Ketertarikan saya kepada Ibn ‘Arabi berkembang secara bertahap. Saya tak ingat persis kapan hal ini bermula. Tapi, saya ingat mendengar secara sepotong-sepotong gagasan-gagasan Syaikh Agung ini, dan merasakan bukan hanya pencerahan-pencerahan darinya, melainkan relevansi yang luar biasa terhadap pertanyaan-pertanyaan hidup kita.
Ibn ‘Arabi dan relevansi sehari-hari? Bagi sebagian orang, tak ada yang bisa lebih jauh lagi dari Ibn ‘Arabi dan kehidupan sehari-hari. Pemikiran Ibn ‘Arabi adalah filsafat yang paling tinggi, filsafat keilahian, filsafat yang paling berat dan “gelap”. Para ahli pun tak berani menyatakan diri memahaminya. Belum lagi sifat sangat tidak ortodoks (baca: tidak sejalan dengan mainstream) dan kontroversi dahsyat yang diciptakannya. Tapi, saya ingat betapa menarik jawaban Ibn ‘Arabi terhadap pertanyaan: Kenapa semua orang mencintai bayi? Karena, bayi adalah makhluk yang paling dekat dan paling merepresentasikan Allah—Kekasih Sejati kita—yang merupakan sumber keberadaannya. Saya juga terpikat benar dengan pencerahannya tentang barzakh yang kehidupan di dalamnya mirip mimpi. Yang siksa di dalamnya bak mimpi buruk di kehidupan dunia, sementara kenikmatannya bermakna mimpi indah luar biasa. Juga, penyingkapannya tentang neraka sebagai “ciptaan” (persepsi) jiwa-sakit kita akan sesuatu yang asalnya kenikmatan belaka. Yakni, gagasannya tentang azab (‘adzab) sebagai ‘adzib (rasa manis). Dari sini, terciptalah love affair saya dengan Ibn ‘Arabi.
Memang, meski menjadikan Mullâ Shadrâ—seorang sufi juga, tapi sering lebih filosofis—sebagai topik disertasi saya, temperamen pemikiran saya memang selalu lebih terpikat kepada sesuatu yang “basah”, yang intuitif, yang otak kanan, dan bukan yang kering, logis-analitis, dan serba otak kiri. Pemikiran Ibn ‘Arabi adalah semuanya itu, dan banyak lagi. Di atas semuanya itu, makin jauh saya berkelana ke dalam pemikiran Ibn ‘Arabi, makin terasa saya berada di tengah mayapada yang menjanjikan hampir-hampir semacam kumpulan pengalaman religius. Satu setelah yang lain, yang di dalamnya banyak misteri puncak kehidupan seperti disingkap, satu-satu. Tentang Tuhan, tentang alam, tentang manusia, dan tentang kariernya serta karier seluruh unsur alam semesta, sejak bermulanya hingga berakhirnya.
Maka, saya pun tertarik untuk menulis sebuah buku—sederhana seperti biasa—yang berjudul “Semesta Cinta; Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi”, dengan maksud memaparkan gagasan-gagasannya yang menguak misteri dan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar hidup kita di muka bumi. Tapi, dalam upaya menyelenggarakan maksud saya itu, saya pun mencoba belajar pemikiran Syaikh ini secara lebih sistematis, sedapat mungkin akurat, tapi pada saat yang sama tak terlalu ekstensif. Waktu saya terbatas, dasar-dasar ilmu saya juga terbatas, dan tujuan saya pun terbatas.
