Aku tidak tahu ternyata tanpa sadar sudah memasuki semester tujuh jadwal kuliah bisa sampai malam gini, aku berjalan pulang bersama Rudi dan Rexsy menuju motor honda vario pinjaman omku yang terparkir cantik di sekitar DPR a.k.a dibawah pohon rindang. Eist! Jangan salah kampus kami memiliki parkiran yang luas dibanding kampus sebelah yang katanya khusus anak-anak yang memiliki ikatan darah jendral tapi melihat dari bangunannya menurutku sama saja malahan aku lebih suka kampusku yang adem, luas dan parkirannya yang membentang dari ujung gerbang ke gerbang satunya lagi. Karena hampir jam delapan malam kami langsung bergegas keluar kelas dengan beberapa keluhan dan juga pemikiran tentang tugas dan tiga judul skripsi yang diminta sudah siap pekan depan.
Dari kejauhan aku melihat Linda berjalan terburu-buru karena ia pun ingin lekas pulang namun ternyata ia kini malah menabrak pembatas besi yang baru dipasang untuk membuat lahan parkir baru sontak aku menertawakan tingkah bodohnya, ia adalah sosok yang paling gesit dalam berlari, aku masih ingat sewaktu kami melakukan test lari estafet. Ia paling gesit berlari seperti dikejar anjing saja kali ini ia melompati pagar pembatas itu sambil menggerutu. Mendekatinya dan ternyata ia masih saja berjalan sampai akhirnya ia berbicara dengan salah satu temanku. Silvia Hafiyyah—perempuan manis nan eksotis yang merupakan cucu dari rektor kampus kami. Sepertinya perihal tugas kami minggu depan. Namun aku menangkap sepertinya sahabatku itu ingin mendapatkan bantuan namun terlalu gengsi meminta sehingga kode yang ia sampaikan tak diterima dengan baik.
Aku pun mulai menstater motorku dan aku sengaja berjalan santai dibelakangnya. Matanya yang kecil membualat saat melihatku lalu senyumannya semakin bertambah lebar saat akhirnya ia lalu berlari kecil ke arah belakang kemudian mendaratkan pantatnya di jok belakang motorku sembari berkata. “Erik! Anterin aku pulang yah ke kost an. Di depan gangnya saja soalnya lampu jalannya mati dan hape aku flashlight nya rusak .....”
“Bayar!”
“Ok. Tapi nanti nggak bawa uang.”
Aku pun melajukan motorku menembus gang kecil yang menuju kost an sahabatku.
“Linda, kalau bisa pindah aja sih dari sini, kenapa juga mesti ngekost bareng kalau nggak nyaman.” tuturku kesal. Alinda yang tengah merapihkan kerudungnya kini malah menatapku bingung dan akhirnya mengangguk.
“Nggak betah sih Er, tapi gimana lagi tanggung dah bayar setahun.”
“Minta mama kamu buat sewa kamar baru. Nggak minta apa-apa juga kan selama ini.”
“Minta motor aja nggak dibeliin.”
“Mau apa pakai motor? Terakhir pakai motor aku pas KKN juga jatoh.”
“Iya, nanti bilang dulu. Gelap yah disini?”
“Pakai nanya lagi!”
“Makasih Er!”
“Alinda?”
“Iya?”
“Jangan dipikirkan aja tapi bilang. Bicarakan....”
Alinda mengangguk lalu berjalan pelan membuka gerbang kecil sebelum memasukan kunci kost dan ia masuk ke dalam kamarnya. Baru aku pun bisa tenang kembali melanjutkan perjalananku ke rumah. Tepatnya ke rumah om ku. Sejak aku memutuskan kuliah di Bandung tentunya aku memutuskan untuk tinggal selama masa kuliah namun karena aku tidak semandiri Alinda juga tidak segesit, serapi, selegowo Alinda dan nampaknya orang tuaku sangat mengenal putra bungsunya ini hingga akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di sini. Daerah tempat omku tinggal terbilang pinggiran kota berjarak sekitar tiga puluh menit ke kota Bandung namun aku masih bersyukur memiliki Om Danu dan Tante Mitha yang baik dan mendukung pilihan hidupku.
“Makan dulu Er, kamu dah semester tujuh, harus banyak akan plus jaga kesehatan. Kamu juga jangan kebanyakan minum coffee gitulah, nggak bagus itu.” Tante Mitha yang tengah menuangkan nasi ke dalam piring memberikannya padaku. Aku membalas semua ucapannya dengan anggukan sembari mengambil sepiring nasi yang Tante suguhkan. Menu nasi goreng buatan Tante memang cukup mengenyangkan. Aku tahu beliau hanya menambahkan bumbu racik nasi goreng merk indofood namun rasanya lebih dari itu karena ada cinta di dalamnya.
