"Astaga—Metha, kamu ngapain?!"
"Fira nggak lihat? Metha lagi ngerjain tugas yang dikasih Pak Cahyo tadi."
Aku menjawab keterkejutan Fira tanpa menoleh sedetik pun dari tumpukan buku di hadapanku. Kecepatan menulisku seperti tak terkalahkan oleh siapa pun, berpacu dengan waktu istirahat yang singkat untuk menyelesaikan tugas esai pelajaran Sosiologi. Anak-anak yang baru kembali dari kantin juga melempar tatapan bertanya-tanya yang sama seperti Fira. Aku juga tidak menyangka bisa seserius ini dalam belajar. Tidak pernah seperti ini sebelumnya, tetapi kini lain cerita.
"... Nggak makan siang?"
"Lagi nitip siomay sama Regha. Nggak laper juga, sih."
Masih terbengong di tempatnya, Fira mengangguk tanpa suara dan kembali duduk di bangkunya tepat di depanku. Dia menggigit roti bakarnya masih dengan keheranan besar. Tadi, aku menolak ajakan Fira untuk pergi ke kantin tanpa memberitahu apa-apa. Dia mungkin berpikir aku membawa bekal atau apalah. Tidak terlintas sedikit pun dalam pikirannya bahwa ternyata aku sedang bersungguh-sungguh menjadi murid yang rajin.
Fira berbalik di kursinya, melontarkan pertanyaan lagi. "Kalau Regha, sih, pasti nyebat di parkiran dulu baru balik. Kenapa nggak nitip sama aku aja, sih?"
"Soalnya Fira, 'kan, nggak suka kelamaan ngantri di kantin," sahutku yang sudah mulai mengerjakan tugas dari mata pelajaran berbeda. Kali ini adalah Matematika. Fira melotot tak percaya melihatku menghitung luas trapesium tak beraturan tanpa mengeluh satu kata pun. "Jadi, Metha minta tolong sama Regha aja, deh. Untung dia mau."
Tak ada yang bisa dilakukan Fira selain menghela napasnya panjang. "Seantero kelas IPS 1 takjub lihat tingkah kamu, Tha."
"Hmm-mm."
"Emangnya kamu mau masuk kampus mana, sih? Kok tiba-tiba rajin gitu?"
Mendengar itu, akhirnya tanganku berhenti bergerak. Dengan kedua alis bertaut bingung, aku mengangkat kepala, menatap Fira yang berekspektasi sebuah jawaban bagus.
"Nggak mau masuk kemana-mana, kok? Metha, 'kan, cuma mau bisa main sama Kakak?"
. . .
Bel tanda pulang sekolah berdentang panjang. Suara nyaringnya mengantarkan euforia kepada jiwa para pelajar yang sudah kehabisan semangat. Kelas sebelah—IPS 2 atau yang sering dijuluki kelas paling bermasalah—selalu menjadi yang terheboh setiap mendengar bel itu. Namun, untuk hari ini sorak-soraiku mengalahkan mereka semua.
"Jangan lupa tugasnya dikerjakan!" seru Bu Tyas sebelum meninggalkan kelas. Kedua mata melotot di balik kacamata itu mengarah kepadaku. "Metha! Kalau besok ketiduran lagi, kamu nggak diizinkan langsung pulang, ya!"
"Siap, Bu! Sayang Ibu!"
Seisi kelas menoleh ke arahku sembari menggelengkan kepala.
Aku menyantap habis seporsi siomay lima menit sebelum Bu Tyas masuk kelas, tepat setelah menuntaskan seluruh tugas rumah. Regha terus berkomentar tentang betapa kacau penjabaran matematika yang kubuat, namun yang terpenting bagiku semuanya selesai. Pelajaran bahasa Inggris kuawali dengan melamunkan agendaku sore ini. Sialnya, energi yang sudah terkuras habis dan kondisi perut kekenyangan membuatku terlelap dengan tubuh terlentang bebas ke sandaran belakang kursi.
Spidol papan tulis yang terlempar tepat ke atas meja membuatku terbangun kaget. Ketika kedua mataku terbelalak lebar, tatapan Bu Tyas seakan siap membuatku tamat kapan saja. Sembari marah-marah, beliau menyuruhku menjawab semua pertanyaan di papan tulis. Suasana kelas menjadi sunyi senyap saking tegangnya. Seperti yang sudah diduga, aku tidak bisa becus mengerjakannya. Namun, setidaknya aku menjadi sedikit takut untuk tidur lagi.
"Tha, ikut Arditya main—"
"—Nggak dulu! Dadah, Fira!"
Aku berlari keluar kelas menyusuri koridor, menyalip orang-orang yang berhamburan meninggalkan gedung sekolah. Beberapa anak tak sengaja tertabrak dan merasa risih, namun aku sama sekali tidak sempat memikirkan itu. Sosok laki-laki berjaket denim di dekat gerbang sekolah membuat senyumku melebar. Aku berlari semakin cepat.
Kak Daren tengah sibuk menatap layar ponsel. Sempat terlihat senyum tipis yang diikuti napas lega, sebelum perhatiannya beralih mendapatiku sedang menghampirinya.
"Jadi?" Kak Daren memulai percakapan ketika kami melangkah ke luar gerbang sekolah. "Kita mau pergi ke mana, sih? Nggak ada tempat yang asyik di Depok."
"Ada, kok?" sahutku sembari masuk ke dalam mobil. Seperti biasanya, jok beserta dashboard-nya sudah dilap bersih oleh Kak Daren. Pengharumnya juga sudah diganti dengan yang baru. Kali ini beraroma apel hijau segar. "Banyak tempat seru di mall. Emangnya nggak pernah ke sana?"