Semesta Kita

Elivia Nor
Chapter #1

Rumah Baru

Aku sudah berkali-kali mengalami pindah rumah. Pertama-tama, aku lahir dan menghabiskan masa kanak-kanak di Bandung, yang waktu itu masih terasa alami kesejukannya. Mencoba peruntungan di Jakarta menjadi tren kala itu, jadi Papa membawa keluarga kecilnya pindah ke sana. Rumah kumuh yang terpaksa ditempati itu membuatku harus menutup kuping setiap kali Mama mengeluh. Rumah selanjutnya terasa lebih baik, namun kami harus pindah lagi ke Depok demi biaya hunian yang lebih murah. Setiap waktunya pindahan, aku hanya berhadapan dengan satu rasa, yaitu muak. 

"Bunda sudah siapkan jus jambu di kulkas, ya. Jangan sampai kehausan." 

"Terima kasih, Bunda!" 

Senyum Bunda berseri begitu cantik ketika aku menyahut dengan antusias penuh. Tak ada alasan bagiku untuk tidak bersemangat. Ini pertama kalinya aku ditawari jus jambu ketika dahaga menuntutku untuk menyegarkan tenggorokan. Dulu, Mama tidak bisa menggunakan blender untuk membuat jus. Dia bahkan tidak tahu caranya membedakan buah yang masih bagus dengan yang sudah hampir busuk. 

Dari perkarangan luas yang penuh tanaman hias dan dikelilingi pagar, aku masuk ke dalam rumah membawa dus-dus berisi buku. Tidak, aku bukan si pintar penggila buku. Aku hanya tergiur dengan sampul buku yang dipajang di toko buku, lalu merengek kepada Papa untuk membelikannya. Mama maupun Kak Tamara tidak pernah suka melihatku begitu, namun Papa pikir menghabiskan uang untuk buku itu bagus. Sebagai bentuk terima kasih kepada Papa, aku membawa semuanya setiap kali pindah rumah, membuatku dua kali lebih kerepotan. 

"Pa, boleh Metha pakai rak itu untuk di kamar?" 

Di ruang tengah, Papa sedang sibuk memasang meja televisi yang dibongkar sebelum dibawa kemari. Kami tidak pindah ke rumah Bunda begitu saja. Bunda bercerita tentang beberapa perabotannya yang harus dijual demi menutupi kekurangan finansial keluarganya. Papa selalu tahu caranya bekerja sama, jadi beliau membawa beberapa barang untuk melengkapi furnitur di rumah ini. Beberapa di antaranya juga berupa barang baru yang ditukar tambah. 

"Lho? Metha nggak mau pakai rak yang putih itu?" 

Aku menggeleng. "Metha bosan melihatnya ada di kamar terus." 

Papa terbahak lebar. "Oke, rak cokelat untuk Metha. Akan Papa bawakan ke kamar. Setelah ini, ya?" 

Papa tidak bekerja sendiri. Bunda punya seorang anak laki-laki bernama Daren, bisa dipanggil Kak Daren karena adanya perbedaan usia beberapa tahun. Berdasarkan asumsi subjektif dari aku, seorang terampil dalam menilai penampilan luar, kakak tiriku itu adalah mahasiswa semester pertengahan yang sedang galau salah jurusan. Wajahnya masih tampak segar dan muda. Gaya berpakaiannya rapi namun tidak ketinggalan tren terkini. Meski tubuhnya tidak tegap atletis, dia banyak membantu pekerjaan Papa. Jadi, aku bisa tahu dia punya banyak tenaga khas anak muda. 

Aku tidak langsung pergi dari sana. Kuamati lamat-lamat Kak Daren yang sedang berdiskusi dengan Papa. Dengan lemah lembut dia menerangkan, vas bunga yang bundar lebih cocok dipajang bersama televisi ketimbang yang persegi. Sekali melihatnya, aku langsung setuju. Papa hanya kurang berbakat dalam melihat estetika seni. Beliau terbiasa bertengkar dengan Kak Tamara yang lebih mengerti seni serta berkepribadian keras. Dengan adanya kakak tiriku, tidak akan ada lagi keributan yang diramaikan oleh pigura foto pecah atau piring kaca yang dilempar. 

Tadinya, aku mau lekas menaiki tangga menuju kamarku. Namun, tatapan mataku yang bertemu dengan Kak Daren membuat langkahku tertahan di tempat. Kedua mata teduhnya meredakan seluruh lelah yang menggerayapi kaki tanganku. Lalu, ketika aku masih setengah terbengong, Kak Daren memberiku satu senyuman tipis. 

. . . 

Amunisi energiku kembali mencapai maksimal setelah makan malam. Hidangan yang dimasak Bunda sederhana, hanya ikan balado dan sup tahu serta sisa jus jambu tadi siang. Aku dan Papa, yang hampir lupa nikmatnya masakan seorang Ibu, menjadi yang paling banyak menghabiskan makanan. Aku telah memastikan tidak ada sebutir pun sisa nasi di piring. 

Lihat selengkapnya