Semesta Ayat : Sakinah Di Palestina

Raz Aka Yagit
Chapter #32

Busyra (Kabar Gembira)

AKU menyusuri setiap sudut gua yang menakjubkan ini. Mendaki tangga-tangganya dan mulai mengobservasi setiap sudut. Aku dan Risme memasuki ujung gua sebelah barat yang memiliki ruangan jauh lebih sempit, untuk memasukinya kita harus sedikit menunduk. Pencahayaan disini juga kurang dibanding tempat lainnya di gua ini. Aku memperhatikan setiap sudut, setiap sisi dan setiap bentang ruangan dalam gua untuk menemukan celah atau semacamnya tapi hasilnya nihil. Tidak ada apapun yang kami temukan disini.

Kami pun keluar gua dan tidak menemukan hal apapun disini. Aku ingin menjelajah sisi terluar dari gua ini. Aku bertanya pada Risme, apa dia tidak keberatan mengikutiku? Kubilang aku bisa mengobservasi tempat-tempat yang harus kudatangi sendirian dan tidak perlu ditemani. Aku tidak ingin merepotkan Risme. Mungkin aktifitas pencarian ini dirasa sangat membosankan baginya, membuang waktu dan ia hanya terpaksa melakukannya demi ayahnya. Tapi jawaban Risme mengejutkanku. Katanya dia cukup antusias dengan pencarian ini. Dengan jujur dia mengatakan sangat skeptis dan tidak terlalu yakin aku akan menemukan benda Tabut itu, tapi bukan berarti dia tidak mempercayainya sama sekali. Risme mengatakan padaku bahwa ia juga penasaran bagaimana hasilnya nanti. Risme bilang ia bahkan menanti hal mengejutkan yang tidak terduga baginya. Dia juga penasaran dengan proses bagaimana aku akan menangani pencarian ini dan katanya cukup antusias menjadi arkeolog dadakan bersamaku. Risme dengan senang hati akan ikut denganku kemanapun aku menelusuri dan menjelajahi kota ini, toh Risme juga mengatakan belum memiliki kesibukan apapun alias dalam waktu luang. Risme juga mengatakan kalau nanti dia sibuk, dia juga tidak akan bisa ikut dan akan ijin padaku terlebih dahulu.

Kami berdua mulai menjelajahi sisi terluar dari gua Zedekia. Kami berjalan cukup jauh menyusuri tepian tembok besar kota lama sampai menuju Hahodim Street dekat gerbang herodes. Disana kami kembali duduk sembari istirahat. Aku menanyakan sesuatu yang agak private padanya. Tentang siapa tokoh pemikir atau influencer yang cukup berperan dalam membentuk konstruksi rasionalitas berpikir Risme sehingga ia memutuskan menolak untuk menjadi seorang theist. Dengan santai Risme mulai menjabarkan asal muasal bagaimana ia menemukan realitas yang nyaman untuk ia yakini sepenuh hati. Alih-alih menjadi ateist, aku bertanya kenapa Risme tidak menjadi seorang agnost?! Apa begitu sulit baginya menerima eksistensi kekuatan maha dahsyat sang pengatur alam semesta walau agnost tidak tahu siapa sang maha ini dan yang mana yang benar diantara semua agama yang meyakininya.

"Aku menghayati filsafat eksistensialismenya Jean Paul Sartre yakni tentang ada bagi orang lain. Mengedepankan humanisme dasar terkait kepedulian terhadap sesama manusia tanpa memandang ras, agama dan bangsa. Ketika membaca pidato Existentialism is A Humanism, bahwa yang terpenting adalah ...."

"Berfaedah dan berguna bagi orang lain," sahutku menyela Risme.

"Benar! Agama terkadang hanya menghalangi tindakan tersebut. Egoisme sektarian yang mengancam kemanusiaan dan memberi sekat-sekat pada kehidupan. Ini dikarenakan agama sendiri lahir sebagai bentuk kebutuhan dasar dan wujud lain defence mekanism manusia. Bentuk pertahanan diri dari berbagai ketakutan. Ketakutan adalah hal fundamental yang membangun kebutuhan manusia untuk beragama. Takut hal-hal yang tidak diketahui (misteri), takut kalah, takut akan kematian, takut kesendirian dan pengabaian, dan hal tersebut tidak baik bagi kemanusiaan karena agama hanya menciptakan persaingan. Takut merupakan sumber dari semua keburukan dan kejahatan. Oleh karenanya kata Bertrand Russel, tidak mengherankan jika kejahatan dan agama terkadang senantiasa berjalan beriringan. Teroris, separatis, konflik sosial, bahkan negeri ini (Palestina) adalah gambaran nyata dimana ego sektarian agama melukai dan menciderai kemanusiaan."

