Dan tidak Kuciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah.
(QS Al-Dzâriyât [51]: 56)
Menurut Ibn ‘Abbas, kata “beribadah” harus dipahami dengan “mengenal” (Tuhan). Artinya, tujuan utama penciptaan adalah mengenal Tuhan. Hal ini sejalan dengan Hadis Qudsi:
“Dulu Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku ingin dikenali, maka Aku ciptakan alam agar (dengan itu) Aku dikenali.” Pengenalan ini yang biasa disebut sebagai ma‘rifah,4 sedang ilmu atau wacana tentang peraihan ma‘rifah ini disebut sebagai ‘irfân. Dan Ibn ‘Arabi persis berada di titik-pusatnya.
Jadi, betapapun, seperti antara lain dinyatakan Muhammad Iqbal, Islam berorientasi pada amal, pengetahuan sebagai suatu entitas terpisah sudah cukup untuk menjadi salah satu tujuan keberagamaan itu sendiri. Apalagi jika ternyata pengetahuan itu bermanfaat, bahkan niscaya, bagi suatu praktik keberagamaan. Selain sebagai suatu dasar bagi ortopraksi (praktik atau amal yang baik), Islam sekaligus adalah suatu ortosofi (ilmu atau hikmah yang benar). Apalagi jika ternyata pengetahuan yang dihasilkan merupakan dasar bagi tindakan-tindakan atau amal-amal yang baik (ortopraksi).