Hari demi hari pun berlalu. Bumi tetap berputar pada porosnya, tak punya waktu untuk berkabung bersama kesedihan-kesedihan yang ada di dalamnya. Manusia sangat kecil dan tidak berdaya, di saat yang bersamaan dituntut untuk berdiri sendiri. Setelah pertikaian yang menumpahkan banyak air mata dan menorehkan luka, aku kembali merasa hidup. Satu per satu, semua yang telah terjadi membuatku lebih mengerti.
Setelah merawat luka lebam di sekujur tubuhnya, Kak Daren kembali bekerja di kantor. Ada yang sedikit berbeda. Beberapa hari sekali dalam seminggu, Kak Daren lebih memilih menyelesaikan pekerjaannya di kantor dan pulang ke rumah ketika waktunya makan malam. Agaknya, dia mulai berbaur dengan teman-teman sekantor dan ingin menjadikan rumah sebagai tempat hanya untuk beristirahat. Di hari yang lain, Kak Daren mengajakku berkeliling di sekitar perumahan dan jajan banyak makanan enak.
Lalu … Kak Tamara juga dalam kondisi terbaiknya. Rumah yang baru dikontraknya itu pun ditinggalkan. Tidak ada yang dapat memastikan Mama berhenti datang, tetapi kami akan melindunginya dari amukan Mama. Saat itu, masih terlalu menyakitkan bagi Kak Tamara untuk sekadar menggerakkan tangan. Dia tidak punya pilihan lain selain setuju untuk tinggal bersama kami di rumah.
Kak Tamara memang bukan orang yang pandai mengungkapkan perasaan, termasuk meminta maaf. Di lain sisi, mungkin dia masih merenungi apa yang telah salah serta bagaimana memperbaikinya. Dia belajar memaafkan Mama dan keluarganya yang tidak utuh. Aku merawat Kak Tamara ketika tubuhnya masih dipenuhi ngilu. Dia melontarkan apresiasi pertamanya. Katanya, aku pandai membalut luka dengan perban. Jadi, aku tahu dia merasa sangat berterima kasih telah diselamatkan.
“Kakak nggak akan pulang malam ini?”
Aku mendesah kecewa mendengar jawaban dari seberang telepon. Setelah sembuh, bukan sekali dua kali Kak Tamara menginap di apartemen temannya. Mengurungnya di rumah hanya akan menambah beban stres dan kemarahan, jadi tidak ada yang berani melarangnya. Toh, Kak Tamara sudah besar bahkan mandiri sebelum waktunya. Dia tahu selalu ada rumah tempat untuk bernaung dan itu sudah cukup.
“Akan lebih cepat bolak-balik ke kantor dari rumah teman. Lagi ada proyek besar,” jelas Kak Tamara. “Perlu waktu juga untuk terbiasa. Kadang aku masih merasa sungkan di rumah.”
Aku mendengus pasrah. “Metha ngerti, kok.”
“Hei, tapi—” suara Kak Tamara terdengar tertahan. Aku bertanya-tanya menanti kalimat selanjutnya. “—besok libur, ‘kan? Mau pergi ke game center bareng?”
Tanpa pikir panjang, aku sudah mengiyakan sembari menjerit senang. Kegembiraan meledak-ledak di dalam hatiku. Murid-murid yang tengah berlalu-lalang melewati gerbang sekolah menatapku dengan aneh. Aku bahkan tidak sempat menghiraukannya. “Metha tau Kak Tamara juga suka main. Kak Daren nggak terlalu pandai bermain game.”