"Aku cukup paham apa yang kau rasakan. Kadang agama bisa menjadi alat yang sangat berbahaya. Tapi agama bukan hanya kebutuhan melainkan suatu pedoman, identitas, dan tentang pengendalian diri. Tidak hanya tentang menghancurkan tapi kasih sayang dan memelihara kehidupan. Dan yang harus kau ketahui, bahwa beragama belum tentu sama dengan bertuhan. Lantas, kenapa kau mengeliminasi kemungkinan adanya kekuatan yang disebut Tuhan?"

"Alasanku menjadi Ateist dan bukannya Agnost sebenarnya cukup sederhana. Tidak ada bukti kuat terkait keberadaan Tuhan. Baik teistik kaum beragama maupun agnostik, keduanya salah mengartikan keteraturan dan hukum alam sebagai satu sosok mandiri yang mereka sebut Tuhan. Hukum semesta dan rantai konsekwensi yang menyertainya, melampaui dan diatas dari konsep Tuhan dalam pikiran manusia." Tegas Risme sangat tendensius.

"Oke, Jadi ... seandainya aku bisa menemukan Tabut itu, membawakan bukti bahwa aku menemukannya padamu dan menjadikan mimpi Profesor terkait hal itu adalah benar, apa kau akan percaya Tuhan? Bahwa tidak ada kausalitas di dalam hukum semesta ini yang bisa menciptakan rangkaian semacam itu, kecuali dengan kata lain, itu adalah suatu bentuk dan rangkaian empiris keberadaan Tuhan dalam satu skema kehendak-Nya yang melampaui hukum-hukum semesta yang kau percaya. Apa kau akan meninggalkan keyakinanmu itu?"

"Tentu! Itu artinya ada yang namanya Tuhan yang menciptakan rangkaian skema seperti itu. Dan aku pasti akan mengimani-Nya kembali. Jadi Rani, silahkan buktikan hal itu padaku. Buktikan bahwa mimpi papa itu benar." Celetuk Risme sembari tersenyum lebar padaku seakan menantangku. Dari tatapannya aku bisa melihat skeptisisme dan ketidak percayaan bahwa aku akan benar-benar menemukannya. Aku sendiri pun sadar, sulit meruntuhkan tembok konstruksi berpikir Risme yang cukup rumit namun mapan itu. Tembok yang sama kokohnya dengan tembok besar yang mengurung kawasan kota lama yang kutatap sekarang. Rasionalitas ilmiah telah menyatu dalam pikiran dan diri Risme sehingga benar hanya mukjizat yang bisa mengubah itu semua. Aku hanya bisa berikhtiar. Hanya Allah yang nantinya akan menentukan.

Ini telah menjelang waktu makan siang dan waktunya Dzuhur. Aku dan Risme telah menyusuri seperempat tembok luar dari gerbang damaskus ke gerbang herodes dan aku belum menemukan apapun. Tidak ada spot atau celah dimana aku bisa menemukan jalan menuju lorong rahasia di ruang bawah tanah kota lama. Aku dan Risme kemudian menuju Hatsariah haAdom Street. Disana ada Mesjid Al-Hamra tempat aku bisa menunaikan sholat Dzuhur sebelum kami mencari makan siang lalu kembali pulang. Aku berencana akan pulang sebelum Ashar dan menyudahi pencarian kami untuk hari ini. Risme menungguku di area luar sekitar Mesjid sampai aku selesai menunaikan sholat. Kami kemudian naik taksi menuju kawasan Al-Wad Street untuk mencari makan. Kami makan di salah satu restoran di jalan Hagai 174.

Sembari menyantap makan siangku, aku menanyakan kepada Risme kenapa dia bisa menghubungi Profesor di Turki, setahuku sekarang lagi terjadi masalah teknis terkait jaringan seluler disini, dimana tidak bisa melakukan panggilan ke luar negeri dari sini sehingga aku tidak bisa menghubungi istriku, Zahra. Aku harap Risme bisa membantuku melakukan panggilan internasional agar aku bisa menghubungi dan mengabari istriku.

