Kali ini kami memiliki tugas membuat makalah berkaitan dengan Teaching Reading and Writing For English Young Learners dan seperti biasa aku memilih bersama Alinda untuk mengadakan tugas kelompok. Bukan apa-apa aku hanya mungkin sudah terbiasa bersama gadis gesit satu ini yah ia juga flexible dalam membagi waktunya antara kuliah, less private, nongkrong dan lainnya. Kami memutuskan untuk membagi bagian per halaman supaya nanti aku hanya tinggal menggabungkan konklusi yang teman-temanku buat lalu kita tuangkan ke dalam makalah kami. Temanya cukup mudah dan aku yakin Alinda bisa sedangkan untuk Bian dan Silvia aku tidak paham kemampuan mereka dimana karena kadang setiap orang memiliki kemampuan kognitif yang berbeda.
“Udah, dari barisan awal sampe paragraf ini kamu aja yah mpong.” ucapku sembari memberikan mark dengan stabilo kuning namun Silvia tak merespon dan malah menghela nafas. “Kok aku banyak banget sih, Er! Ya ampun aku meringkas sebanyak ini nggak ngerti!” keluh Silvia tak terima.
“Terus yang aku bagian mana Er?” tanya Bian kepo.
“Kamu bagian paragraf empat sampai lima.” jawabku yang membuat Silvia berang. “Masa si Bian kebagian dua paragraf aja lah kalau aku? Nggak adil banget, mana paragrafnya nggak lebih dari lima baris!” protes Silvia lagi.
“Sama aja kali, lagian kalian itu bagian opening sisanya aku sama Linda, udah yah udah ....” kali ini aku menengahi perdebatan mereka.
“Tapi iyah kali mpong, kita kebagian materi yang gampang terus nah kalau buat Miss Linda kan—“
“Er! Kamu mau buat aku jadi dessert lagi?”
Suara Alinda yang lantang membuat kami menoleh bersamaan. Tadi ia bilang ia akan ke toilet karena perutnya sakit mungkin ia sulit buang air besar lagi namun ini bahkan belum lima belas menit dan ia sudah kembali dengan tangan berkacak di kedua pinggangnya. Ia memasuki kelas dengan wajah ditekuk lagi. Rasanya dibanding wajah tersenyum miliknya aku lebih sering melihat wajah cemberutnya.
“Yah daripada mereka kamu lebih jago, Lin. Kamu selalu jadi penutup dalam setiap presentasi kita.” ujarku jujur namun sepertinya memuji Alinda tak akan membuahkan hasil. Ia sepertinya nampak berpikir sambil menatap kami satu persatu. “Huh, terserahlah.”
Terdengar sorakan bahagia dan itu berasal dari Bian dan Silvia yang saling bertos ria sementara Alinda hanya melihat bagian paragraf terakhir yang aku beri stabilo.
“Kadang aku bingung, kenapa mesti aku yang dijadiin tumbal, kalau ini pesugihan, badan aku kecil juga kurus, wajah aku juga nggak cantik-cantik amat. Intinya kalau diculik juga nggak ada yang menarik dari aku.”
“Kata siapa? Hem?”
“Kamu nggak ingat alasan aku nggak biarkan kamu pulang pas waktu kamu kekeuh pengen pulang waktu KKN itu?”
“Bukannya kamu nggak nemu lagi asisten yang serbabisa kayak aku?”
“Itu alasan lain tapi alasannya adalah aku khawatir kamu pulang maghrib-maghrib ke padalarang terus mau sampe kapan ke rumah kamu!?”
“Er, bukannya kamu bilang gini yah silahkan kalau kamu mau pulang tapi jangan telpon aku kalau ada apa apa dijalan. Aku malas harus jemput ke padalarang cuma karena kamu ketinggalan bus.”
“Hei! Er! Bus itu ada sampai malam! Kamu nggak pernah dengar ada yang namanya bus malam? Cih, aku pikir kamu ngerti.”
“Alinda. Dengar yah? Kita nggak debat masalah sistem kerja bus antar kota mau malam kek, mau pagi kek, aku nggak peduli. Tapi waktu yang kamu pilih buat pulang!”
“Ceuk urang mah ieu jelema duaan bakal jodoh da, teu akur wae tapi dekeut dan teu pajauh. Anehnya!” ujar Shera yang membuat kami berdua terdiam masih menahan kesal di hati masing-masing.
“Something fishy over here.”
Bukan aku juga bukan Alinda yang berbicara melainkan ada Bian Alvian yang mengatakannya dengan nada mencurigakan.
“Sejak kapan Bud kamu bisa hafal peribahasa dalam bahasa inggris?”
“Emang itu peribahasa? Aku baca di novel yang kamu pinjamkan ke aku Miss Linda...”
“Oh! Aku pikir kamu nggak suka baca. Aku kira cuma buat selfi aja terus kamu post di instagram kayak orang-orang.”
“Hahahaha! Yakali Bian mau update tapi ia nggak baca dulu, lucu kamu Linda.”
“Yah, kebanyakan gitu sih.”
“Jadi, aku dimata kalian nggak pernah mikir yah?”
Kami. Lebih tepatnya aku dan Alinda mengangguk bersamaan. Seketika kami tertawa puas menertawakan semua sikap konyol Bian yang akhirnya merajuk dengan gaya centilnya.