AKU pergi, memesan sebuah taksi dan kembali ke kota Yerusalem lalu mencari salah satu hotel disana. Aku memesan sebuah kamar di Malka Hotel. Aku kemudian menghubungi Risme dan mengatakan bahwa aku telah pindah dari rumah keluarga Abu Ghazalah ke hotel di dekat kota lama Yerusalem sehingga besok-besok kami akan lebih mudah bertemu dan dia tidak harus lama menungguku seperti biasa. Risme bertanya kenapa aku memutuskan pindah dari rumah keluarga Abu Ghazalah? Tapi kujawab tidak ada apa-apa, aku hanya tidak ingin merepotkan mereka kataku. Aku tidak ingin mengatakan hal yang sebenarnya pada Risme karena hal itu merupakan aib bagi keluarga Abu Ghazalah. Biarlah ini menjadi rahasia yang kupendam sendiri. Setelah aku menutup telepon Risme, aku mengurus sesuatu untuk mengirimkan uang kepada keluarga Abu Ghazalah melalui jasa kurir antar yang akan kukirimkan besok. Niat ini memang niatku sedari dulu jikalau aku telah pergi dari sana. Uang ini adalah uang terima kasihku kepada mereka dan untuk mengganti biaya selama mereka menampungku dan membolehkanku tinggal disana. Kuharap uang ini dapat berguna untuk mereka terutama bagi keperluan Hanash dan untuk biaya masuk sekolahnya tahun depan. Aku tidak memberikan uang ini tadi ketika pergi karena dengan situasi seperti itu mereka pasti akan menolaknya. Jadi kalau aku mengirimkannya seperti ini, mau tidak mau mereka pasti akan menerimanya. Aku juga menulis sebuah surat ucapan terima kasihku kepada mereka. Aku menulis dalam surat ini seolah-olah aku telah sampai dan berada di Indonesia. Maafkan hamba ya Allah harus berbohong seperti ini lagi.
Setelah aku menunaikan sholat Isya dan bangun malam untuk melaksanakan sholat tahajjud di kamar hotel, aku memikirkan tentang kejadian yang tadi baru saja aku alami. Sungguh merupakan petaka bagiku jika tadi aku benar-benar terjerumus ke dalam jeratan nafsu jahat bersama Nafisa. Aku memikirkannya kembali, untung saja aku langsung diingatkan oleh Allah. Aku langsung tersadar, seperti mendapat tingkat kesadaran dan pengetahuan betapa hinanya yang namanya berzina. Aku mengingat kembali surah yusuf ayat 24 dimana ketika itu Nabi Yusuf as pun hendak jatuh ke dalam hawa nafsunya sendiri dimana beliau pun memiliki hasrat kepada Zulaikha saat itu andaikan tidak adanya 'Burhana' atau 'tanda' yang datang dan diberikan kepada Yusuf.
"Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih."
(QS. Yusuf 24)
Apa yang aku alami tadi saat bersama Nafisa, ketika kesadaran dan pengetahuan itu begitu jelas hadir dalam kepala sehingga membersihkan kembali pikiran dan nalarku, adalah mungkin sama persis sebagaimana Nabi Yusuf as mendapat tanda (burhana). Seperti yang pernah diutarakan oleh ustadz Adi Hidayat bahwa seseorang yang mana Al-Qur'an telah hadir dan meresap ke dalam sanubarinya, maka Qur'an itu akan menjadi pengingat (reminder), penuntun dan benteng bagi dirinya. Otomatis semua bimbingan Al-Qur'an dengan sendirinya akan membimbingnya dalam sebuah bentuk tingkat kesadaran dan pengetahuan untuk memahami dan menjalankan nilai-nilai dari kitab suci Al-Qur'an. Itulah yang tadi aku rasakan.
