses sepertimu."
"Jangan berkecil hati seperti itu. Teruslah berikhtiar, berusaha semampu kita dan sertakan dengan doa. Insha Allah kau pasti bisa Thoriq!" Aku memberi semangat padanya.