“Tha? Yuk, diskusi kelompok dulu bentar.”
Aku mengangkat kepala dari tumpukan tugas di atas meja. Semuanya adalah bahasa Inggris yang ‘dihadiahi’ oleh Ibu Tyas. Sampai detik sebelum seseorang memanggil, aku mulai bisa membedakan bentuk waktu kini dengan yang berkelanjutan. Tepukan Arditya di bahu menginterupsi seluruh fokusku. Semuanya pun buyar menjadi tanpa arti. Rasanya seperti sedang menyusun rumah-rumahan yang terbuat dari kartu: sulit melakukannya namun luluh lantak dalam sekali empas angin.
“Tapi, Metha lagi ngerjain tugas bahasa Inggris.”
“Emangnya nggak bisa nanti? Kita omongin dulu tugas kelompoknya sebentar.”
“Nggak bisa. Sepulang sekolah mau ke pameran sama Kakak.”
Entah sadar atau tidak, Arditya memutar kedua matanya muak. Untuk yang pertama kalinya, dia sesinis itu. Sedangkan tak jauh dari sana, Regha terdiam seribu bahasa dengan kedua mata tak henti mengamati, serta Fira yang menghela napas pasrah. Aku terlalu sibuk berkutat dengan tugas yang sedang kukerjakan. Rasanya bahkan tidak ada waktu untuk menoleh dan menatap mereka.
“Terserah kamu aja, deh,” Arditya berbalik memunggungiku. Dia kembali ke tempat duduknya di dekat Regha. “Satu dua kali mangkir dari tugas kelompok masih wajar, Tha. Kamu harusnya tau, dong, nggak bisa begini terus? Emangnya aku nggak bisa coret nama kamu dari daftar anggota kalau kamu nggak mau ikut kerja sama?”
Merasa Arditya tengah mengancam, aku terpaksa mengalihkan atensi kepada teman-teman sekelompokku. Tak ada raut baik-baik saja yang terpatri di wajah mereka. Tenggat waktu pengumpulan tugasnya sebentar lagi. Mereka tidak bisa bersantai-santai, apalagi kehilangan satu orang anggota kelompok di masa-masa krisis. Bukannya ingin bersikap acuh, namun aku hanya bisa melakukannya di waktu lain. Aku merasa tak ada satu pun yang memahami itu.
“Apa pun rencananya, Metha janji nggak akan protes, deh. Pokoknya, kalian bicarakan aja, lalu kasih tahu bagian Metha.”
“Perencanaannya udah selesai dari kemarin, Metha,” sahut Fira tegas. Dia seolah begitu ingin aku tahu betapa nihil kontribusiku selama ini. “Untuk simulasi letusan gunung berapi, kita nggak akan mempresentasikan eksperimen kayak biasanya. Regha mengusulkan untuk membuat animasi bergerak. Kalau kamu bisa melakukannya dan selesai tepat waktu, kita nggak akan ganggu kamu. Gimana?”
Aku menyanggupi tanpa berpikir panjang. Membuat animasi mungkin menjadi tugas yang paling sulit ketimbang membuat rangkuman materi, namun tak ada sekelebat pun kecemasan dalam kepalaku. Aku punya Kak Tamara yang terobsesi dengan animasi sejak usia lima hingga sekarang. Aku yakin dia bisa membantu. Sepertinya, tugas ini memang paling tepat kalau diserahkan padaku.
Dahi Arditya masih berkerut tidak senang. “Jangan sampai lupa, lho!”
“Iya, iya! Metha chat Kak Tamara sekarang, nih!”
. . .
Meski tidak mengerti apa pun soal seni, aku tahu pameran seni itu mengasyikkan. Semua yang dipajang oleh mereka adalah mahakarya yang mampu memanjakan mata. Ada banyak warna yang belum pernah kulihat sebelumnya. Pameran yang satu ini juga ramah dengan pengunjung awam. Interpretasi dari estetika karya seni yang rumit diterangkan dengan jelas di kotak deskripsi. Terdapat pula beberapa karyawan yang siap memandu, namun semuanya tengah sibuk. Seharusnya, itu tidak masalah. Kak Daren adalah pemanduku.
Andai saja bisa begitu …
“Kak, kalau yang ini makna lukisannya apa?”
“Hah? Oh—ini, pemandangan luar jendela kamar rumah sakit jiwa di Prancis selatan. Lukisan ini berhasil menangkap—”