Ola, Pembaca!
Nama gua Deni alias ‘Dek’. Fyi aja, ‘Dek’ ini panggilan sayang bokap gua ke gua, khususnya sebelum adek bungsu gua lahir atau kalo adek bungsu gua gak ada di sekitar. Kalo ada adek bungsu gua di sekitar, bokap biasa manggil gua ‘Deden’.
Kali ini gua bakal cerita tentang perselingkuhan bokap gua yang selingkuh gitu aja, tanpa alasan spesifik.
Lu pada (pembaca) kenal orang yang udah tahunan pacaran tapi ujung-ujungnya selingkuh? Pasti banyak. Kira-kira lu tau alasan kenapa mereka tega nyakitin orang yang udah bertahun-tahun nemenin mereka? Kalo menurut gua, alasannya juga pasti banyak, dan macem-macem. Tapi kata bokap gua, “Nggak ada alasan orang selingkuh selain orang itu nggak tahu diri.”
Sebelum gua mulai cerita, lu pada (pembaca) harus tau alasan kenapa gua nulis cerita ini. Jadi, pada sebuah acara keluarga, adik perempuannya nyokap (Yi) tiba-tiba ngomong gini ke gua, “Den, kalau nanti kamu nikah, jadiin papa kamu contoh gimana caranya jadi suami yang baik.”
“Emang kenapa, Yi?”
“Papa kamu itu suami yang baik. Nggak pernah selingkuh.” Konteks aja, waktu itu mereka lagi ngebahas kasus viral perselingkuhan vokalis yang suka main jablay, dan karena kebetulan ada gua di situ, jadilah orang laen yang main jablay, gua yang dinasehatin.
Nasihat itu munculin pertanyaan dalam kepala gua, “Masa sih bokap nggak pernah macem-macem? Oke, mungkin sepengetahuan gua bokap emang baik. Tapi, masa sih waktu muda bokap gak ngehe?”
Selama beberapa bulan pertanyaan itu bikin gua penasaran, gua pengen nanya langsung ke bokap, tapi gak enak. Gua cuma bisa menerka-nerka. Dan karena rasa penasaran dan penerkaan inilah, gua dapet ide cerita fiksi yang bakal gua tulis secara serius, tentu saja bukan di kumpulan bacot ini.
Sampe akhirnya, tadi sore, rasa penasaran gua kejawab. Waktu gua lagi ngopi bareng bokap di teras. Saat itu tinggal kami berdua doang di rumah, jadi gua beraniin diri buat nanya, “Pa, Papa pernah selingkuh?”
Bokap yang lagi mau nempelin bibir ke cangkir ijo stabilo, tiba-tiba berhenti dan seketika natap gua, keliatannya kaget. Dan keliatannya gua bakal dimarahin. Karena itu, gua buru-buru megang gagang cangkir merah jambu gua yang ada di atas meja, nyetel bakal minum.
“Selingkuh?” Bokap nanya sambil naruh cangkir ijo stabilonya.
Gua ngangguk. Gak jadi minum. Cangkir merah jambu di tangan juga gua taruh.
“Kamu nggak punya pacar, Dek. Gimana caranya kamu selingkuh? Kamu selingkuh dari diri kamu sendiri?” Kata bokap, terus ketawa sendiri sama lawakannya. Fyi, sampe gua nulis bagian ini, gua masih ngerasa gak ada yang lucu dari kata-kata bokap, tapi serius, beliau ketawa lama banget.
Liat beliau udah puas ketawa, gua nanya lagi pertanyaan gua yang tadi. Bokap jawab, “Pernah.”
“Selingkuh dari mama?”
Bokap senyum doang.
“Papa selingkuh sama siapa?”
Bokap akhirnya mulai cerita.
