Sebenarnya, kita udah jadi kakak-adik belum, sih?
Aku memantulkan bola voli di atas kedua tangan yang saling menggenggam. Kepalaku mengadah ke udara memperhatikan gerak bolanya yang stabil. Udara dingin di malam hari tidak menghentikanku untuk menghabiskan waktu di halaman belakang seperti ini. Di dalam rumah, Papa sedang menelepon kolega kerjanya di ruang tamu, sedangkan Bunda memanggang kue bersama Kak Daren. Aku yang sama sekali tidak terampil di dapur, juga sedang ingin merenung sendiri, memutuskan untuk memisahkan diri. Sejak tiba di rumah, aku memang lebih banyak diam daripada biasanya.
Metha emang pengen banget menghabiskan waktu sama Kak Daren—seperti kakak-adik yang normal lainnya. Tapi, kalau itu malah bikin repot semua orang, apa sebaiknya Metha berhenti aja …?
Aku menghela napas panjang. Kedua mataku berpendar memandang langit gulita tanpa bintang-bintang. Aku penasaran di mana mereka semua bersembunyi. Seandainya langit terlihat sedikit lebih cantik, mungkin hatiku akan merasa terhibur.
Mungkin emang lebih baik Metha hidup kayak biasanya aja, ya. Main sama teman-teman, terus ngobrol sama Papa. Kak Daren udah dewasa. Dia mungkin nggak terlalu pengen main terus sama Metha …
Lamunanku disambut oleh aroma harum kue yang sudah matang. Kak Daren datang ke halaman belakang membawakan sepiring penuh muffin bertabur chocochips. Dia tersenyum tipis padaku. Tidak ada bahu yang merosot lelah dan kantung hitam di bawah matanya. Kondisi Kak Daren terlihat jauh lebih baik sekarang. Melihat itu, mau tidak mau aku merasa senang dan ikut tersenyum juga.
“Cobain kue buatan aku, yuk?”
Pada dasarnya, aku pencinta hampir semua makanan. Kue-kue manis adalah salah satu yang paling favorit. Terlebih ini adalah buatan Bunda dan Kak Daren, aku tidak mungkin menolak untuk mencicipinya. Aroma yang menguar lezat sudah menggoda seleraku sejak tadi. Aku menjatuhkan bolanya begitu saja, kemudian setengah berlari menuju teras. Sebelum benar-benar meraih salah satu muffin, Kak Daren mengangkat piringnya tinggi-tinggi.
Dia memiringkan kepalanya. “Cuci tangan dulu, dong. Habis main bola pasti kotor, ‘kan?”
Setengah merengut, aku mencuci tanganku di wastafel dengan super cepat. Sedetik kemudian, aku sudah selesai mengelap tangan basahku di celana piyama. Aku duduk di kursi yang menghadap ke pemandangan halaman penuh tanaman hias. Kak Daren duduk di kursi lainnya, meletakkan piring itu di atas meja. Kuenya masih terasa hangat ketika aku menyentuhnya.
“Uwaah, enak!” seruku setelah gigitan pertama. Kedua mataku berbinar takjub. “Gurih banget. Manisnya pas! Muffin itu emang cenderung lebih padat, ya?”
Kak Daren tersenyum lebar seraya mengangguk. “Campuran adonannya itu berupa mentega yang dilarutkan dengan gula. Terus dituang ke tepung. Kalau kue lain, cupcake misalnya, biasanya dikocok pakai mixer. Karena itu, rasanya lebih lembut dan ringan.”
Setelah menghabiskan satu cup muffin, aku menjawab, “Metha nggak terlalu ngerti, sih. Pokoknya, kue buatan Kak Daren enak! Metha suka banget! Kak Daren makan juga, dong?”
Tawa kecil Kak Daren menyahut. “Nanti aja, ya, Metha. Sebenarnya, aku nggak terlalu lapar.”
Kak Daren mengenakan alas kaki, kemudian berjalan ke luar teras. Dia menghampiri tempat di mana bola voliku berhenti menggelinding. Bola itu diambil menggunakan satu tangan, kemudian dilempar ke udara. Belum sempat melambung tinggi, bolanya membentur sebelah bahu Kak Daren dan akhirnya jatuh ke tanah.
“Yang benar aja? Berat banget!”
Aku terkekeh geli melihat Kak Daren ogah-ogahan memungut bola itu kembali. “Udah standarnya dari sananya begitu, Kak. Emangnya nggak pernah coba main?”