Semesta Kita

Elivia Nor
Chapter #10

Bukan Adik

“Ayo bersulang buat suksesnya presentasi kita!” 

Arditya mengangkat gelas sodanya tinggi-tinggi. Senyum lebarnya seakan menunjukkan tidak ada yang dapat menandingi kegembiraannya saat ini. Ribut suaranya mengundang perhatian pengunjung lain. Kebetulan, restoran cepat saji tempat kami sedang tidak terlalu ramai. Fira menyembunyikan wajahnya lantaran merasa malu. Regha memutar kedua matanya malas. Meski menganggap Arditya sangat norak, dia tetap ikut bersulang. 

“Bersulang.” 

“Yes, bersulang!” sahutku sembari menyatukan gelasku dengan milik mereka. “Kita sampai dipuji sama Pak Cahyo, lho! Kejadian langka! Metha senang banget!” 

Perut keronconganku sudah tak tertahankan lagi. Dengan tidak sabaran, aku membuka kertas yang membungkus burger daging sapi berlapis keju yang kupesan. Aku semakin merasa senang karena semuanya ditraktir oleh Arditya. Setiap ada hal baik yang terjadi, entah itu keberhasilan, hari ulang tahun seseorang, atau ujian yang baru usai, dia tidak pernah menahan diri untuk membuka dompetnya. 

“Untung kamu bisa ikut presentasi juga, ya, Tha,” tutur Fira penuh syukur. “Waktu kamu datang bawa tugas, kamu udah kayak mayat berjalan, tahu? Lemas dan pucat banget!” 

Aku terbahak. “Tapi asyik juga, lho, jadi pasien di UKS. Metha dapat susu kotak sama roti gratis, terus bisa tidur sepuasnya!” 

“Guru yang jagain UKS pasti juga nggak tega lihat kamu. Makanya, makan yang banyak biar nggak lemas,” sahut Regha. Dia menyodorkan sepiring kentang goreng dengan cuma-cuma, kemudian lanjut menyantap nasi dan dua potong ayam kentucky. Regha adalah tipe orang Indonesia yang tidak bisa makan tanpa nasi. 

“Ngomong-ngomong makanan, tadi siang aku sibuk nyalin PR punya Regha sampai lupa makan,” celetuk Arditya seraya beranjak dari kursi. “Aku mau nambah pesanan dulu, ya. Ada yang mau pesan lagi, nggak?” 

Kedua mataku terbelalak senang. Satu cup es krim vanila dengan lelehan cokelat di atasnya terlintas di benakku. Baru saja aku mau bilang, Fira dua kali lebih cepat untuk menahanku. Dia membuat isyarat supaya aku tidak perlu memesan apa-apa lagi. Apa yang sudah kita makan menggunakan uang Arditya sangat lebih dari cukup. Fira memang selalu sungkan dan tahu batas. 

“Seporsi lagi, dong, Dit. Ayamnya dua. Mau aku bawa pulang.” 

Tak disangka-sangka, Regha berkata setenang itu. Aku maupun Fira melotot terkejut. Kami berpikir Regha juga penuh perasaan tidak enak hati, ternyata sangat tidak tahu diri. Tanpa bisa ditahan oleh Fira lagi, aku berseru sekuat tenaga kepada Arditya yang sudah agak jauh dari meja. Suaraku terdengar lebih keras dari saat Arditya bersulang tadi. Sekali lagi, Fira menyembunyikan wajahnya. 

“Regha curang! Kalau gitu, Metha juga mau es krim!” 

. . . 

Kami selesai makan pukul lima. Aku membawa pulang satu buah es krim cokelat (karena yang rasa vanila sudah habis) dan begitu pula Fira. Arditya memberikannya sambil memaksa sampai Fira tidak bisa menolak lagi. Perjalanan pulang ke rumah memang paling enak dalam keadaan perut kenyang. 

“Angkotnya udah datang. Aku duluan, ya.” 

Fira melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam angkot berwarna jingga yang akan membawanya pulang. Karena arah rumah yang berlawanan, kami selalu berpisah di halte. Tersisa aku dan Regha serta orang-orang yang juga sedang menunggu angkot. Sedangkan Arditya yang membawa mobil ke sekolah itu sudah pulang sedari tadi. 

“Harusnya, angkot biru juga lewat sebentar lagi …" 

Kepalaku melongok tidak bisa diam, berkali-kali memeriksa jalanan penuh kendaraan yang berlalu-lalang. Regha sudah memberiku tempat duduk di halte, namun malah tidak kutempati. Dia pun berdiri di belakangku, bermaksud mencari angkot juga. Meski rumah Regha terletak lebih jauh dariku, jalannya searah. Jadi, kami menaiki angkot yang sama. 

Lihat selengkapnya