Kami tengah berkumpul di kantin karena kantin Mamah selain murah juga dekat dengan kelas kami. Pada saat bersamaan aku tengah menggigit gorengan Mamah yang renyah datang pula Bian yang berlari cepat sedangkan Alinda yang baru saja datang dari samping kelas dan kini menyomot gorengan Mamah. Kami masih makan dengan khidmat sampai akhirnya Bian sampai lalu mengatakan hal yang dari kemarin menjadi kekhawatiranku.
“Miss, Lutfi ternyata cewek!”
Sontak aku menoleh dengan cepat kepada Alinda yang nampaknya masih santai melahap gorengan kedua malah ia sibuk mencocol sambel kacang yang rasanya memang gurih. Setelah selesai melahapnya dengan satu kali suapan Alinda kini mengangguk singkat.
“Kamu suka sama cewek?” tanyaku tak tahan. Bukan apa-apa. Aku tahu betul kisah cinta Alinda hampir selalu berantakan baik itu jauh atau dekat namun aku tak habis pikir jika ia akan berpacaran dengan seorang perempuan. Aku selalu yakin kalau Alinda masih perempuan normal pada umumnya namun siapa sangka jika manusia bisa berubah dengan begitu drastis.
“Er, stop mikir yang nggak jelas. Lutfi emang cewek. Aku perasaan udah cerita banyak tentang dia.”
“KAMU GAK BILANG KALAU DIA CEWEK!”
Alinda sempat terkesima lalu ia memiringkan kepalanya ke kanan sejenak dan ia menutup mulutnya yang menganga lalu ia terkekeh geli.
“Kalian mikir aku jalan, makan dan nonton sama Lutfi itu berarti aku mau pdkt? Dating gitu? Ahahahahahaha! Lucu banget!”
Sementara aku kesal dan Bian yang mengibaskan tangannya ke lehernya gerah sedangkan Alinda malah tak henti-hentinya tertawa. “Gini deh, bukannya kalian juga kenal sama Lutfi kelas A1. Nggak ada Lutfi yang jenis kelaminnya cowok di angkatan kita dan itu cuma dia aja. Dan mungkin aku harus tegaskan ulang kalau Lutfi itu cewek. Namanya Lutfi Riyani Chan.”
“Miss, sugan maneh bogoh ka awewe?”
“Nya maenya we atuh Bud, aku masih normal, masih resep jalu! aku masih cinta sama mantan aku.”
“Kabeuki jawabanna teh kitu barijeung teu balikan.”
“Moal balikan deui lah, geus pajauh kitu.”
Kini giliranku yang sepertinya melihat perubahan dari Alinda. Ia hanya memasang tameng ketika ia mengatakan bahwa ‘ia masih mencintai mantannya itu’ kalimat itu Alinda ucapkan karena ia sendiri sudah jengah dengan pertanyaan mengapa ia belum memiliki pacar lagi sejak putus dengan si lelaki yang aku bahkan nggak mau ingat namanya.
“Dam, kamu kok tahu Lutfi cewek.”
“Oh. Aku kan kadang suka kepo twitternya Miss Linda sama mpong jadi pas aku tahu terus aku lihat postingannya. Aku sadar kalau Lutfi bukan cowok tapi cewek.” jawab Bian santai. “Tapi kamu kayak senang banget Miss, waktu kamu cerita tentang Lutfi?” Bian masih tak puas dengan hasil penyelidikannya.
“Bukan senang dalam artian aku punya pacar baru tapi karena aku sadar kalau aku bisa berteman baik sama Lutfi. Ia kayak safitri kamilah. Kalian tahu kan aku agak kesulitan berbaur dan Lutfi asyik aja orangnya.”
Aku dan Bian berpandangan dan kini kami sepakat bahwa kali ini prediksi kami diluar dugaan. Sepertinya kami terlalu berpikir positif sampai tak menyadari bahwa seharusnya kami mencari tahu siapa Lutfi tersebut hingga akhirnya kami pun menghela nafas pelan terutama aku.
