Semesta Ayat : Sakinah Di Palestina

Raz Aka Yagit
Chapter #35

Malaikat Penentang Tuhan

SEORANG pria berkacamata, berbaju putih khas petugas medis memasuki ruangan. Mereka membawakan seorang dokter, namun dokter ini hanya melakukan perawatan dan pemeriksaan seadanya, memeriksa tubuhku dengan stetoskop, memberi satu suntikan di lengan, lalu mengoleskan memar-memar di tubuhku dengan sedikit antiseptik dan alkohol. Dokter yang dilihat dari ID pengenal di dadanya bernama Nathan Segen ini mengangguk kepada salah seorang tentara seakan menandakan aku telah baik-baik saja. Aku tentu saja heran, setelah berhari-hari disekap, digebuk, disiksa dan dipukul sedemikian rupa sampai berpikir pasti meregang nyawa—tiba-tiba diobati seperti ini, ya walau hanya pengobatan sekedarnya. Dokter itu bilang bahwa dia hanya memberi morphin dalam suntikan tadi dan merawat memar-memarku saja, sisanya aku dianjurkan olehnya untuk melakukan perawatan intensif ke rumah sakit untuk patah-patah tulang dan luka dalam lainnya. Yang paling mengejutkan, dokter ini bilang aku telah bebas dan boleh pergi. Dokter itu pun pergi lalu aku kembali dibawa dan dimasukan ke dalam sebuah mobil. Mataku kembali ditutup dan dibawa entah kemana. Setelah sampai di salah satu tempat dengan tempat duduk dan sofa dalam sebuah ruangan, penutup mataku dibuka. Aku melihat simbol pemerintah Israel di dinding ruangan. Aku tidak tahu ini tempat apa. Tiba-tiba wajah yang familiar dan kukenali masuk ke ruangan ini. Dia adalah Risme! Aku tidak menyangka akan sesenang ini melihat wajahnya.

"Astaga kau kacau sekali. Apa kau tidak apa-apa?" tanya Risme langsung menghampiriku dengan ekspresi sangat khawatir.

"Apa yang terjadi Risme? Apa kau membebaskanku?" tanyaku getir.

Risme mengangguk, "tentu saja. Ini adalah kewajibanku dan papa. Maaf Rani kau sampai jadi seperti ini." Ucapnya seraya menutup mulut yang bergetar seperti hendak menahan tangis.

Dengan tubuh yang masih sakit di beberapa bagian, seketika aku langsung sujud syukur perlahan karena mengetahui telah bebas. Risme pelan-pelan membangunkanku sambil bergumam, "ayo, kita ke rumah sakit segera. Kau harus di rawat secepatnya."

Aku sangat senang mengetahui telah bebas dan dapat keluar dari pusara neraka dunia itu, sampai-sampai aku tidak memperhatikan tempat sekitaranku ketika aku dibawa dari tempat ini kembali ke sebuah mobil bersama Risme untuk langsung diboyong ke rumah sakit. Di dalam mobil aku berbaring dan beristirahat melepaskan kelelahan dan bebanku. Aku bersyukur bisa bebas dari penjara Israel. Kukira aku akan tewas meregang nyawa di sebuah penjara rahasia di negara itu. Dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, aku yang sedikit lemas dan terjaga di ajak bicara oleh Risme. Dia menjabarkan, bahwa dialah yang membebaskanku dengan bantuan teman jurnalis dan reporternya yang kemarin kami temui, Novy Milanovna. Sesaat di malam aku dibawa dan ditangkap, keesokan harinya Risme tetap menunggu kedatanganku di tempat kami biasa janji bertemu. Setelah berjam-jam aku tidak kunjung datang, Risme curiga apa ada satu masalah yang menimpaku seperti kecelakaan atau semacamnya. Dengan kekhawatiran itu Risme sengaja mendatangi rumah keluarga Abu Ghazalah. Dari mereka lah Risme akhirnya mengetahui bahwa aku di tangkap oleh tentara Israel karena dianggap sebagai salah satu demonstran saat terjadi baku hantam masyarakat Ramallah dengan tentara Israel. Sejak itu, Risme intens melakukan segala upaya untuk membebaskanku, mulai dari mencari tahu dimana aku dibawa dan ditahan, lalu menghubungi kantor KJRI Indonesia di Ramallah. Profesor Abdul, setelah mengetahui hal ini dari Risme seketika berencana akan terbang kembali ke Palestina tapi kata Risme dia bisa menanganinya. Profesor meminta kepada Risme dengan upaya apapun aku harus dibebaskan dengan selamat. Segala upaya dan jalur diplomatik yang Risme tempuh berjalan alot. Risme meminta maaf atas berlarutnya penangkapanku sampai berhari-hari seperti ini. Dengan sangat menyesal ia mengucapkan permintaan maafnya dan ayahnya karena tidak bisa langsung membebaskanku.

Mulanya Risme mengatakan pemerintah Israel enggan memenuhi permintaannya terkait pembebasanku dan terkesan selalu menyulitkan upaya hukum dan diplomasi yang Risme tempuh. Sebagai seorang diplomat muda PBB, tentu saja Risme memiliki banyak relasi yang dapat membantunya ditambah dukungan Novy Milanovna yang juga berupaya membantu pembebasanku dengan ancaman publisitas dunia dan mengancam akan mem blow up berita ini jika Israel masih menahanku. Akhirnya dengan segala upaya itu aku dibebaskan dengan syarat uang jaminan sebesar 5500 Shekel dan semua dibayarkan oleh Risme dan Profesor. Aku katakan pada Risme tidak apa-apa, tidak usah meminta maaf, ini adalah musibah, yang penting dia telah berupaya sangat keras sampai aku bisa bebas.

