Dahulu, Daren selalu bahagia mengikuti apa pun yang diperintahkan Ayah.
Ayah adalah seorang dosen yang handal dan cerdas. Beliau selalu menekankan sifat kesungguhan untuk mencapai keberhasilan. Hidup yang terjamin oleh kepastian itu nyaman dan membanggakan, katanya, dan beliau ingin Daren menggapai hal yang sama. Pertama kali Ayah mengutarakan pandangannya itu ketika Daren masih berusia sebelas. Daren tidak terlalu paham maksudnya, tetapi mengiyakannya dengan hati gembira.
Beranjak SMP, Daren mulai ingin tahu lebih jauh mengenai dirinya sendiri, dunia yang ditinggalinya, juga impiannya di masa depan. Teman-teman di kelasnya memiliki cita-cita yang beragam. Mereka semua tampak bergairah dengan binar yang menyala-nyala di kedua mata setiap kali membicarakannya. Daren mengatakan rencana masa depannya untuk menjadi dosen PNS, persis seperti yang diharapkan oleh Ayah. Kedua matanya bahkan tidak tampak hidup. Salah satu temannya berceletuk bahwa Daren cocok menjadi perawat. Rasa kepedulian yang tinggi dan kesediaannya untuk membantu orang lain memang menjadi ciri khas yang paling mudah diingat dari Daren. Mendengar itu, secercah harapan mulai berterbangan melingkupi dirinya.
Ayah menentang keras ide itu. Katanya, perawat bukan pekerjaan yang maskulin dan jauh dari kata hebat. Sebenarnya, Ayah akan merasa sangat senang kalau Daren ingin menjadi dokter. Tetapi, Ayah pikir pencapaian akademis Daren masih terbilang kurang untuk mengenyam pendidikan dokter. Beliau tidak melihat sedikit pun peluang. Pada akhirnya, hasil keputusan masih sama, yaitu Daren akan disekolahkan hingga master untuk menjadi seorang dosen.
Daren tidak bisa jujur bahwa dia kurang suka cara Ayah yang terlalu memaksa tanpa mau mendengarkan orang lain. Tetapi, keinginannya untuk menjadi anak yang baik kembali menguasai dirinya. Daren mengangguk begitu patuh meskipun beribu pertanyaan tertinggal tanpa jawaban di kepalanya. Sebelum memasuki kamar dan tidur di bawah pukul sembilan, Daren menanyai Bunda tentang kehidupan penuh kepastian yang selalu diagung-agungkan oleh Ayah.
Bunda mengaku tidak teelalu tahu, tetapi ia selalu mengingat hal itu sebagai sesuatu yang sangat memuaskan bagi Ayah.
. . .
Daren sedikit lebih menyenangi kehidupan SMA-nya. Ayah dan Bunda berencana untuk menambah anak, dengan kata lain Daren akan mempunyai adik. Setelah penantian yang begitu lama, akhirnya Daren akan memiliki seseorang untuk diayomi. Selama ini, pengalamannya mengurus anak kecil hanya ketika bersama adik sepupu dan keponakan jauhnya.
Selain itu, ada seorang guru yang kepribadiannya sangat asyik, bebas, dan rendah hati. Semua anak memanggilnya Pak Leo. Beliau adalah guru seni budaya. Di pertemuan pertama, semua anak diperintahkan untuk menggambar bebas. Sebuah hal baru bagi Daren yang berasal dari SMP tanpa mata pelajaran berbau kesenian. Saat itu, Daren hanya menggambarkan apa yang sedang ia pikirkan.
Tak disangka, kualitas gambar yang sangat biasa itu dilirik oleh Pak Leo. Meskipun garis-garisnya masih berantakan, Daren pandai dalam memadukan warna. Selain itu, Pak Leo peka akan filosofi yang tersimpan di baliknya. Daren menggambar seorang pemuda sedang membantu banyak orang sekaligus dengan memanfaatkan banyak anggota tubuhnya. Pemuda itu tampak kerepotan, tetapi senyumnya lebar sekali. Sebelum perbincangan mereka berakhir, Pak Leo melontarkan pertanyaan yang menohok lubuk hati Daren paling dalam.
Katanya, pemuda di dalam gambar banyak memberi untuk orang lain, namun tidak memberikan apa pun kepada dirinya sendiri.