Semesta Kita

Elivia Nor
Chapter #13

Kabar Buruk

Aku terbangun dari tidur yang sangat panjang. Petang hari sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri dengan seragam yang belum diganti, wajah berantakan oleh air mata, dan perasaan sedih. Dering telepon yang memekakkan telinga itu mengusikku. Aku tidak bisa menebak apa yang membuat Regha menghubungiku di jam satu pagi. 

“Halo, Regha. Ada ap—” 

“Metha!” seru Regha dari seberang telepon. Aku terkesiap, perlu memastikan bahwa yang baru saja berteriak cemas itu benar-benar Regha. Regha yang sangat tenang itu. “Ah—maaf menelepon malam-malam. T-tapi, begini—ada seorang wanita yang datang ke rumah kakak kamu. Setelah itu, terdengar suara pertengkaran dan kaca pecah. Sampai sekarang belum berhenti.” 

“H-hah …?” 

“Aku nggak terlalu ingat wajahnya gimana. Rambutnya panjang berwarna cokelat, lalu—oh, ada bekas luka bakar di punggung tangannya. Maaf, Metha, cuma itu yang aku ingat,” jelas Regha, masih dengan suara bergetar yang sama. “Aku pun belum bisa menolong karena dilarang sama Ayah buat ikut campur. Sekarang ini aku masih cari cara buat keluar diam-diam.” 

Ciri-ciri itu … sudah pasti Mama! 

Rambut Mama berwarna cokelat karena beliau selalu merasa cantik berpenampilan seperti itu. Luka bakar di tangannya berasal dari satu pertengkaran terhebatnya dengan Kak Tamara. Aku masih ingat dengan jelas ketika Mama memukul Kak Tamara dengan sapu hingga gagangnya patah. Merasa itu adalah kesempatannya untuk menyerang balik, Kak Tamara melempar teko berisi teh panas yang ada di meja makan. Luka bakar yang didapatkan Mama semakin membuatnya merasa dendam. 

“M-makasih, Regha. Metha bakal tiba di sana secepat mungkin.” 

Tanpa menutup teleponnya, aku berlari keluar dari kamar dan menuruni tangga. Lampu di ruang tengah menyala terang. Aku tidak mengerti apa yang sedang dilakukan mereka selarut ini. Mereka berwajah penuh kekhawatiran persis seperti aku. 

“Pa, Kak Tamara—” aku tertegun melihat Bunda menangis. "Ada apa ini?” 

Papa membelalakkan kedua matanya heran. Beliau memegangi bahuku seraya bertanya, “Kak Tamara kenapa, Sayang?”

Lihat selengkapnya