"Ya, aku juga dengar itu. Untuk beberapa saat jaringan seluler di negara ini lumpuh akibat beberapa serangan milisi yang merusak fasilitas pusat penghubung telekomunikasi tapi untuk panggilan lokal sudah kembali stabil dan kudengar, masih belum bisa untuk panggilan internasional ke luar negeri. Aku juga tadinya tidak tahu kenapa aku masih bisa menghubungi papa di Turki. Dan selang beberapa waktu lalu aku mengetahui bahwa jalur komunikasi ke Eropa, negara-negara timur tengah dan sebagian Afrika masih bisa kecuali untuk Amerika, Australia dan Asia, dan itu artinya juga Indonesia. Maaf Rani, kudengar seperti itu." Terang Risme.

"Begitu ya ... itu artinya untuk sementara ini kami lost contact. Mungkin ... sekarang istriku sedang cemas dan khawatir ketika aku tidak bisa dihubungi seperti ini." Gumamku lirih dan sedih. Aku sedikit galau dan gelisah karenanya.

"Maaf Rani, andai aku bisa membantumu. Aku ingin sekali membantu." Kata Risme dengan nada menyesal.

"Tidak apa-apa Risme. Aku hanya berharap bisa menghubungi istriku walau hanya sekali, untuk mengabari bahwa aku tidak bisa lagi menelponnya dan bahwa aku akan baik-baik saja disini."

"Tunggu, sepertinya aku tahu orang yang bisa membantumu." Kata Risme seakan teringat seseorang.

"Siapa?" tanyaku.

"Ya, aku yakin dia bisa membantumu. Aku akan menelponnya sekarang dan meminta bantuannya. Dia adalah seorang jurnalis yang kebetulan juga sedang berada disini. Dia temanku sewaktu belajar di Perancis, aku tahu dia pasti bisa membantu. Kau tunggulah aku akan menghubunginya." Kata Risme dengan semangat sembari melakukan panggilan.

Risme mulai bicara dengan kenalannya itu di telpon. Keliatannya mereka memang sangat akrab dilihat dari cara Risme bicara dengannya. Dari suaranya, samar-samar terdengar, ia adalah seorang wanita.

Setelah menghubunginya Risme menutup teleponnya.

"Bagaimana?" tanyaku.

"Kebetulan sekali dia bilang sedang berada di dekat sini dan akan sampai kesini sebentar lagi. Kita tunggu saja."

"Baiklah. Sekali lagi terima kasih, Risme." Kataku sembari menyeruput minuman dari sedotan.

"Tidak masalah. Dia teman akrabku dan dia selalu bisa di andalkan. Aku juga sudah lama tidak berjumpa dengannya dan aku kebetulan juga ingin bertemu dengannya. Aku baru ingat kalau dia juga sedang berada di negara ini. Ini moment yang tepat untuk kami bertemu. Katanya dia sudah sebulan lebih berada di Palestina."

"Jadi, dia seorang jurnalis? Bagaimana dia bisa membantuku?"

"Nanti juga kau akan tahu. Dia pasti bisa membantumu menghubungi istrimu di Indonesia." Kata Risme sembari tersenyum dan menyeruput minuman dingin di hadapannya.

"Oh iya, aku juga ingin bantuanmu satu lagi. Sebelum kita pulang nanti bisa kah kau menunjukkan dimana tempat aku bisa membeli boneka-boneka lucu di kota ini? Apa kau tahu tempat seperti itu Risme?" tanyaku.

"Boneka? Untuk siapa? Oh, untuk putri kecil tuan Abu Ghazalah itu? Siapa namanya, Hanash? Emm ... ya sepertinya aku tahu dimana tempat kita bisa membeli itu. Aku akan menemanimu membelinya."

"Terima kasih kembali Risme."

"Kau memang baik hati Rani. Anak itu pasti sangat menyayangimu. Dari cerita-ceritamu tentang mereka, anak itu terlihat cukup menyayangi dan menyukaimu."

"Ya, dia adalah malaikat kecil yang telah banyak menderita. Aku hanya ingin membagi dan memberi banyak kebahagian padanya selama aku bisa sebelum aku pergi dari sini. Aku ingin melihat senyum bahagia dari wajah anak tak berdosa itu. Suatu kepuasan bagiku bisa membahagiakannya."

Sekitar lima belas menit kemudian orang yang dimaksud Risme datang. Wanita itu langsung menghampiri Risme dan Risme seketika melambaikan tangannya. Sungguh mengejutkan, aku mengenali wajah wanita ini dan dia pun seketika langsung mengenaliku. "Eh, you?" gumamnya.

"Jadi, kau?" gumamku juga sambil kami berjabat tangan. Ternyata Novy Milanovna, adalah teman yang dimaksud Risme.

Risme yang melihat itu seketika menjadi bingung, "jadi kalian sudah saling mengenal? Dimana?" tanyanya tersenyum dan terkejut.

Lihat selengkapnya