Sampai suatu saat Tuhan “mengirimkan” seorang guru kepada saya. Maka saya pun belajar membaca langsung buku-buku Ibn ‘Arabi dan beberapa buku terkait, seperti Manâzil al-Sâ’irîn, karya Khwaja Abdullah al-Anshari dari Herat, dari guru yang telah belasan tahun belajar hikmah, termasuk ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi ini. (Sebagai informasi tambahan, buku yang saya sebut di atas ini, oleh seorang sufi lain, pernah disebut sebagai pembimbing kita ke jalan tasawuf jika kita tak mendapati seorang Syaikh untuk membimbing kita. Masih terkait dengan ketiadaan Syaikh ini, saya terhibur, dan menjadi lebih berani belajar Ibn ‘Arabi ketika diberi tahu bahwa seorang sufi besar, Abdul Karim al-Jili—dengan menukil al-Jabarti—justru menganjurkan orang belajar dari membaca langsung buku-buku Ibn ‘Arabi, meski belum menjalani laku tasawuf.1
Sebagaimana saya tak bermaksud menjadikan diri saya ahli pemikiran Ibn ‘Arabi, terlebih lagi saya tak ingin menjadikan pembaca saya ahli Ibn ‘Arabi pula. Tepatnya, bukan saya tak ingin, tapi saya tak bisa—kalaupun saya ingin. Apalagi, ke mana-mana saya katakan, saya bukan ahli filsafat dan tasawuf dan, kalaupun bisa menjadi demikian, maksud saya bukanlah untuk menyumbang pada wacana akademik. Saya ingin melakukan transformasi atas diri saya, dan membaginya dengan orang lain. Bagi saya, ujung pemikiran dan gagasan apa pun, sedalam-dalamnya ia, adalah mengubah orang, menjadikannya manusia yang lebih baik. Saya, bahkan ketika berbicara filsafat dan ‘irfân—tasawuf teoretis—adalah tetap seorang aktivis. Keinginan saya akan perubahan dan transformasi manusia dan kehidupan, tetap saja lebih besar dari minat-akademis saya. Maka, seperti buku-buku sederhana saya yang lalu, penulisan buku ini mengambil bentuk pengantar—ikhtisar—kepada pemikiran-pemikiran Ibn ‘Arabi yang dalam dan luas bak samudra. Di sana-sini saya coba tebarkan ceceran hikmah dahsyat yang diwariskan pemikirannya. Dengan harapan, selain mendapatkan gambaran umum—sedapat mungkin lengkap dan tidak kehilangan kedalaman—pembaca tetap dapat menikmati “Ibn ‘Arabi sehari-hari”. Toh, setahu saya, belum ada satu pun buku yang mengulas pemikiran Syaikh ini secara relatif sistematis dan lengkap dalam bahasa Indonesia. Setidaknya dalam hal kecil ini, diharapkan buku Semesta Cinta: Pengantar kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi ini memiliki fungsinya sendiri. Judul utama buku ini merujuk pada titik pusat pemikiran Ibn ‘Arabi tentang cinta sebagai sumber pemahaman kita tentang Islam, dalam segenap aspeknya.
Selain itu, saya merasa ada peningkatan minat terhadap karya-karya ‘irfân, khususnya Ibn ‘Arabi, di negeri kita. Tapi, tampaknya, pengajaran pemikiran Ibn ‘Arabi belum dapat diselenggarakan dalam cara-cara yang memungkinkan pemikirannya yang berat untuk dapat dicerna oleh masyarakat peminat awam. Saya merasa belum ada satu pun buku dalam bahasa Indonesia, bahkan mungkin dalam bahasa Inggris—meski telah ada beberapa buku luar biasa karya William Chittick yang dapat dibaca sebagai pengantar ke pemikiran Ibn ‘Arabi—yang memaparkan pemikiran Ibn ‘Arabi secara sesimpel mungkin, sekaligus sesistematis mungkin. Membaca karya Ibn ‘Arabi secara langsung kemungkinan besar malah akan menimbulkan kebingungan, bahkan kesalahpahaman. Fushûsh al-Hikam, meski sangat ringkas justru sangat sulit dipahami, karena sifatnya yang merupakan ekspresi ilham atau pengalaman religius dalam bentuk sebuah ikhtisar. (Itu pula sebabnya, saya tak yakin bahwa upaya mengajarkan pemikiran Ibn ‘Arabi kepada peminat awam lewat Fushûsh akan produktif). Sementara, membaca Futûhât hampir-hampir mustahil karena ketebalannya yang luar biasa, di samping sifatnya yang tidak bisa dibilang sistematis menurut pemahaman yang saya maksudkan. Buku-buku yang ditulis Chittick, mulai yang sangat ringkas, seperti Ibn ‘Arabi: Heirs to the Prophets, hingga yang tebal seperti Sufi Path of Knowledge dan The Self Disclosure of God; Principles of Ibn ‘Arabi’s Cosmology, betapapun juga, ditulis untuk akademisi, bukan peminat awam. Apalagi buku yang berjudul The Reflective Heart: Discovering Spiritual Intelligence in Ibn ‘Arabi’s ‘Meccan Illuminations’ James W. Morris yang lebih rumit, maupun buku-buku pengantar lain yang, umumnya, berfokus pada aspek-aspek tertentu pemikiran Ibn ‘Arabi. Kekurangan akses kepada buku pengantar yang simpel dan sistematis, meski tetap mendalam dan akurat, ini bukan saja menghalangi kemudahan orang untuk memahami pemikiran Ibn ‘Arabi, melainkan malah dapat menimbulkan kesalahpahaman yang dapat mengakibatkan kesan keliru—bahkan penyesatan terhadap Syaikh Akbar ini, sebagaimana yang telah banyak terjadi di sepanjang sejarah Islam.
