TIBA–TIBA aku merasakan sebuah getaran. Semakin lama getarannya semakin terasa mengguncang ruangan bawah tanah. Debu dari langit-langit atap ruangan mulai berguguran dan aku mendengar suara dentuman yang sangat keras memekikkan telinga. Ruangan seketika langsung bergetar hebat. Pilar atau tiang-tiang besar penyangga ruangan ini mulai ambruk, tentu saja aku langsung panik dan hendak segera meninggalkan ruangan ini tetapi jalur menuju terowongan sempit tempat aku masuk tadi telah tertutup oleh timbunan batu yang berguguran. Aku terpaksa mencari jalan lain dan kutemukan selasar lain di depan. Aku berlari menuju jalan sempit tersebut, sempat-sempatnya saat situasi genting seperti ini aku memasukan papirus ZP—003 yang tadi kutemukan ke dalam tas ransel kemudian mulai berlari sekencang-kencangnya menyelamatkan diri. Setidaknya papirus ZP—003 ini akan menjadi bukti fisik bahwa aku telah menemukan tempat ini, bahwa ada hasil yang bisa kuperlihatkan. Semoga saja ini sudah cukup bagi Risme dan Profesor, itupun jika aku bisa selamat dari sini. Dengan terengah-engah aku menyelamatkan diri mencari jalan keluar sambil menyusuri jalanan sempit yang basah sampai-sampai aku sempat tergelincir. Ini pasti tersambung langsung dengan kanal irigasi di kota lama. Dimana jalur ke gerbang hulda? Dimana arah selatan? Sial! Aku bahkan tidak membawa kompas sama sekali. Getaran itu masih terasa sesekali dengan ritme yang intens tetapi dengan goncangan yang tidak sebesar tadi. Apakah terjadi sesuatu di atas sana? Apa yang menyebabkan getaran hebat barusan? Aku berlari ke arah barat karena hanya ini jalan satu-satunya selain jalan sempit yang tadi kulalui. Apa yang ada disini terasa seperti sebuah petakan gua, ini bukan lagi bangunan atau ruangan baetylus seperti tadi. Sebuah gua namun dengan pilar atau dua tiang besar sebagai penyangganya. Ketika aku hendak melewatinya, getaran yang besar kembali muncul dan meruntuhkan atap-atap gua serta merubuhkan dua tiang besarnya yang mana aku tepat berada di bawahnya.
Tak sempat lagi menghindar, aku tertimpa reruntuhan itu. Aku tersungkur, kepalaku terbentur dan pening karena benturan hebat. Antara sadar atau tidak, penglihatan mataku langsung buyar seketika. Gelap dan aku tidak merasakan apapun pun lagi setelah itu.
__________________
Aku perlahan membuka mataku yang masih berkunang. Kepalaku sangat berat! aku bisa merasakan darah segar mengucur dari kepalaku. Tubuhku sudah tersungkur, tidak bisa digerakkan. Ternyata tadi aku pingsan dan setelah bangun, tahu-tahu aku menyadari tubuhku sedang tertimpa banyak sekali reruntuhan batu tiang penyangga gua ini. Aku sepenuhnya terhimpit dan mengalami lumpuh di bagian kaki. Aku benar-benar tidak bisa menggerakan kakiku. Apakah kakiku patah? Ya Allah ini benar-benar sebuah musibah!
Rupanya tadi tanpa sepengetahuanku, telah terjadi serangan rudal balasan dari Israel terhadap milisi hizbullah di Lebanon serta beberapa serangan serempak ke Jalur Gaza yang efek dari bombardir rudal-rudal tersebut mempengaruhi getaran sekitar yang berdampak langsung sampai ruangan bawah tanah kota Yerusalem. Mungkin diatas sana tidak terlalu terasa efeknya tetapi getaran dari serangan-serangan itu sangat terasa bahkan berimbas langsung pada ruangan bawah tanah disini.
Badanku serasa sangat remuk, jauh lebih remuk dan sakit ketimbang penyiksaan yang dilakukan tentara zionist waktu itu. Pikiranku mulai kacau dan aku serasa mulai kehilangan kesadaran secara perlahan. Aku coba membalikkan badanku untuk melihat kondisi tubuhku yang sedang tertimpa reruntuhan tiang. Aku histeris, meringis dan menangis saat melihat kondisi tubuhku yang sangat mengenaskan dan tidak bisa bergerak, terhimpit tak berdaya di sela-sela reruntuhan bebatuan.
