Ada rahasia kecil yang sebenarnya tak harus ku tulis tapi aku tak tahan menyimpan semuanya sendiri lagi karenanya aku memutuskan untuk mengatakan bahwa akhir-akhir ini aku merasakan hal aneh yang bernama kepedulian tak mendasar antara aku dan Alinda. Barusan Silvia menelponku dan mengatakan bahwa Alinda menangis keras saat tahu bahwa charger ponselnya hilang dan tugas yang ia akan kerjakan tak bisa ia copy dan ketika ia ingin membuka datanya lewat flashdisk ternyata flashdisk tersebut terkena virus. Belum selesai bencana itu Silvia memberitahu ku bahwa Alinda mendadak menangis tersedu-sedu jenis tangisan yang katanya seperti ditinggal pacarnya menikah. Seingatku mantannya yang aku lupa namanya siapa belum menikah malah informasi terakhir yang aku dengar adalah mantannya bahkan belum memulai skripsinya sedangkan kami kini tengah sibuk menyiapkan proposal skripsi dan makalah yang Alinda tengah kerjakan adalah termasuk tugas terakhir dalam satu mata kuliah kami. Hari ini aku ada urusan mengantar om ke Bandung dan aku harus menyetir dari pagi sampai siang sebelumnya aku menitipkan Alinda kepada Bian untuk melakukan kerja kelompok di rumah Bian lalu ketika semuanya sudah berjalan sesuai rencana aku akan memprint hasil pekerjaan kelompok kami. Sayangnya prediksiku tidak sesuai karena Alinda malah mengalami crash saat aku tak ada. Dan aku tak tenang sekarang.
Ku pastikan semuanya sudah selesai dan aku kembali mengemas barang-barangku ke dalam ransel sebelum akhirnya aku melihat tante yang heran karena aku kembali sibuk.
“Mau kemana Er, ini sabtu lho bukannya nggak ada jadwal kuliah?” tanya Tante yang kini kembali menyimpan gelas yang ia gunakan barusan.
“Aku ke kampus dulu Tan, mau kerkom pulangnya sore kayaknya.” jawabku yang menghampiri Tante lalu menyalami tangannya dan bergegas menaiki motorku dan melaju membelah jalanan kota Bandung yang semakin indah menjelang sore tiba.
Sesampainya di rumah Bian aku melihat Egi yang keluar sambil menyulut rokok di mulutnya dan berdecak kesal saat aku tiba.
“Eta si Miss ceurik titatadi. Keur mah urang telat ngumpulkeun bagean urang jadi ngarasa serba salah. Ku maneh we repehan.”
“Emang teu bisa titatadi lain? Geus make cara lain mindahkeun datana naha beut bisa leungit?”
“Ah teuing keur apes we mereun.”
“Naha make kudu ceurik sagala.”
“Teuing urang ge aneh.”
“ERIK!”
Teriakan Silvia membuat aku langsung memasuki rumah Bian. Melihat tingkah Silvia yang kesal dan Bian yang santai sepertinya aku sadar bahwa Mama Yayu sedang tak ada di tempat. Melihat tatapan Silvia yang menunjuk ke bawah sontak aku mengikuti arah pandangnya dan terkejut melihat wajah Alinda dengan mata bengkak dan hidung memerah. Tersirat dalam benakku ingin memeluknya namun alih-alih memeluk aku akhirnya malah menatapnya dengan tatapan menenangkan.
“Er, aku udah—hiks....hiks...hiks...”
Aku pun duduk mencari posisi yang nyamna untuk sejajar dengannya. Kalian tahu sendiri bukan kalau Alinda adalah makhluk cerewet dengan tubuh kecil dan keterampilan yang diatas rata-rata. Jujur saja aku tak menyangka bahwa ia bisa menangis seperti ini. Aku yakin ini bukan masalah tugas saja melainkan ada masalah lain yang aku tak tahu apa.
“Kenapa? Nggak usah nangis. Sini biar aku yang kerjain. Kamu ke kamar mandi aja cuci muka terus udah masuk sholat ashar kan, sholat aja dulu tenangi. Kayak anak kecil banget nangis.”
Mengangguk kecil lalu ketika ia mulai berucap kembali aku memotong kalimatnya dengan mengambil alih laptopku yang ada di tangannya. Aku memang sengaja memberikan pinjam Egi laptopku terlebih Alinda lebih terbiasa menyimpan semua data kelompok kami dalam laptopku.
“Aku sholat ashar dulu.”
Kembali aku menganggukan kepala dan melihatnya yang menghilang dibalik pintu kamar mandi.
“Nggak tahu kalau si Alinda bisa nangis gitu.”
“Lagi kesel aja keleus!”
“Kebetulan kemarin ada masalah kayaknya di tempat less nya dia kena amuk jadi aja baperan sekarang.”
“Pantesan! Tadi Egi sempat ngebentak dia gegara nggak sengaja telat ngumpulin lembaran terakhir tugas.”
Mendengar kalimat terakhir membuatku kesal lalu memanggil Egi yang baru selesai merokok di luar.
“Tong sok ngabentak si Alinda.” tegurku kesal dan semakin kesal melihat wajah innocent Egi. “Maksud maneh urang nu salah?”
“Da emang maneh mah salah wae Egi!” bukan aku yang menjawab melainkan Bian yang selalu saja mengompori kami.
“Terus da geus kajadian atuh. Hampura we.”