Itu pula sebabnya, betapapun ingin pembaca dapat belajar secara lebih mudah, lebih akurat, seraya dapat mengambil hikmah “praktis” dari pemikiran Ibn ‘Arabi, saya tetap mengupayakan kelengkapan menu pemikirannya, sambil sedapat mungkin menjaga akurasinya, dan bersikap adil kepada pemiliknya. Apakah saya berhasil, sidang pembaca dan para ahli adalah hakimnya. Betapapun juga, dengan pertolongan Allah, buku kecil ini mudah-mudahan tetap ada manfaatnya. Jika dibandingkan dengan buku-buku ringkas tentang Ibn ‘Arabi, khususnya karya Chittick yang saya sebut di atas, buku sederhana saya ini adalah sebuah peta, sementara yang lain gambar panoramik. Dua-duanya tidak menggambar detail apa yang hendak ditunjukkannya. Namun, jika dalam buku yang lain itu, pemikiran Ibn ‘Arabi digambar sebagai pemandangan jarak jauh dan mencakup dengan lebih realistis, maka buku ini lebih menyerupai sebuah peta—mungkin lebih kurang indah, tapi diharapkan memiliki kelebihan lain dalam hal fungsinya sebagai penunjuk jalan.2
Selebihnya, setelah landasan yang mudah-mudahan saya ikut mempersiapkannya, biar yang lain—yang lebih ahli—membangun di atasnya. Agar dengan demikian, pemikiran Ibn ‘Arabi lebih dikenal di negeri ini, bahkan dikembangkan lebih jauh sebagai bahan menjawab tumpukan pertanyaan eksistensial yang lahir dari kehidupan makin kompleks manusia di muka bumi ini.
Bersamaan dengan itu, buku ini saya maksudkan untuk menjawab kecaman-kecaman—bahkan pengafiran oleh banyak orang dan sebagian ulama—atas Ibn ‘Arabi dan pemikiran-pemikirannya. Seperti diketahui, tak sedikit ulama yang bahkan sampai sejauh mengafirkan Ibn ‘Arabi. Termasuk di dalamnya Ibn Taymiyah. Sayangnya, dalam segenap kejeniusan tokoh ini, Ibn Taymiyah mengakui bahwa ia selalu tak membaca langsung karya-karya Ibn ‘Arabi. Dikhawatirkan, sejenis apa pun tokoh ini, ketiadaan akses langsung kepada pemikiran Ibn ‘Arabi—atau, setidaknya, kepada ulasan dari ahli yang bersimpati kepada Ibn ‘Arabi—inilah yang menyebabkan Sang Syaikhul Islam penganjur ilmu suluk (tasawuf) ini bersikap sangat negatif kepada setidaknya sebagian pemikiran Ibn ‘Arabi (menurut suatu riwayat, Ibn Taymiyah memuji sebagian karya Ibn ‘Arabi, sementara keberatan-utamanya terutama tertuju pada Fushûsh).