Semesta Kita

Elivia Nor
Chapter #4

Impian dan Keberadaan

"Tunggu sini. Aku cari taksi dulu." 

"Siapa yang bilang mau naik taksi?" 

Begitu akhir pekan berakhir, aku kembali menghabiskan waktu setelah pulang sekolah bersama Kak Daren. Sayangnya, mobil Kak Daren mengalami masalah sejak pagi, jadi dia berpergian menaiki taksi. Kali ini, kami berburu jajanan pasar yang dijual di sekitar stasiun. Depok tidak memiliki sesuatu yang mengesankan seperti makanan khas, namun semua yang dijual di kota ini terasa enak. Orang-orang menyenangi kuliner dan menikmati cita rasa. Ketika Kak Daren mengaku tidak pernah mencicipi jajanan di pinggir jalan, aku langsung berpikir untuk mengajaknya kemari. 

Mendengar jawabanku, alis panjang Kak Daren terangkat sebelah. "Kamu lupa, ya, kalau aku nggak bawa mobil?" 

"Justru tambah asyik kalau nggak naik mobil," sahutku penuh semangat. "Ayo!" 

Tanpa aba-aba, kutarik tangannya pergi menaiki tangga menuju jembatan penyeberangan. Besi pada pegangan maupun anak tangganya dingin dan berkarat. Terdapat beberapa puntung rokok yang dibuang sembarangan. Banyak sekali anak tangga yang harus dinaiki untuk mencapai jembatan tinggi. 

"Wah ... "

Sesampainya di atas, kami disuguhi pemandangan kota di malam hari. Jalanan tampak ruwet dengan lampu berwarna-warni berkerlip di antaranya. Gedung-gedung tinggi yang berdempet satu sama lain itu tak pernah tidur di bawah gulita. Tanpa sadar, satu ungkap takjub lolos dari mulut Kak Daren. Aku suka dengan reaksinya. 

"Bagus, ya?" 

"Satu-satunya pemandangan yang bisa dinikmati di kota sumpek kayak gini," sahut Kak Daren. Alih-alih melanjutkan langkah, dia bertengger menghadap ke luar pagar jembatan. Kedua matanya berpendar menyaksikan luasnya dunia. "Aku harus mendapatkan inspirasi dari pemandangan ini. Aku yakin bisa digunakan untuk sampul novel selanjutnya." 

"Ilustrator itu pekerjaan seperti apa?" 

Aku bertanya dengan mata berbinar penuh ingin tahu. Sejak awal, seni rupa tidak pernah menjadi duniaku. Di taman kanak-kanak, aku lebih memilih bermain bola di lapangan dan sangat membenci pelajaran menggambar. Hasil karyaku selalu tampak kasar. Saat itu, guruku menghabiskan banyak waktu untuk mengajariku caranya membuat garis lurus. Kuncinya adalah kesabaran. Aku tidak pernah memilikinya. 

"Menggambar secara komunikatif. Di pekerjaanku misalnya, menjadi ilustrator untuk sampul novel, aku harus menyimak ceritanya dulu. Selain harus menarik, sampul yang aku buat harus pas supaya pembaca tau apa yang akan dibacanya," jelas Kak Daren. "Ya ... kadang-kadang, penulis mintanya macam-macam. Terkadang, editornya yang nggak suka sama hasilnya. Soalnya aku bukan pelukis, sih. Jadi harus ikut maunya klien." 

Aku memiringkan kepala. "Terus ... kenapa nggak jadi pelukis aja?" 

"Susah banget, Methaaa! Enteng banget kamu ngomongnya," Kak Daren terkekeh geli melihat tingkah polosku. "Dulu aku nekat banget ambil DKV pas kuliah. Alasannya cuma karena suka gambar, padahal aku nggak bakat-bakat amat. Tapi, ya, karena sudah terlanjur, mau nggak mau harus ambil pekerjaan yang bisa dilakukan." 

"Oh, kalau nggak salah Kak Tamara juga pekerjaan kayak gitu. Dikejar deadline dan harus ikut maunya klien," aku berceletuk begitu teringat dengan Kak Tamara dan pekerjaannya yang tidak pernah bisa diganggu. "Waktu kecil, Kakak suka nonton anime tentang pahlawan. Gambarnya bagus banget. Metha yakin Kakak bisa jadi animator yang hebat." 

"Terus gimana? Kakak kamu berhasil jadi animator?" 

Lihat selengkapnya