“Er, kalau nggak mau balik ke Kuningan sana, kerja di Bandung aja biar om bantu cari. ” timpal Om yang kini tengah menyuap nasi ke dalam mulutnya.
“Ngerepotin juga, nanti Erik cari aja.” jawabku tak enak.
Sejujurnya selain kedua orang tuaku yang sangat ku cintai dan ku banggakan. Aku sangat menghormati mereka. Yah adik dari Mama dan Papa. Mau bagaimana lagi Mama dan Papa sangat dekat dengan Tante Mitha. Mereka hanya mempercayai Tante Mitha. Kedua kakakku juga dulu kuliah di Bandung hanya saja karena jarak tempat kuliah yang jauh membuat mereka lebih memilih kost daripada tinggal di rumah Om Danu dan Tante Mitha. Lain halnya denganku yang memang sengaja dititipkan oleh Mama dan Papa dengan alasan lebih dekat dan juga lebih tenang karena ada yang mengawasi serta memperhatikan putra bungsunya. Lebih tepatnya Om Danu dan Tante Mitha sangat senang karena semua anak mereka sudah menikah dan tinggal diluar kota secara otomatis kehadiranku membuat hari mereka lebih berwarna.
“Om kamu juga dua tahun lagi pensiun dari gerai, mau buka toko sendiri katanya.” ucap Tante Mitha semangat sembari menambahkan lauk di piringku “Kamu bantu saja Om di Bandung.” timpal Om Danu setuju.
“Pasti Erik bantu. Om tenang aja tapi Erik masih pengen cari kerja sendiri, kan biar enak juga hasil jerih payah sendiri.” jawabku tenang berusaha tak menyinggung perasaan Om Danu dan Tante Mitha.
“Iya, kita dukung saja.”
Selesai makan malam dan bagian aku yang mencuci piring. Aku memasuki kamarku dan duduk sejenak diatas kasur dan melihat ada beberapa pesan group kelas juga ada satu pesan dari Alinda di facebook. Tertawa kecil melihat Alinda yang masih saja senang mengirim pesan di facebook. Bukan apa-apa semua komunikasi sudah kupindahkan ke Group Whats up atau BBM group tetapi Alinda yah tetap Alinda karena ia senang menulis cerita di facebook hingga akhirnya ia juga sering mengirim chatting di facebook.
Bukan Alinda tak mau berkomunikasi hanya saja ia tak mau banyak berkomentar namun senang sekali berimajinasi.Sama seperti sekarang aku melihat postingannya tentang blurb yang ia buat. Beberapa teman kami merequest cerita tentang kisah cinta mereka dibuat dalam sebuah akun dan Alinda membagi di laman facebooknya. Akupun tertarik membaca cerita yang ku tahu milik salah satu teman kampus kami. Lusi Apriyanti salah satu teman kampus kami yang ternyata menyimpan rasa terhadap Widra Suherman. Disini aku bisa melihat kemampuan menulis Alinda memang sudah berkembang dengan baik. Jujur saja tiap kali mendengar Alinda mengeluh tentang banyak hal membuatku ikut berpikir bagaimana Alinda menjalani hidupnya selama ini. Alinda pandai menuliskan semua kesedihannya lewat frasa namun ketika ia sedih yang ia lakukan hanya terdiam, melamun dan akhirnya menangis tanpa menjelaskan apapun sehingga mau tak mau aku harus menyelami apa sebenarnya yang terjadi.
Ingatanku terbang pada kejadian saat Alinda mengatakan bahwa ia sempat tertarik dengan salah satu temanku yang sering bergaul denganku dan sialnya aku tak bisa membiarkan semuanya terjadi. Atas dasar persahabatan kami akhirnya aku mulai menjauhkan Alinda dengan Dito. Kala itu tepatnya di rumah yang kami sewa untuk menuntaskan masa KKN kami di daerah kelurahan Utama Cimahi. Kami tengah berkumpul di ruang tamu sambil menonton televisi yang menayangkan acara HUT salah satu stasiun televisi yang baru-baru ini mengundang Demi Lovato sebagai guest star. Tentunya hal itu menjadi tranding topic kami. Aku hanya melihat Alinda tengah mengetikan sesuatu dan benar saja ia membuat status twitter terbarunya.
Tak tahan dengan tingkah polosnya kini aku yang bertanya. “Linda, kamu beneran suka Dito?” Melihat respon Alinda yang kaget lalu menahan malu membuatku khawatir.
Aku tahu betul bahwa Alinda baru saja putus dengan pacar pendiam yang saking pendiamnya meninggalkan Alinda begitu saja. Naasnya Alinda diputuskan di sebuah restoran cepat saji sehingga kini Alinda yang lebay tak mau makan di restoran cepat saji yang menghidangkan salah satu ayam goreng enak di Indonesia.
“Kenapa sih Er?”
“Bukan kenapa-napa, kan nanya aja. Nggak salah kan? Jawab!?”