Dari sekian banyak rapat yang pernah dihadiri Daren, kali ini yang paling memusingkan. Sebagai desainer untuk sampul novel, terkadang ia juga dilibatkan dalam rapat yang diadakan oleh pimpinan redaktur. Rencananya, akan ada arahan lanjutan untuk penerbitan novel terbaru dari Pras Septian yang sudah selesai disunting oleh editor. Desain sampulnya juga sudah dibicarakan dan kami sepakat untuk mengikuti keinginan sang penulis seperti novel-novel sebelumnya. Tidak ada yang menyangka Pras Septian datang langsung ke kantor penerbitan dan mengamuk di meja resepsionis sepuluh menit sebelum rapat dimulai.
“Parah! Makin nggak beres aja Mbak Ayu itu!” Pak Warta, si pemimpin redaktur, berujar frustasi. “Kemarin telat datang rapat. Naskah-naskah penulis baru yang dia edit juga banyak kesalahannya. Sekarang lupa sosialisasi kebijakan baru ke penulis? Bisa-bisa Mas Pras putus kontrak sama kita!”
Masalahnya adalah Mbak Ayu lupa memberitahu Mas Pras tentang kebijakan yang baru diberlakukan, yaitu pengurangan honor yang diterima oleh penulis. Mas Pras yang tidak tahu apa-apa itu lantas saja marah. Penantiannya selama enam bulan hingga honornya cair tidak sebanyak yang biasanya dia dapatkan. Daren sendiri tidak terlalu mengerti alasan adanya kebijakan itu. Tetapi, melihat gelagat Mbak Ayu yang syok berat dan agak linglung saat diusir dari ruangan oleh Pak Warta, Daren langsung tahu itu murni ketidaksengajaan. Mbak Ayu sama sekali tidak bermaksud untuk ceroboh dalam bekerja.
Rapat pun berubah menjadi ajang pelampiasan amarah yang dilakukan oleh Pak Warta. Peserta rapat yang tersisa di dalam ruangan itu hanya manggut-manggut mendengarkan. Sesekali beberapa dari mereka menunjukkan keberpihakannya kepada Pak Warta. Tak lupa, Mbak Ayu digunakan sebagai alat untuk dijatuhkan demi memenuhi ego Pak Warta semata. Daren hanya terdiam di kursi paling ujung, mengerut dahinya yang berkedut pening.
“Pas baca naskah mentah pun, Mbak Ayu keseringan nggak fokus. Banyak naskah yang sisi bagusnya malah terlewat sama dia, terus ngomel-ngomel bilang saya nggak becus menyeleksi,” sahut Mbak Cindy selaku editor akusisi. “Capek, deh. Saya jadi harus dikte satu-satu mana bagian bagusnya. Berasa mentorin editor baru aja.”
“Wah, kacau banget, Mbak. Kalau dia jadi saya, bisa-bisa banyak typo yang kelewat, tuh,” editor lainnya menimpali.
“Pokoknya, kalau Mas Pras beneran putus kontrak sama kita, itu salahnya Mbak Ayu. Saya nggak mau tau. Pokoknya dia harus bisa lurusin kesalahpahaman dan bujuk beliau supaya mau bertahan. Penerbit mayor seperti kita nggak boleh kehilangan penulis legendaris seperti Mas Pras,” ucap Pak Warta final. Semua orang termasuk Daren memberi anggukan patuh sesuai yang diinginkannya. Penjualan novel karya Pras Septian selalu meraup banyak untung. Hal itu turut menaikkan nama para editor di mata para petinggi penerbit. “Dan juga—jangan turuti semua keinginan pribadi Mas Pras untuk desain sampul. Melihat dari novel sebelumnya, penjualan agak menurun dan salah satu penyebabnya adalah sampul yang kurang meyakinkan. Mas Daren—hei, perhatikan, dong!”
“I-iya, baik,” Daren terbelalak kaget begitu terbangun dari lamunannya. Dia berdeham singkat sebelum berbicara. “Desain yang kemarin memang atas permintaan Mas Pras sendiri, dan—saat itu, Bapak juga sudah setuju. Makanya saya tindak lanjuti seperti itu.”