Gila aja! Metha harus ngerjain ini semua sendiri?
Hampir pukul sebelas, lampu ruang tengah masih menyala benderang. Tak jarang, suara ribut yang terdengar mengganggu kesunyian malam. Semua orang sudah berada di kamarnya masing-masing. Kerusuhan yang kubuat mengusik Papa hingga akhirnya beliau keluar dengan kacamata yang masih bertengger di batang hidungnya. Kemudian, Bunda menyusul seraya menguap pelan.
“Lho, lagi ngapain, Sayang? Kok nggak tidur?” tanya Papa.
Aku menjawab dengan bibir cemberut. “Mau ngerjain tugas, Pa.”
“Tugas?” Papa melihat-lihat sebundel panduan membuat animasi sederhana yang kucetak dengan printer di kamar Kak Daren. Dia terlihat sangat sibuk dan lelah, ditambah ketegangan tadi sore yang masih kuingat jelas, aku mengurungkan niat untuk meminta bantuan. “Papa, ‘kan, udah sering bilang, Metha. Main boleh, tapi—”
Papa tampak menahan diri untuk tidak terlalu menghakimiku. Sedangkan aku hanya menundukkan kepala. Semuanya berjalan di luar keinginanku, hingga rasanya seperti kendali tidak berada di tanganku lagi, tetapi tidak punya tenaga pula untuk beralasan. Aku hanya ingin tugasnya cepat selesai dan tidur sembari melupakan kesialan hari ini.
Bunda menghela napas sabar. Beliau bertanya dengan suaranya yang lembut. “Kenapa Metha? Kok baru bisa mengerjakan sekarang?”
“T-tadinya, Metha mau minta tolong sama Kakak. Emm … maksudnya, Kak Tamara,” jelasku dengan lesu. “Tapi, Metha baru tau Kak Tamara blokir nomornya Metha. Tau gitu, Metha nggak bakal ambil bagian bikin animasi kayak gini.”
Kedua mata Papa membulat tidak percaya. Beliau tentu tidak tahu dengan pemutusan kontak sepihak dari putri sulungnya kepada adik sendiri. Papa tahu ketidakakuran di antara Kak Tamara dan aku, sebab Kak Tamara selalu memusuhi satu keluarga, namun dugaannya tidak seburuk ini. Tersirat emosi yang sudah mencapai ubun-ubun, namun tepukan menenangkan Bunda di bahu membuat Papa menahannya. Kembali berpikir jernih, Papa menyadari yang terpenting sekarang ialah membantuku.
“Apa yang bisa dibantu?” tanya Bunda lagi.
“Eumm … letusan lava dari perut magma menuju permukaan. Kalau gunungnya, Metha sudah buat.”
“Bunda coba, ya,” Bunda mengambil alih mouse yang tersambung dengan laptop. Kursor meluncur halus ke bawah dan garisnya membentuk seperti sebuah cairan kental. Tanpa sadar, aku mendecak penuh kagum. “Bunda pernah diajari pakai software ini sama Daren. Gimana?”
“Metha nggak nyangka Bunda bisa gambar!” seruku semangat.