"Tolong ... tolong siapapun ...." gumamku pelan sembari menangis pilu layaknya anak kecil yang sangat ketakutan. Nafasku terengah-engah pendek dan putus-putus, sepertinya aku terserang Panic Attack, Nyctophobia Syndrome, Claustrophobia dan Thanatophobia secara bersamaan. Setengah tubuhku masih sedikit bisa kugerakkan tapi dari perut, pinggang hingga kaki benar-benar mati rasa, berasa lumpuh. Kulihat darah segar mengucur di sela-sela batu, jelas darah segar milikku sendiri. Benar-benar mengucur deras membasahi dan menggenangi tempat ini. Aku mengetahui bahwa sekarang aku benar-benar luka parah, mungkin dalam kondisi yang sangat kritis melihat volume darah yang mengucur keluar begitu banyak. Darah darimana? Bagian perut yang sobek? Kaki? Yang pasti aku merasakan sakit yang luar biasa di kakiku yang lumpuh. Perlahan sakitnya dapat kurasakan benar-benar menusuk, kedua tulang kakiku mungkin patah. Aku tak berdaya membendung rasa ngengar di kepala yang membuat kesadaranku semakin lama semakin memudar. Mataku mulai kabur dan penglihatan yang buram ini membuatku kembali hilang kesadaran dan pingsan.
Apakah aku akan mati? Apakah perjalanan hidupku akan berakhir disini? Di tempat yang tidak seorang pun mengetahuinya. Sungguh membuat hati ini pilu mengingat nasib tubuhku yang tidak akan di makamkan secara layak dan terlupakan begitu saja tanpa ada yang akan menemukannya. Pikiran inilah yang terlintas dalam kepalaku menjelang hilangnya kesadaran dan benar-benar hanya gelap yang aku rasakan.
________________
Ketika membuka mata kembali, aku melihat satu sosok bercahaya sangat terang di depanku. Mataku yang buram samar-samar menangkap sosok mulia yang memancarkan cahaya sangat terang di seluruh wajah dan tubuhnya itu. Siapa gerangan dia? Siapa orang ini? Perlahan tapi pasti, sosok berselimut cahaya itu mendekatiku dan mataku tiba-tiba saja sangat mengantuk dan kembali tertutup.
_______________
Ketika bangun kembali, aku melihat sosok itu masih berdiri disana, tepat di hadapanku. Entah kenapa ada rasa hangat, tenang dan nyaman ketika sosok bercahaya ini berada di dekatku. Apakah dia seorang malaikat? Apa aku sudah mati? Anda siapa? Apakah anda bisa membantuku keluar dari sini? Tanyaku padanya, tetapi sosok ini hanya diam.
"Ikuti aku," serunya singkat. Getaran suaranya laksana musik terindah yang pernah kudengar sepanjang hidupku, mengalahkan segala alunan indah yang pernah didengar oleh telinga. "Mengikuti anda?" gumamku. "Bagaimana caranya? Aku terhimpit dan tidak bisa bergerak." Tetapi secara perlahan kucoba menggerakkan tubuh dan dengan sisa kekuatan, aku dapat mengangkat batu-batu reruntuhan yang tadi menimbun tubuhku. Entah kenapa terasa sangat ringan, batu-batu besar ini serasa seperti sebuah gundukan kapas yang sangat ringan.
Setelah tubuhku telah keluar sepenuhnya dari reruntuhan, aku berdiri menghadap sosok tersebut di ujung sana. Sosok bercahaya itu berdiri diatas sebuah taman hijau yang indah berkilau dengan bunga-bunga dan tanaman yang mempesona dan beragam. Kenapa aku tidak melihat sedari tadi ada taman seindah ini di dalam gua ini? Perasaan tadi taman ini tidak ada. "Siapa anda tuan?" tanyaku.
