TIGA hari telah berlalu sejak pencarianku yang pertama bersama Risme. Aku pergi setiap pagi dan pulang setelah Ashar tanpa memberitahu urusan apa yang sedang kukerjakan pada keluarga Abu Ghazalah. Mereka juga masih libur berjualan sementara waktu dan semakin hari, sikap dan perlakuan Nafisa kepadaku semakin dingin. Tak ada lagi senyum yang kudapati menghiasi wajahnya beberapa hari ini sejak aku mengatakan aku telah berkeluarga. Aku juga belum menemukan apa-apa dalam pencarianku. Tidak ada tempat yang cocok dengan karakteristik yang aku cari dan aku masih belum menemukan celah apapun. Aku dan Risme telah berkeliling kota lama dan menyusuri tembok terluarnya selama tiga hari ini namun hasilnya tetap saja nihil. Semua sudut tembok dan gerbang telah kudatangi. Aku sedikit frustasi dan semakin skeptis setiap harinya bahwa aku akan bisa menemukan tabut itu. Aku mulai menjadi seperti Risme yang ragu bahwa aku dapat menemukan benda itu. Profesor melalui Risme mengatakan masih percaya padaku dan masih haqqul yakin aku akan menemukannya sebagaimana mimpi yang pernah beliau terima. Tapi itu tetap tidak menghilangkan keraguanku dapat menemukan Tabut itu. Malah, hal tidak terduga terjadi padaku. Alih-alih aku menemukan Tabut Perjanjian itu, aku malah menemukan gerbang neraka terlebih dahulu. Gerbang gehenna di negeri para anbiya.
Pada hari selasa sore ketika aku baru saja pulang dari rutinitasku biasanya yakni eksplorasi ke kota lama Yerusalem bersama Risme, aku mendapati tuan Hisham agak gelisah. Kutanyakan ada apa dan dijawab oleh Nafisa bahwa kakaknya Thoriq sedang ikut bentrokan. Terjadi sebuah bentrokan massa warga Palestina dan tentara zionist di dekat El Zambak Street. Dengar-dengar telah terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh beberapa warga Palestina termasuk para mahasiswa setempat yang menolak kebijakan Israel untuk mendirikan pemukiman yahudi di sekitaran Ramallah dan kota Hebron. Demonstrasi di adakan sejak siang tadi di dua kota tersebut dan dari kabar terbaru, keluarga Abu Ghazalah mengetahui bahwa demonstrasi disini berubah menjadi sebuah bentrokan bersenjata dan baku hantam lemparan batu. Tentara Israel melakukan upaya represif untuk melerai dan membubarkan massa.
Tuan Hisham ingin pergi kesana sedari tadi untuk mencari Thoriq tapi nyonya Ruqayya dan Nafisa melarangnya. Hanash juga terlihat ketakutan tidak tahu menahu situasi apa yang sedang terjadi. Dari penuturan Nafisa, bahwa Thoriq langsung ikut bersama teman-temannya untuk bergabung dengan massa demonstran. Tanpa pikir panjang, aku akhirnya menawarkan diri untuk pergi kesana mencari Thoriq. Tuan Hisham setuju dan memintaku untuk melihat keadaan Thoriq disana. Nyonya Ruqayya awalnya tidak senang dengan ide bahwa aku ikut kesana mengingat aku adalah warga asing dan tamu yang keselamatannya sudah menjadi tanggung jawab mereka. Beliau tidak ingin terjadi apa-apa padaku terlebih ini adalah sebuah bentrokan dengan aparat bersenjata. Aku kemudian berhasil membujuk nyonya Ruqayya dan segera meluncur ke tempat kejadian menjelang Maghrib.
Sesampainya di tempat itu, aku memang melihat sebuah baku hantam antara warga Palestina dan aparat bersenjata. Dari kejauhan para tentara itu sesekali menembaki warga dan massa dengan peluru berlapis karet sehingga beberapa warga Palestina terluka dan dibalas dengan banyak lemparan batu oleh warga. Aku bisa melihat betapa berani dan perkasanya pemuda Palestina yang berdiri gagah melakukan perlawanan di garis terdepan dimana yang mereka hadapi adalah aparat dengan persenjataan lengkap dan mobil baracuda. Teringat akan sebuah ayat Qur'an yang cukup menggambarkan situasi heroik yang aku lihat sekarang.
"Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana."
(QS. Al Israa 5)
Hari telah gelap dan mulai malam dan baku hantam terus terjadi. Para demonstran terus didesak menjauh dengan tembakan dan semburan gas air mata. Dalam kericuhan ini, aku menerawang dan mencari-cari dimana Thoriq berada. Aku memicingkan mata untuk mencarinya karena ini telah malam, aku tidak terlalu dapat mengenalinya diantara lautan keramaian. Semua perawakan mereka sama dengan perawakan tubuh Thoriq. Aku mencoba mendekat lebih dekat ke kerumunan. Dari sini ketegangan semakin intens. Aku bisa melihat sang orator sekaligus korlap aksi.
Tiba-tiba, Thoriq menghampiriku dengan menyentuh pundakku. "Rani! Sedang apa kau disini? Menjauhlah, ini berbahaya bagi orang sepertimu." Katanya.
Tak sempat aku membuka mulut memintanya pulang, Thoriq menoleh, langsung menimpuk dan melempar dengan keras memakai batu-batu berukuran sedang yang tadi ada di tangannya kepada tentara Israel. Dengan sangat geram dan gusar ia langsung membalas serangan balik para aparat tentara itu. Massa kembali bergerak maju dan tanpa sadar aku telah kehilangan Thoriq lagi. Beberapa yang ikut bentrokan ini bukan hanya dari kalangan warga sipil saja tetapi beberapa kelompok mahasiswa. Seorang mahasiswa yang mungkin melihatku langsung menghampiriku. Katanya ia mengenali wajahku. Ia pernah melihatku di acara seminar internasional PBB waktu itu.
"Sedang apa kau disini? Kau bukan orang sini bukan? Rasanya aku pernah melihatmu di acara seminar PBB saat itu."