Sebelum gua dikte ulang cerita bokap gua, lu pada (pembaca) harus tau beberapa hal tentang cerita ini; pertama, ada beberapa bagian—khususnya percakapan—yang gua karang sendiri. Tapi tenang, secara garis besar, tulisan ini sesuai dengan apa yang bokap ceritain; kedua, kalimat-kalimat di tulisan gua kali ini mungkin rada beda sama yang sebelumnya karena gua pengen suasana klasiknya berasa; ketiga, karena di sini gua nulis tentang orang tua gua, maka gua gak enak asal nyebut nama bokap gua gitu aja, jadi kita sebut bokap gua ‘Romeo’ dan karakter perempuannya kita sebut ‘Ophelia’ atau ‘Lia’, ya? (Gua baru baca Shakespeare soalnya).
*
(Kita mulai cerita bokap gua). Alkisah, di sebuah desa di timur Indonesia, ada sepasang muda-mudi, Romeo dan Ophelia alias Lia, yang berkekasih sejak mula masa putih abu-abu. Dua sejoli ini menjalani hari bahagia sampai mereka lulus sekolah dan tiba saat Romeo harus meninggalkan kampung halaman atas saran sang paman yang telah sukses di perantauan dengan bekerja di perusahaan perkapalan.
Amat berat bagi Romeo pergi meninggalkan Lia, ia sangat mencintai Lia dan sudah bertekad menikahi Lia suatu saat nanti. Tapi, demi masa datang yang lebih makmur bersama Lia, Romeo merasa wajib pergi.
Sebelum mereka berpisah, Lia sempat berjanji akan menyusul Romeo bagaimana pun caranya. Walau di tahun itu belum pernah ada seorang wanita dari kampungnya yang pergi merantau ke Jakarta, karena pergi ke Jakarta baknya pergi ke bulan, Lia tetap percaya dia akan melakukannya demi cintanya pada Romeo. Mendengar janji kekasihnya, Romeo bilang, “Andaikata mustahil bagimu menyusulku. Aku akan bekerja, menabung, lantas mengirim uang padamu agar kita bisa bertemu di tanah rantau, Lia.”
“Jangan dikau risaukan itu, Rom. Aku akan menyusulmu. Percayalah. Paling lama dua tahun lagi. Peganglah janjiku, Rom.”
Perpisahan dua sejoli itu pun berpenuh derai air mata.
Pendek cerita, Romeo menyusuri hidupnya di perantauan dengan sedikit saja rintangan. Tak berapa lama sejak tiba di Jakarta, ia sudah bekerja sebagai bawahan di perusahaan perkapalan di mana pamannya adalah seorang penting di sana. Dan atas saran sang paman, Romeo mengikuti banyak kursus demi karirnya nanti. Sementara Lia di kampung, nasibnya seperti banyak wanita kampung lainnya, membantu di kebun orang tua.
Waktu demi waktu berlalu, Romeo dan Lia hanya dapat bersua lewat surat. Banyak kata cinta dan rindu bertaburan di atas surat-surat itu, tak lupa derai air mata yang mengiring kala Lia menulis surat-suratnya. Rindu, o, rindu, betapa sakitnya kau buat pada dua sejoli itu.
Demikian pun rindu meremukkan, cinta itu tetap di hati masing-masing, lebih-lebih untuk Romeo. Cinta Romeo makin besar saja. Apalagi dalam setiap surat-surat kekasihnya, Lia selalu pula mencantumkan ayat-ayat suci yang menguatkan hati, salah satunya dari Kidung Agung: “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api.”
Namun, mereka hidup dalam semesta yang ngehenya minta ampun. Ketika dekat setahun Romeo di perantauan, muncul seorang sekretaris baru di kantornya. Puan itu bernama Tamara. Kesan mula Romeo pada Tamara adalah gadis ini pintar merawat diri dan lakunya anggun.
