Kami semua tengah berada di sebuah Aula besar tempat kami sebagai mahasiswa mengikuti mata kuliah umum secara berbarengan. Menurutku kuliah umum tidak efektif karena bukan apa-apa. Mempelajari satu hal dengan jumlah mahasiswa hampir dua ratusan lalu pembicaranya hanya ada satu atau paling banyak dua orang membuat kami kadang tak menyimak dan memahami dengan jelas apa yang disampaikan. Mata kuliah ini sebenarnya bukan mata kuliah inti dan kami bisa saja bolos atau izin namun aku rasa menginjak semester tujuh seperti ini aku tak ada pilihan untuk kembali ke jalan yang benar. Seperti gadis yang kini ada dua baris di depanku kali ini ia memakai kerudung hitam dengan kemeja cokelat kotak-kotak dan rok hitam. Ia semakin terlihat kecil dengan pakaiannya itu. Lalu baru saja aku melihatnya gadis tersebut menoleh ke belakang dan memberikan senyuman lebar.
“ERIK! Sini!”
Seperti biasa aku tak mengindahkan panggilannya dan ia beranjak dari kursinya kemudian menghampiriku.
“Kebiasaan, aku panggil kamu dari tadi!”
“Mana ada! Kamu juga baru manggil sekali.”
“Yah manggil berarti manggil tetap aja sama.”
“Kamu suka gitu giliran aku panggil harus aku yang kesini.”
“Itu tandanya aku suka kamu nyamperin aku.”
“Gini Er, ini absennya baru beberapa yang tanda tangan, kamu aja yang pegang. Secara kamu datang paling pagi.”
Yah kalian tahu betul kan. Setelah lima bab mengikuti cerita ini kalian bisa menebak siapa yang kini memutar bola matanya jengah namun tetap memasang senyum kesal.
“Alinda, pegang absen doang males. Sejak kapan kamu malas?”
“Sejak hari ini dan seterusnya.”
“Yakin gitu?”
“Yakin!”
“Kok aku nggak yakin?”
“TERSERAH!”
“Hahahahaha!”
Mendadak Lusi datang dengan semangatnya mengajak kami semua main truth or dare dengan botol aqua yang ia beli dikantin sembari menunggu dosen kami yang sepertinya masih menunggu semua mahasiswanya berkumpul. Tentunya air di dalamnya sudah ia habiskan. Kami pun bergabung. Ada banyak orang di dalam lingkaran meja kami mulai dari Ghina, Agnes, Lusi, Alinda, aku dan beberapa lagi.
Botol berputar dan berhenti tepat di hadapan Alinda seketika Lusi bertanya. “Miss, ada orang yang kamu suka di kelas kita?” dan dengan tegas pun Alinda menjawab. “Nggak ada.”
Semuanya melongo dan nampak berpikir sebenarnya tipe seperti apa yang akan ia pacari termasuk aku yang sudah jelas-jelas menggoda Alinda dengan merapihkan rambut sembari berdeham keras guna meminta pendapat Alinda.
“Ok, yang paling dekat deh, menurut kamu segi penampilan cowok dikelas kita yang kamu suka siapa?” cecar Lusi lagi.
“Ehm...”
Kini aku hanya menaikan kedua alisku saat Alinda melihat ke arahku lalu ia mengedarkan pandangannya ke arah lain dan melihat Alan ada di sana.
“Kalau penampilan aku suka sama Alan. Rapi.”
“Aciyehhhhh...”
Semua menggoda Alinda sedangkan yang digoda malah menampilkan wajah biasa tak ada rona tersipu atau malu. Ia hanya terlihat seperti Alinda yang biasanya.
“Kamu beneran suka sama Alan?” tanyaku kepo.
“Rapi. Dia rapih udah itu aja. Lagian aku suka cowok pinter. Setahu aku nggak ada yang lebih pinter di kelas kecuali Agnes dan aku nggak mungkin suka Agnes karena dia cewek.”
“Yah itu sih mah udah jelas yang lainnya lah.”
“Kamu tahu Er, aku bawel sangat dan banyak orang yang mengeluhkan hal itu apalagi cowok. Aku suka sama cowok yang bisa tahan mendebat omongan aku minimal 15 menit.”
“What? Buat apa?”
“Berarti dia sabar Erik. Dan cocok buat aku.”
“Terus aku nggak cocok?”
Kini aku yang terdiam untung saja hanya Alinda yang masih fokus ke dalam permainan karena teman-teman kami sudah berhamburan kembali ke kursi mereka masing-masing dimana hanya ada aku dan Alinda yang menatapku dengan tatapan yang bisa ku bilang sendu.
Selepas mengikuti kelas Kewirausahaan yang ternyata dibimbing oleh Mr. Kaswan yang sudah ku ceritakan pula kalau Alinda adalah fans garis keras beliau. Sejak tadi aku selalu melihat Alinda yang benar-benar menyimak, mendengarkan, menulis, dan mengabadikan beberapa foto beliau lewat kamera ponselnya. Seketika aku menggelengkan kepala melihat tingkah bocah Alinda. Bukan apa-apa menurutku yah beliau sama saja seperti kebanyakan dosen lainnya yang cakap, berilmu, dan sangat cocok dalam bidang pendidikan namun entah kenapa mata Alinda selalu bersinar melihat Mr. Kaswan menjelaskan apapun.
Dan kini setelah kelas selesai. Kami semua berpencar mengisi perut karena menahan lapar. Ada Alinda yang tersenyum riang sambil berjalan menuju kantin Mamah—panggilan ibu penjaga kantin yang kebetulan kantin bersebrangan dengan kelas kami C6. Alinda membeli air minum kemasan lalu membeli beberapa camilan namun sengaja aku merentangkan kakiku dan sialnya Alinda malah melompat dan berjalan kembali menuju kelas. Menggelengkan kepala heran melihat tingkah gadis kecil itu.
“Kenapa Er?” tanya Silvia yang ku jawab dengan gelengan kepala. “Menurut kamu alasan dia putus sama pacarnya cuma karena LDR?” tanya Silvia lagi yang buatku penasaran.
“Udah mpong. Itu masalah orang lain.” jawabku yang kini memeriksa ponselku dan beberapa chatting masuk dari juniorku serta anggota padus kampus serta ada juga dari mantanku. Yah, kalian boleh bilang aku munafik karena aku masih berhubungan dengan mantan tetapi aku rasa aku mulai bisa berdamai dengan masa lalu.
“Kayaknya Linda bukan orang lain. Kamu setuju kan kalau dia keras kepala, ia juga susah berbaur, ia juga nggak bisa dimarahi apalagi dibentak dan kamu tahu sendiri ia itu....”
“Pundungan?”
Silvia mengangguk setuju dengan pendapatku lalu ia kini memperlihatkan beberapa status twitter Alinda yang sebenarnya pernah kami selidiki semasa KKN tahun lalu.
“Kayaknya kamu harus coba bilang sama dia kalau dia harus banyak berubah. Supaya dia nggak disakitin lagi.”