Katanya perasaan itu bisa berbalik dan yang terjadi adalah aku yang tak tahu sampai kapan perasaan ini membalikan arahnya dengan baik. Tadinya aku tak akan menunggu namun masalahnya ini drama terakhir kelas kami dan aku tak tahu ketika gladi resik malam ini membuatku merasa gerah dan aneh saja. Mungkin kalian heran dari adegan aku mengantarkan Alinda pulang malam ke kost mendadak esok paginya pentas drama. Justru yang terjadi adalah ini pentas ketiga kami dalam klub drama di kampus kami. Beberapa bulan sebelum pengajuan proposal skripsi kami sudah melatih anggota yang terdiri dari kelasku dan anak-anak padus yang merupakan junior kampus kami dan setelah sesi latihan yang biasanya seminggu dua kali berkurang menjadi seminggu sekali kami pun berniat memberikan persembahan terakhir kepada kampus kami tercinta dan secara kebetulan adalah ulang tahun prodi kampus kami.
Jika dihitung kami sudah berlatih hampir tiga bulan lamanya dan aku beruntung bisa memiliki Venny yang berstatus mahasiswa dan memiliki sampingan sebagai penyiar radio di salah satu Radio terkenal di Bandung. Ia selalu mengatur dan memberikan arahan memainkan peran yang baik dan memadupadankan gaya kami dengan karakter dalam drama dan malam ini adalah malam gladi resik. Ini sudah jam delapan malam dan kami baru akan maju lima belas menit kemudian. Mataku cukup jeli melihat siapa yang kini berdiri di samping Alinda. Kalau tidak salah ia adalah Mr. Ian yang katanya manager di tempat ia mengajar kursus bahasa inggris dan entah kenapa aku tak suka cara Mr. Ian menatap Alinda.
Alinda tersenyum kecil sembari melihat ke arahku dan berjalan pelan menghampiriku.
“Masih lama Erik?”
“Bentaran lagi, ngapain kamu ajak dia kesini?”
“Katanya mau lihat, yah aku kasih lihat.”
“Kamu beneran nggak ada apa-apa sama dia?”
“Aku kan anak buah dia secara tidak langsung nggak enak juga nolak beliau. Dia mantan bosku dan kamu tahu kalau dia juga yang bantu aku waktu hapeku hilang di lapang tempo lalu.”
“Balas budi ceritanya.”
“Dia bosan yaudah aku bilang lihat aja siapa tahu terinspirasi.”
“Hemmm.”
“Ngapain mesti khawatir sih, aku aja biasa aja.”