PERLAHAN mataku terbuka dan menangkap cahaya yang semakin jelas semakin nampak, bahwa aku telah berada di rumah sakit. Kedua mataku terasa sangat segar dan ringan seakan-akan baru bangun dari mimpi panjang yang nyenyak. Kulihat kedua kakiku di gip dan diperban. Selang-selang infus berada di tanganku dan mulutku ditutup dengan ventilator. Kepalaku juga diperban setelah kuraba dengan tangan kiriku. Di antara ruangan kamar rumah sakit yang sepi ini kulihat seorang gadis berkerudung atau berjilbab warna toska sedang tertidur pulas di dekatku. Siapa dia? Tidak mungkin! Apakah istriku Zahra, yang datang kesini dan menemaniku? Ketika aku hendak membuka mulut untuk menyapa, perempuan berkerudung itu menoleh mengangkat wajahnya seraya perlahan juga membuka mata dan terbangun. Mata kami saling bertemu, dia sangat terkejut melihat aku sudah siuman dan sadar. Aku pun sangat terkejut ketika melihat jelas wajah wanita berkerudung di sampingku. Dia adalah Risme!
"Dok ... dokter ... dia telah sadar ... dokter!!!" teriak Risme tiba-tiba antusias, hendak keluar untuk memanggil seorang dokter.
"Senang kau akhirnya sadar Rani. Alhamdulillah syukur kepada Allah." Katanya tersenyum lebar sebelum meninggalkanku dan bergegas keluar mencari dokter.
Risme pakai jilbab? Bukan jilbab atau kerudung biasa tetapi jilbab syar'i yang benar-benar tertutup rapi. Apa yang terjadi selama aku di rawat? Apa aku tadi tidak salah lihat? Risme bukan hanya sekarang mengenakan jilbab melainkan tadi kudengar juga mengucapkan syukur alhamdulillah dan ia bersyukur kepada Allah. Ya, aku tadi mendengarnya dengan jelas. Aku tidak salah dengar, Risme benar-benar mengatakannya.
Sesaat kemudian seorang dokter berambut blonde klimis dan berkacamata datang bersama Risme. Dokter ini segera memeriksa keadaanku dan tersenyum. "Syukurlah! Itu artinya masa kritisnya telah lewat. Kau harus bersyukur, sekarang ia akan pulih." Kata dokter itu kepada Risme.
Dokter ini dengan bantuan para perawat kemudian membantu menanggalkan selang ventilator di mulutku. Risme mengucapkan terima kasih kepada sang dokter. Dokter mengucapkan selamat datang kembali padaku sambil tersenyum dan kemudian pergi.
"Risme? Apa kau benar Risme?" gumamku.
"Iya, kau kira siapa? Aku bahagia kau akhirnya telah sadar dari koma mu. Allah maha besar!" jawabnya. Sontak aku kembali kaget. Bukan hanya penampilan Risme yang berbeda, tetapi aku merasakan banyak perbedaan antara Risme yang dulu dengan yang sekarang.
"Aku koma?! Dan ... kau hari ini pakai jilbab?" tanyaku kebingungan.
"Jujur aku terkejut melihatnya." Tandasku.
"Tentu saja kau terkejut." Sahutnya berkelakar dan tersenyum.
"Kenapa kau tiba-tiba berpakaian seperti ini?"
"Sudah hampir seminggu aku memakai jilbab dan sepertinya aku sudah sangat terbiasa."
"Seminggu? Tunggu dulu! Risme, berapa lama aku koma disini?" tanyaku terkaget.
Risme sedikit menghela nafasnya. "Sejak kau ditemukan, kau koma selama sebelas hari Rani."
"Astagfirullah, selama itu?! Aku tidak merasakan apapun. Jadi ... apa Profesor juga ada disini? Mana beliau? Aku ingin meminta maaf pada beliau karena urusan ini menjadi kacau dan aku tidak menemukan Tabut Perjanjian itu."
Tiba-tiba saja Risme menatapku dengan tatapan yang sayup dan tegas. Perlahan ia mendekatiku dan duduk kembali di kursi di samping ranjang tempat pembaringanku. Risme menatapku dengan serius.
"Rani ... ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu, tapi kau harus tenang." Pintanya.
"Baiklah, Risme ada apa?" tanyaku heran melihat betapa seriusnya Risme. Sesekali ia menunduk.
"Papa ... papa ... beliau sudah ... tiada! Beliau meninggal sekitar seminggu yang lalu Rani."
Sontak aku sangat terkejut dan kaget bukan main mendengar kabar seperti ini dari mulut Risme. "Apa?! Innalillahi wa innaillahi roji'un ... apa yang terjadi Risme? Apa yang terjadi pada Profesor?" tanyaku tidak pernah menyangka.
Risme kemudian bercerita bahwa Profesor Abdul Rashied, tanpa sepengetahuan Risme ternyata mengidap penyakit kanker darah sama seperti almarhumah ibuku. Dan Profesor telah berada di stadium akhir ketika beliau mengirimiku surat waktu itu untuk mengundangku datang kemari. Bahkan Risme sendiri tidak tahu menahu bahwa ternyata ayahnya telah lama sakit parah. Profesor sengaja tidak ingin memberitahu Risme, putri tercintanya.
"Aku tidak tahu jika beliau waktu itu sudah separah itu. Beliau terlihat baik-baik saja dan sangat sehat Risme." Gumamku sedih.
"Jangankan kau, aku pun sebagai putrinya baru mengetahuinya beberapa hari sebelum papa meninggal. Papa memang sengaja merahasiakan ini dariku sejak lama. Secara rutin papa melakukan pertemuan dan perawatan dengan dokter ahli hematologi tanpa sepengetahuanku." Sahut Risme sedih.
"Jadi kau sempat bertemu Profesor?"
"Ya Rani, ketika aku menemukanmu dan membawamu ke rumah sakit hari itu, aku diberitahu bahwa kau harus menjalani banyak operasi, sekitar 18 kali operasi yang kau jalani. Aku meminta segalanya di urus, dan setelah kau di operasi, dokter mengatakan kau mengalami koma. Tidak ada yang tahu kapan kau akan bangun, dokter hanya meminta doa agar kau bisa bangun dari koma mu.
Sehari setelahnya aku mendengar kabar dari Turki bahwa papa kolaps dan aku diminta oleh rumah sakit disana harus segera datang oleh papa. Aku meninggalkanmu disini yang lagi koma dan terbang ke Turki. Selama dua hari aku sempat bertemu dan menghabiskan waktu dengan papa yang kondisinya telah sangat drop sampai akhirnya papa menghembuskan nafas terakhirnya. Selama itu aku juga rutin memantau keadaanmu disini dan dokter disini bilang kau masih koma. Papa mengetahui bahwa kau sedang koma tapi beliau mengatakan padaku dan meyakinkanku bahwa kau akan bangun dari koma mu. Papa percaya suatu saat kau akan bangun dan akan sembuh. Papa meyakinkanku akan hal itu. Papa juga sempat menuliskan sebuah surat untukmu dan memintaku untuk memberikan surat ini ketika nanti kau sudah siuman. Papa meninggal dengan tenang dalam tidurnya dan kami memakamkannya di salah satu desa di Antalya, berdampingan dengan makam ibu karena ini permintaan terakhir beliau untuk bisa dimakamkan di dekatnya." Kata Risme sembari menyodorkan sebuah surat yang ditulis Profesor untukku sebelum kematiannya. Risme pun menyeka sedikit airmata disela-sela matanya.