Risme sudah sangat berjasa mengeluarkanku dari jurang neraka itu. Di mataku, Risme tak ubahnya seorang malaikat penyelamat. Pujian ini tak berlebihan kuungkapkan. Atas bantuannya lah sekarang nyawaku terselamatkan. Risme memang memiliki sayap-sayap kebaikan. Buktinya ketika ia ikut membeli halloumi dari anak kecil penjaja asongan waktu itu dan juga bagaimana ia dengan tulus ikut membelikan Hanash hadiah boneka. Dan sekarang, dengan segala upaya Risme juga membebaskanku. Aku hanya bersyukur kepada Allah telah mengirimkan malaikat penolongnya dalam rupa seorang Risme. Sayang, malaikat yang satu ini mengingkari Tuhannya sendiri. Dia tidak mengenal siapa Tuhannya. Malaikat yang dengan penuh keyakinan, menolak dan menentang Tuhan.

Itulah yang kusedihkan!

Sebaik apapun sikap dan perbuatan kita sebagai manusia, belumlah bisa dianggap baik sepenuhnya jika mengingkari eksistensi Tuhan. Pengingkaran terhadap-Nya adalah kejahatan terbesar. Sebuah pengkhianatan dari satu ikrar yang pernah diucapkan. Bukankah kita semua sebelum dilahirkan telah bersaksi bahwa benar dialah Tuhan dan pencipta kita? Lalu kita mengingkarinya, adakah yang lebih jahat dari orang yang berdusta? Berkata lalu mengingkarinya?

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhan engkau?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)."

(QS. Al Araaf 172)

"Orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya."

(QS. Al Kahfi 104)

"Mereka itu adalah orang yang mengingkari ayat-ayat Tuhan mereka dan (tidak percaya) terhadap pertemuan dengan-Nya. Maka sia-sia amal (kebaikan) mereka, dan kami tidak memberikan penimbangan terhadap (perbuatan) mereka pada hari kiamat."

(QS. Al Kahfi 105)

Sesampainya di rumah sakit aku langsung dirawat intens selama beberapa hari sampai benar-benar sembuh. Aku ditangani oleh dokter-dokter terbaik disini. Risme membawaku ke rumah sakit di pusat kota. Satu waktu, keluarga Abu Ghazalah berkunjung ke kamar inapku dan mereka semua menangis melihat keadaanku terutama tuan Hisham dan Nyonya Ruqayya. Thoriq juga memegang tanganku dan menitikkan air mata sambil berucap meminta maaf, "ini semua adalah karena kesalahanku." Sesal Thoriq.

"Tidak apa-apa Thoriq. Ini bukan salah siapa-siapa. Yang penting bukan kau yang kemarin tertangkap, kasihan keluargamu. Kalau aku, aku alhamdulillah masih bisa dibebaskan seperti ini tapi bagi kau yang merupakan warga lokal dan bukan orang yang cukup berpengaruh, akan sangat sulit keluar dari neraka kebiadaban dan kedzaliman itu. Jadi ingatlah kata-kataku ini. Jagalah dirimu dan jangan membuat sulit keluargamu. Aku telah melihat sendiri neraka yang dibuat para durjana itu. Tidak ada manusia yang pantas diperlakukan seperti itu. Aku beruntung masih bisa keluar hidup-hidup dan selamat."

"Aku akan ingat. Aku akan lebih hati-hati lagi dalam berjuang dan akan mementingkan keluargaku terlebih dahulu." Sahut Thoriq.

Aku menatap Nafisa, seketika ia membuang muka. Sedikit pun kemarahan dan sikap dinginnya padaku belum sirna bahkan dengan adanya kejadian ini. Walaupun masih bersikap dingin tetapi aku bisa melihat matanya yang sembap. Ia pun pasti sedih dengan kejadian yang menimpaku. Hanash seketika mendekat perlahan dan langsung memelukku yang sedang terbaring tak berdaya. Aku mengusap kepala bidadari kecil ini dengan perasaan amat bahagia. Sembari mengusap kepala Hanash aku berpikir dan bersyukur, sungguh tidak kukira aku akan kembali pulang dengan selamat dan bahkan bisa berkumpul lagi dengan mereka. Bisa melihat lagi wajah lugu dan tak berdosa Hanash. Senyuman dan pelukan adik kecil Hanash menenangkanku dan membangkitkan kembali semangat hidupku yang sempat redup bahkan hilang beberapa hari yang lalu. Keluarga Abu Ghazalah kemudian ijin pamit pulang. Aku mengatakan sudah tidak sabar ingin tinggal bersama mereka lagi segera setelah kesembuhanku nanti. Mereka mendoakan kesembuhanku lalu beranjak pulang walau Hanash terkesan enggan pergi dari sini.

Aku didiagnosis mengalami pendarahan di tukak lambung, robek otot punggung dan leher. Cidera tenggorokan serta patah tulang rusuk dan beberapa tulang di tubuh. Aku juga mengalami anemia (kekurangan darah) dan vertigo akibat kejadian itu. Dokter mengatakan kepada Risme bahwa aku akan pulih beberapa hari ke depan. Risme menyampaikan pesan Profesor bahwa aku harus segera pulang ke Indonesia dan bahwa Profesor Abdul telah ikhlas. Risme juga mengatakan permintaan maaf ayahnya secara pribadi untukku. 

Lihat selengkapnya