"Ikutilah aku wahai hamba Allah yang terkasih." Sosok itu mulai berjalan dan mengajakku ke suatu tempat. Dari belakang ketika cahaya di tubuhnya mulai memudar, dapat kulihat gutrah berwarna hijau indah dari beliau, persis seperti sosok yang pernah aku mimpikan, yang Profesor Abdul Rashied juga pernah mimpikan. "Tuan siapakah anda? Dan kemana anda mengajakku?"
"Aku adalah cahaya di atas cahaya. Aku adalah penawar hati yang luka. Aku adalah pemimpin. Aku adalah penutup. Aku adalah pemberi syafaat. Aku adalah rahmat Allah untuk dunia dan semesta. Aku adalah..."
"Bagindaku...!" sahutku seketika dan langsung tersungkur di kaki beliau. Aku langsung mengetahui siapa beliau. Kekasih dari sang maha pencipta, Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam.
Mataku tak henti-hentinya mengeluarkan airmata. Tak menyangka aku bisa berjumpa langsung dengan beliau yang paripurna di sini.
"Bangunlah umatku ... aku mengasihi semua umat-Ku, aku menyayangi mereka semua. Kau adalah salah satunya, sholawatmu selalu sampai ke telingaku, pujianmu untukku dan keluargaku selalu sampai kepadaku. Aku ada pesan untukmu, untuk umatku yang lain. Aku hadir untuk menyampaikan jawaban atas doa-doa yang umatku itu pinta dari Allah, melalui dirimu ... aku akan menyampaikannya dan membantunya."
"Bagindaku ... aku mencintaimu ... aku menyayangimu ... aku rindu kepadamu." Mataku terus berderai airmata haru. Semakin aku menatap wajah beliau semakin cahaya itu menyinari mata indrawi-ku. Saking silaunya keindahan wajah beliau, aku tidak dapat melihatnya dengan jelas.
"Aku tahu itu umatku. Jika engkau merindukanku maka aku pun akan merindukanmu. Semua umat yang merindukan sosok dzahirku, maka aku pun merindukan batang dzahirnya. Umatku yang menyatukan ruhnya padaku, maka ruh-Ku pun akan hadir menemuinya."
"Apakah ini benar diri anda wahai manusia termulia? Tubuhku bergetar hebat tatkala berdekatan dengan anda. Sosok agung nan terpuji, bahagia hati ini bisa berjumpa dengan sosok yang selalu didamba. Wahai kekasih Allah."
"Ketahuilah aku yang sekarang hanyalah sebuah gradasi. Kau tidak akan mampu menjamah kemuliaan-Ku yang sesungguhnya dalam spektrum keterbatasanmu, tetapi aku dekat dengan umat-umatku dan akan menemui mereka dalam bentuk yang tidak terduga. Semakin umatku menyambung ikatannya denganku, maka aku pun juga akan terikat dengannya. Aku takkan terpisah darinya."
Tiba-tiba tanpa kusadari, perjalanan kami telah sampai pada sebuah ruang proyeksi besar yang menggambarkan citra seluruh semesta. Aku tersadar berpijak pada bentangan yang berlatar bintang-bintang, kumpulan galaksi, dan gugusan planet-planet. Aku serasa tidak berpijak di bumi, aku serasa melayang di ruang hampa dengan gambaran angkasa yang indah. Sebuah pertunjukan konstelasi kosmik tanpa batas. Di antara segala gambaran semesta yang aku lihat, ada sebuah pohon besar berkilau, kerlap kerlip putih laksana mutiara bersih yang berisi cahaya dalam gurat dedaunannya. Sangat indah! pohon ini memiliki 14 buah besar yang berkilau sama indahnya.
"Tempat apa ini wahai Baginda? Apakah surga?" tanyaku penasaran.
"Maqom keilmuan yang tersambung pada sumber semesta. Ketahuilah, jagat raya ini kecil, sebesar apapun semesta ini, hanyalah sebuah diorama kecil dari tanda-tanda Allah. Tanda-tanda (ayat-ayat) Allah ada dimana-mana. Ayat-Nya tersebar di seluruh jagat raya. Bukankah telah difirmankan bahwasanya seandainya semua pohon di dunia menjadi pena dan lautan dunia pun takkan cukup menjadi tinta untuk menulis ayat-ayatNya? Bahkan ketika lautan itu ditambah dua kali lipat lagi banyaknya."