Aku benci bahwa Kak Daren tiba lebih lama dari perkiraanku. Lingkungan tempat tinggal Kak Tamara tidak terlalu terasa nyaman. Aku tidak menemukan tempat menunggu yang lebih bagus dari perkarangan rumah Kak Tamara. Saat itu, aku juga berharap Regha menampakkan batang hidungnya. Tetapi, sosoknya belum terlihat lagi semenjak pergi ke warung. Di tengah kerasnya musik dan ribut tawa dari dalam rumah, aku merasa begitu sendirian.
Setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah kosong yang tidak jauh, Kak Daren turun dan menghampiriku dengan setengah berlari. Keadaanku yang tidak tampak baik-baik saja menambah kerut kekhawatiran di dahinya. Kak Daren mungkin berpikir pulang ke rumah adalah ajakan paling bagus yang dipunyainya saat ini. Tetapi, dia yang juga tahu bahwa ada hal penting yang tidak ingin kutinggalkan di sini membuatnya hanya bergeming.
Belum sempat berhasil membujukku pulang, pintu rumah kembali terbuka. Kak Tamara membawa lebih banyak sampah untuk dibuang. Melihat lantai terasnya berserakan oleh kotak-kotak pizza, dia menggeram di balik rahangnya. Kak Tamara tidak habis pikir mendapatiku masih berada di sini. Kak Daren beranjak menghadapinya, menuntut penjelasan mengenai apa yang terjadi padaku tanpa mengutarakannya. Segala tingkah lakunya memerankan dengan baik sosok seorang kakak, selagi Kak Tamara menyaksikan itu sembari menahan tawa.
Di balik senyum miringnya, aku tahu isi hati Kak Tamara: Oh, jadi kamu yang namanya Daren—menggantikan aku sebagai kakaknya Metha? Konyol banget.
Kak Daren tampak memahami itu. Kedua alisnya bertaut kesal, namun memilih untuk tidak menanggapi lebih jauh. Kak Tamara sudah masuk ke dalam rumahnya lagi, mengunci pintu rapat-rapat tanpa berniat sedikit pun untuk memedulikan kami. Aku tidak dapat melepaskan tatapanku dari pintu yang tertutup itu. Kak Daren di hadapanku tidak kuperhatikan sama sekali.
“Metha, kamu pasti capek. Pulang dulu, yuk?”
“ … “
“Metha?”
“Nggak mau.”
Sedikit terkejut mendengar jawabanku, Kak Daren mengusap wajahnya frustasi. Aku tidak peduli, masih memandang rumah Kak Tamara dengan penuh kesedihan. Kini aku menyadari sesuatu. Aku memulai permainan peran kakak-adik yang kubuat bersama Kak Daren untuk menutupi kekosongan dalam diriku akan absennya Kak Tamara. Dengan sedikit memaksakan keadaan, aku berharap begitu banyak. Nyatanya, Kak Tamara takkan pernah bisa tergantikan oleh apa pun. Sejak awal, aku hanya menginginkan kehadirannya di dekatku, dan menginginkan dirinya ketika Kak Daren selalu ada untukku semakin menunjukkan betapa serakahnya aku.
“Papa nanyain kamu. Masih nggak mau pulang?”