“Kenapa sih?” tanya Alinda setelah selesai dengan tawanya.
“Kirain aku, Bian dan Shera. Kamu mau jalan yah dating gitu secara kamu udah ada beberapa bulan putus sama anak UIN itu. Kamu juga nggak dekat banyak cowok. Makanya pas kamu bilang mau nonton sama dia pake acara jemput segala aku mikir kamu ah syudahlah!” jelas Erik cepat.
Kini giliran Alinda yang tersenyum tenang lalu berkata. “Aku sadar kalau aku mudah terluka, sensitif dan susah move on tapi sejujurnya aku menikmati masa-masa aku harus memperbaiki diri. Mungkin Allah tahu aku belum butuh orang lain lagi. Aku senang ketemu kalian disini. Thank you untuk semua perhatian kalian. Aku jadi touchy gimana gitu.” Alinda kini menepuk pundak ku dan Bian bergantian.
Bukan apa-apa. Aku lebih suka melihat sikap pundungannya daripada sikap sok tegar yang ia buat. Aku tahu sembuh dari pengkhianatan itu lama namun aku ingin membantunya menjadi perempuan yang percaya diri bahwa tidak semua lelaki yang mendekatinya hanya ada butuhnya saja atau lelaki yang mendekatinya hanya memanfaatkannya saja. Ia harus membuka matanya lebih lebar dan mencermatinya bahwa apa yang selama ini ia pikirkan salah. Ia harus menerima luka itu dan membuang semua kisah pahitnya lalu membuka lagi hatinya dengan kepercayaan baru bahwa semua akan lebih baik nantinya.
“Kamu juga buka hati kamu Miss, orang nggak akan tahu kalau kamu memang masih dingin. Nggak semua laki sama keleus!” seru Bian kesal.
“Iya. Ingatan kamu harusnya digunakan dengan lebih baik bukan hanya mengingat hal yang nyakitin kamu aja.” ujarku berusaha memberikan pencerahan terhadapnya. Ini juga demi kebaikannya.
Kenapa lambat laun aku jadi merasa tidak senang dengan fakta bahwa ia masih saja disakiti?
Kenapa aku harus kesal dengan sifat sok tegarnya dan kenapa pula kini aku malah ingin memeluknya dan mengatakan bahwa ia tidak membutuhkan yang lain lagi.
Ah sepertinya ada hal lain yang berjalan diluar dugaan.
*****
Saat ini kami tengah mengalami kuis dadakan yang digagasi oleh dosen muda yang tiada lain tiada bukan adalah Mrs. Eris. Ia adalah seorang dosen yang berasal dari daerah Solo yang baru saja beberapa bulan mengajar di kampus kami lebih tepatnya di kelas kami. Pertanyaannya hanya tiga lembar seperti soal TOEFL namun sepertinya banyak jebakan yang beliau pasang dalam soal ini terbukti saat beberapa makluk jenius tak pernah berpaling dari soal-soal. Mataku melihat ke barisan depan dimana ada Agnes Mira yang tengah serius membaca soal sembari memutar-mutar penanya lalu berlanjut ke barisan kedua ada temannya Agnes Mira yang juga merupakan salah satu anggoa geng muslimah yang sama seriusnya dengan Agnes dan sialnya yang menarik perhatianku adalah Alinda Nura yang ada di barisan paling belakang lengkap dengan Bian Alvian yang ada disampingnya tengah berdiskusi sesuatu.
Akhirnya karena saking penasaran dengan apa yang tengah didiskusikan mereka aku pun berpindah kursi ke kursi kosong yang tepat disamping kiri Alinda dan Alinda malah tertawa kecil dengan Bian Alvian sepertinya ia tak menyadari keberadaanku. Sekilas aku mendengar Alinda yang menahan tawa dan sembari menunjukan laptopnya kepada Bian.
“Menurut kamu bagus nggak kalimatnya?” tanya Alinda dengan suara pelan.