Semesta Kita

Elivia Nor
Chapter #5

Ingkar Janji

"Tha? Serius nggak ikutan pergi?" 

Rumah Arditya adalah salah satu tempat menghabiskan waktu paling menyenangkan setelah bioskop dan karaoke. Dia memiliki segalanya di dalam rumah besar yang perabotannya pun berkilapan oleh kemewahan. Di halaman rumah terdapat kebun yang dipenuhi tanaman berbunga dan kolam di mana ikan hias berenang-renang. Sementara itu, di bagian belakangnya terdapat kolam renang dan alat pemanggang berjeruji. Dari balkon rumahnya, kami bisa menyaksikan bulan dan bintang-bintang dari jarak yang lebih dekat menggunakan teleskop. 

Aku akan meralat sedikit narasi sebelumnya. Arditya memiliki semuanya kecuali satu, yaitu orang untuk diajak bersenang-senang. Setiap hari, dia menghabiskan waktunya sendirian di rumah. Ayah, ibu, dan kakaknya memulai pekerjaan yang super sibuk di pagi hari dan baru tiba di rumah ketika Arditya sudah tertidur. Sebagai anak yang supel dan rendah hati, Arditya dekat dengan semua pembantu dan tukang kebun yang bekerja di sana, namun tidak selamanya ia bisa mengganggu kesibukan mereka. 

Aku tidak dapat membayangkan betapa hebat kesepian yang dirasakan di rumah sebesar itu. Arditya selalu tampak riang di sekolah. Meski tidak pernah dibicarakan, aku tahu itu merupakan bentuk kesedihan yang disembunyikan. Ajakan untuk bermain di rumah Arditya selalu kusambut dengan penuh antusias. Kali ini, untuk pertama kalinya aku tidak bisa merasa seperti itu. 

"Kamu punya pacar, ya, sekarang?" Arditya duduk di pinggir mejaku. Kalau ada guru yang melihat, dia pasti mendapat teguran keras. "Regha, gimana kesaksiannya?" 

Regha memutar kedua matanya. Dia tampak tidak terlalu senang membicarakan ini. "Aku nggak pernah bilang itu pacarnya Metha, ya. Kemarin, aku cuma lihat dia jajan di pinggir jalan bareng cowok." 

"Pakai kemeja biru tua?" 

"Iya. Fashion sense-nya bagus." 

Aku lanjut menimpali. "Itu Kak Daren. Kakak tiri Metha yang baru." 

Belum sempat menghindar, leher Arditya sudah terkunci oleh lengan Fira. Dia mengaduh, namun Fira tidak akan mengampuninya semudah itu. Omong-omong, cekikannya itu sama sekali tidak sungguhan. Dia hanya menahan Arditya di tempat sampai mendapat penjelasan atas penyebaran gosip yang kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan. 

"Astaga—maaf, deh! Aku nggak tahu itu kakaknya Metha," ucap Arditya dengan wajah memelas. Fira melotot semakin murka. Selain padaku, dia tidak akan pernah meluluhkan hatinya, terlebih kalau orangnya adalah Arditya. "Ampuni hamba, Kanjeng Ratu. Mulut hamba ini emang penuh dosa." 

Regha menghampiri dari tempat duduknya. Dia berbicara denganku alih-alih menanggapi Arditya yang tengah merengek minta tolong. "Berarti, kamu udah tinggal bareng keluarga kamu, ya?" 

"Iya, baru banget," aku cengengesan lebar. 

Mendengar itu, Regha menyunggingkan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Sebenarnya, aku tidak terlalu tahu kebahagiaan apa yang membuatnya tersenyum. Meski begitu, aku lebih suka melihatnya seperti ini. Aku tahu Regha tidak sedingin yang dibilang orang-orang. Selain selalu siap sedia dimintai tolong, dia juga penuh perhatian dan setia. Ketika ada masalah yang tidak sanggup diselesaikan oleh siapa pun, Regha selalu menjadi satu-satunya harapan yang dapat mengatasinya. 

"Syukur, deh. Selama ini, 'kan, kamu pengen banget punya kakak yang bisa diajak main." 

"Yap, benar banget! Ngomong-ngomong soal main, aku nggak bisa pergi sama kalian karena mau jalan-jalan sama Kakak," sahutku sembari menuju ke luar kelas dengan langkah tidak sabaran. "Sampai besok!" 

Lihat selengkapnya