Hari-hari lewat, Romeo dan Tamara mulai berinteraksi, dan dari sana Romeo tahu bahwa usia mereka terpaut dekat saja. Dan karena itu pula, lambat laun baik Romeo dan Tamara pun nyaman bicara kepada yang lain, mereka mulai dekat secara pribadi sebab karyawan di perusahaan itu lazimnya berusia dekat paruh baya. Itu semua membikin intensitas bicara mereka pun naik setingkat demi setingkat, dan itu juga membikin Romeo sadar bahwa Tamara, selain parasnya memukau, otaknya pun tak kalah. Kekaguman Romeo pada Tamara makin-makin ketika tahu Tamara pandai nginggris alias fasih berbahasa Inggris. Betapa sempurnanya Tamara sebagai puan di mata Romeo.
Di titik ini, Romeo mulai tertarik pada Tamara dan ia mulai tergoda untuk mengkhianati Lia, tapi cintanya pada Lia di kampung halaman masih saja kuat seperti maut dan masih termeterai erat di hatinya. Romeo bertekad untuk melawan godaan, halang rintang, dan semua cobaan demi Lia yang menunggu dengan derai air mata di seberang lautan sana.
Pendek kata, setelah genap setahun Romeo di pulau orang, penggenapan rindunya pada Lia tibalah waktunya, karena telah saatnya ia pulang ke rumah orang tua.
Pada pertemuan mereka, bahkan kata-kata di kitab Kidung Agung tak mampu mengumpamakan rasanya. Air mata dan sukacita berpadu menelurkan manifestasi cinta. Dunia rasa-rasanya milik mereka berdua. O, indahnya, menjadi pemuda. Tak terbatas pada mesra-mesraan semata, pada pertemuan pertama itu, Lia pun mengungkapkan rahasia yang berbulan-bulan dia pendam, yang bahkan enggan dituturkannya lewat surat cintanya.
“Romeo, aku kan pergi ke Jakarta menyusul dikau.”
Romeo terpaku. “Maksudmu?”
“Ya, aku telah berjanji untuk menyusulmu, dan semakin dekat janji itu kutepati.”
“Apakah yang coba dikau bicarakan? Dikau akan pergi menyusulku dengan cara apa? Aku masih sedang menabung, Lia.”
“Tak lama setelah kepergianmu, datang beberapa orang penginjil ke kampung ini. Dan mereka menawarkan agar ada wanita dari kampung ini untuk sekolah menjadi pendeta di Jakarta, mereka yang membiayai segalanya. Tahukah dikau? Aku mengusulkan diri dan mereka menerimaku.”
Mendengar ucapan kekasihnya, Romeo langsung memeluknya, dan mereka menangis bersama. O, betapa baiknya semesta pada mereka kali itu.
Puas tangis-menangis, Lia berkata, “Romeo, ada banyak masalah sebelum aku dapat menyusulmu.”
“Katakan! Katakan saja! Akan kuusahakan masalah itu enyah.”
“Orang tuaku melarangku merantau. Aku satu-satunya anak puan mereka. Seharusnya aku yang menunggui rumah dan merawat kedua orang tuaku. Bagaimana pun, aku ini puan.”
“Aku berjanji akan mengusahakan agar dikau diizinkan merantau, Kekasihku.”
Janji itu Romeo tepati. Selama ia ada di kampung halaman Saban hari ia setia mengunjungi rumah Lia dan memohon kepada calon mertua supaya Lia boleh meninggalkan rumah. Pada hari pertama, sang ayah tegas menolak; pada hari kedua, penolakan itu lebih keras; tapi Romeo tak mundur, ia tetap datang lagi pada hari ketiga, meski calon mertua telah enggan menemui Romeo. Keinginan Romeo tak lantas gugur begitu saja, ia datang lagi pada hari keempat dan seterusnya. Sampai akhirnya, entah di hari ke berapa, ayah Lia akhirnya luluh.
Betapa gembiranya Romeo dan Lia sampai-sampai pada tiba waktunya Romeo pergi lagi ke tanah rantau, sudah tak ada air mata pada hari perpisahan itu. Romeo pulang ke tanah rantau dengan senyum yang sukar pudar.