Bosan banget! Akhir pekan paling membosankan dalam hidup Metha!
Aku lupa akan satu hal. Meskipun Papa sudah tidak muda lagi, beliau adalah pengantin baru sekarang. Tante Dinda—yang tidak lain adalah Bunda—membuat Papa merasakan jatuh cinta lagi. Maka wajar bagi Papa untuk tenggelam dalam kasmaran dan ingin menghabiskan waktu berdua saja di hari Minggu. Rumah menjadi sepi dan aku ditinggalkan di sana.
Tak hanya itu, Papa dan Bunda berkencan tanpa ingat waktu. Ini sudah waktunya makan malam, namun mobil Papa belum tiba di perkarangan. Terakhir kali Papa membalas pesanku di pukul dua belas siang, sedangkan Bunda pukul satu. Aku bersumpah tidak akan mau makan sosis cepat saji lagi. Sebaiknya Papa membawa makan malam yang lezat atau aku akan marah.
Ketika masih uring-uringan di depan televisi yang tidak ditonton, seseorang menuruni tangga dengan handuk tersampir di leher. Bunda bilang kalau akhir-akhir ini Kak Daren lembur mengerjakan desain untuk proyek tahunan perusahan, jadi dia baru mandi di malam hari. Aku lantas berhenti mengeluh dan duduk dengan baik di atas sofa. Ketika tatapan mata kami saling bertemu, Kak Daren bingung melihat poseku yang tampak canggung.
"Metha sudah makan?" tanyanya sembari mengeringkan ujung rambutnya yang basah.
Aku menggeleng.
Kak Daren berjalan menuju dapur, membuka satu persatu pintu lemari dan kulkas. Selain lauk siap saji yang masih beku, hanya ada bahan-bahan masakan yang memenuhi dapur. Nasinya bahkan sudah habis sejak tadi siang dan Metha tidak tahu cara menggunakan penanak nasi yang ada di rumah ini. "Ada makanan apa, ya?"
Tidak ada apa-apa.
"Mau sosis?"
Aku menggeleng lagi, kali ini lebih spontan dan cepat. "Metha mau nunggu Papa pulang. Kakak makan duluan aja."
Respon Kak Daren tidak jauh berbeda denganku. Dia juga jenuh menyantap menu yang sama sejak pagi. Pada akhirnya, bungkus sosis disimpan kembali ke dalam kulkas. Setelah handuknya diletakkan, aku bisa mendengar suara gemerincing kunci mobil yang semakin mendekat.
"Makan di luar aja, yuk?"
. . .
"Makan yang banyak, ya. Ini pacar aku yang masak," ujar Kak Daren. Aku bisa melihat kedua matanya berseri-seri menatap hidangan spaghetti carbonara di atas meja. "Habis itu aku kenalin kamu ke Kania. Oke?"
Kepalaku sudah seluruhnya dipenuhi oleh ekspektasi tentang betapa enaknya makan malam hari ini. Kuatnya aroma rasa dari potongan daging asap dan telur di atasnya seolah menghipnotisku dan perut laparku. Tanpa terlalu mendengar ucapan Kak Daren, aku mengiyakannya dengan cepat. Sesuap spaghetti sudah kusantap dan bertemu pengecap rasa. Saus krimnya meleleh lezat di dalam mulut.
"Pacar kakak seorang koki?" tanyaku yang tidak berhenti mengunyah.