Aku pun teringat kembali akan sebuah jurnal ilmiah yang pernah aku tulis dan terbitkan menjadi sebuah buku berjudul "Kajian Hermeneutik tafsir KH. Abdulhaq terhadap term 'Burhana' dalam surah yusuf 24, Epistemologi Nafs Mulhamah dalam sufisme dan intertekstualitas terma Furqan dengan Aseret haDibrot dalam kitab Tanakh Yahudi." Makalah tersebut khusus menganalisis dan mengkaji metodologi tafsir dari guruku yakni KH. Abdulhaq yang mensejajarkan terma Burhana dalam surah yusuf ayat 24 dengan terma Furqan dalam Al-Qur'an. Kacamata atau perspektif yang kugunakan tentu saja pisau analisis perbandingan agama sebagai disiplin ilmu yang aku kuasai. Makalah yang mengupas intertekstualitas dengan pisau analisa dari teori Julia Kristeva ini adalah bentuk atau wujud sinergi antara murid dengan guru. Sebagai inspirator dan influencer, metode penafsiran guruku tersebut kuanggap sangat dinamis sehingga penting bagiku untuk mampu mengupas dan menganalisa tafsir-tafsir impresif beliau dengan metode Triadik Hermeneutik sebagai seorang murid yang baik. Makalah tersebut pernah kubawakan dalam sebuah presentasi di acara seminar tasawuf internasional yang diadakan di kota Samarinda satu setengah tahun yang lalu dimana aku berkesempatan ditunjuk sebagai salah satu pemakalahnya. Acara tersebut di hadiri oleh beberapa ulama dan Masyaikh tasawuf dunia seperti dari Mesir, Irak, Yaman, Turki dan Eropa. Diantara yang berhadir kala itu ialah Syeikh Kurdy Al wakil As Salim, Syeikh Abdullah Al-katiby, Syeikh Said Hamzawy, Syeikh Saman Abbas Tamimi, Syeikh Nazim Muhammad Dahhar serta dihadiri pula oleh ulama tasawuf kharismatik yang aku kagumi yakni Profesor Nazzarudin Umar, Imam besar Mesjid Istiqlal Jakarta sekarang. Ingatan akan seminar itu dimana aku memberikan kuliahku kembali terlintas dalam benak pikiran.
"Dalam makalah ini aku secara khusus mengidentifikasi ungkapan Furqan dalam Al-Qur'an sebagai Aseret haDibrot yaitu 10 firman Allah dalam Taurat atau kitab perjanjian lama (Tanakh). Asumsi ini berdasarkan pada dalil Al-Qur'an sendiri dalam Al Baqarah ayat 53 ketika Musa as diberikan Al-kitab (Taurat) dan Furqan (10 firman Allah)."
"Dan (ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa Al Kitab (Taurat) dan Furqan (pembeda antara yang benar dan yang salah) agar kamu mendapat petunjuk."
(QS. Al Baqarah 53)
Kenapa dalam ayat 53 tersebut kata Al-kitab dan Furqan dipisah? Karena hal ini memang merujuk pada dua subyek yang berbeda. Kata Al-kitab adalah umum, merujuk pada medianya yakni kitab Taurat sementara Furqan merujuk pada hal khusus yakni kontennya yaitu 10 firman Allah atau the ten commandment yang diterima Musa tertulis dalam dua loh (tablet) batu sebagaimana termaktub dalam kitab keluaran pasal 20 ayat 1 sampai 17. Furqan atau 10 firman Allah adalah inti dari seluruh pengajaran, syariat, hukum dan peraturan paling fundamental bagi manusia sebagai ukuran moralitas paling substansial dan universal. Semua kitab para nabi dan Al-Qur'an sendiri sebenarnya hanya berfokus pada 10 perintah itu saja. Tidak hanya oleh rumpun agama-agama semit melainkan 10 firman Allah ini juga bisa kita temukan presedennya dalam ajaran dasar agama lain seperti hindu, buddha dan lain-lain. Ini menjelaskan bahwa dalam 10 perintah inilah terdapat hukum-hukum dasar manusia. Itulah kenapa Al-Qur'an menyebutnya sebagai Furqan atau pembeda. Hukum-hukum inilah yang membedakan mana yang benar dan mana yang bathil sebagai frame bagi seluruh manusia dalam bertindak dan berkehidupan. Jika kita jeli, kesepuluh perintah Allah yang diterima Musa ini adalah hukum dasar bagi Habluminallah dan Habluminannaas. Tiga point atau tiga perintah pertama merupakan Habluminallah, hubungan antara manusia dengan Allah yakni bicara akan ketauhidan, menjauhi syirik serta penyekutuan dan hanya tentang mengesakan Allah. Sementara tujuh point atau perintah berikutnya terkait erat dengan Habluminannaas atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Itu kenapa oleh Nabi Isa as kesepuluh perintah atau Furqan ini dirangkum menjadi hanya dua bagian Habluminallah dan Habluminannaas sebagaimana termaktub dalam epistle Matius 22 ayat 35 sampai 40 yang dikenal oleh orang-orang kristen sebagai dua hukum kasih.