Papa dan Bunda meninggalkanku di rumah karena ingin aku beristirahat. Kenyataannya, aku sama sekali tidak bisa begitu. Sejak tadi, aku menelepon Regha menggunakan telepon rumah. Di saat yang sama, aku berusaha menghubungi ponsel Kak Daren. Berulang kali panggilan teleponku berakhir tak terjawab. Aku mengerang frustasi, memencet tombol telepon lagi, sedang Regha di seberang sana turut menyimak perasaan cemasku.
“Belum bisa juga?” tanyanya.
Aku menghela napas lelah. “Masih nggak diangkat. Tapi nyambung terus ke ponselnya. Mungkin … Bunda udah ketemu sama Kak Daren, ‘kan?”
Sesaat Regha terdiam. Dia tentu tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu. Semesta jauh lebih tahu. “Kakak kamu pasti baik-baik aja, kok.”
Aku juga tidak punya alasan untuk merasa lebih baik. Pikiran buruk semakin menumpuk di dalam kepala, membuat otakku yang kelelahan itu terus bekerja untuk mengolahnya. Aku hampir tidak menemukan sisa energi di dalam diriku. Kalau bukan karena kekhawatiran yang membuatku terjaga, aku mungkin sudah jatuh tertidur di atas karpet. Meskipun begitu, aku juga tidak bisa berbaring dengan nyaman di atas ranjang.
“Kak Tamara gimana? Gha?!”
“Pertengkarannya udah berhasil dilerai dari tadi. Sekarang, Kak Tamara mendapatkan pertolongan pertama dari Papa kamu. Setelah ini, dia akan dibawa ke rumah sakit,” jelas Regha dengan tutur setenang mungkin. Sekilas kelegaan memenuhi hatiku. Aku sangat bersyukur Regha ada di sana untuk membantu, meski ia harus keluar rumah diam-diam dan mengabaikan perintah orang tuanya. Aku berhutang banyak. “Mama kamu—dia udah berhasil disuruh pulang. Sepertinya, dia nggak akan berani nekat untuk kembali lagi. Papa kamu udah menyatakan ultimatumnya.”
“Maksudnya … Mama diancam?” kedua alisku bertaut sedih. Aku tahu betul bahwa Mama memukuli Kak Tamara sebagai akibat dari kondisi kewarasannya yang tidak stabil. Bukan berarti aku ingin membelanya. Aku hanya ingin segala bentuk kekerasan diakhiri. Semua orang juga mengharapkan itu, sehingga Papa terpaksa menindak Mama dengan peringatan keras pula.
“Papa kamu terlihat nggak ingin melakukannya, tetapi semuanya demi kakak kamu. Beliau tau, Mama kamu bukan miliknya lagi. Yang terpenting adalah Kak Tamara, karena dia adalah putrinya.”
“Kenapa, sih, Mama harus pukul Kak Tamara …?” ujarku sendu. “Emangnya ada masalah sebesar apa—sampai harus memukul?”
“Maaf, Metha. Aku nggak tahu pasti,” ucap Regha dengan penuh sesal. “Dari yang sempat kudengar, Mama kamu meminta uang secara paksa. Kak Tamara menolak. Awalnya cuma saling teriak, lama-kelamaan Mama kamu mulai memukul. Kak Tamara berusaha menghindar, semakin merasa marah, tapi nggak balas memukul.”
“Lalu Regha datang … dan menghentikan Mama,” sambungku. Hening di antara panggilan telepon menunjukkan bahwa itu benar. “Makasih banget, Regha. Coba aja kalau nggak ada Regha … Metha … “
Suara Regha mengisyaratkanku untuk menghentikan pikiran itu. “Udah, jangan bayangin yang nggak-nggak. Dan—”
Dering telepon yang ditunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Nama Kak Daren muncul di layar ponsel, menungguku untuk menyambut panggilannya. Tak ada satu pun dari panggilan teleponku yang terjawab. Panggilan dari Kak Daren sendiri lah yang membayar semua usaha kerasku. Aku nyaris tidak dapat mempercayai apa yang sedang terjadi.
“Dan sepertinya ada kabar baik menunggu,” Regha turut menghela napas lega. “Aku tutup dulu, ya, Metha. Semoga semuanya baik-baik aja.”