Semesta Ngehe!

E. N. Mahera
Chapter #8

Dijodohin

Ola, Pembaca!

Nama gua Deni alias ‘Dek’. Fyi aja, ‘Dek’ ini panggilan sayang bokap gua ke gua, khususnya sebelum adek bungsu gua lahir atau kalo adek bungsu gua gak ada di sekitar. Kalo ada adek bungsu gua di sekitar, bokap biasa manggil gua ‘Deden’.

Gua punya pertanyaan: “Lu pada (pembaca) tau gimana cerita cinta bokap sama nyokap lu waktu muda?”

Kali ini gua bakal cerita tentang pertemuan dan pernikahan bokap sama nyokap gua, yang ceritanya biasa aja tapi gua pengen lu pada (pembaca) tau. Moga-moga ada yang bisa dipelajarin dari kisah bokap-nyokap gua.

Sumber dan tokoh utama dari cerita ini sama dengan cerita sebelumnya, yaitu bokap gua. Dan gua bakal mulai cerita ini dari momen yang sama kayak sebelumnya, waktu gua ngopi sama bokap di teras; bokap minum dari cangkir ijo stabilo dan gua ngopi dari cangkir merah jambu. Fyi, buat yang belum baca cerita gua sebelumnya yang berjudul ‘Bokap Selingkuh’, akan lebih baik kalo lu baca dulu cerita itu, karena cerita ini lanjutan dari cerita itu.

 

Nah, waktu gua nanya soal lanjutan cerita kisah Romeo dan Lia, awalnya bokap keliatan ragu buat cerita, tapi gua maksa dengan bilang gini: “Kalo gitu cerita aja gimana sampe papa dan mama ketemu dan nikah.” Bokap akhirnya mau cerita lagi.

 

*

 

(Ini lanjutan cerita bokap gua).

Romeo benar-benar membatalkan pernikahannya dengan Lia, lantas Lia akhirnya pergi ke Eropa, tepatnya ke Jerman, untuk bimbingan penginjilan. Namun demikian, baru saja sehari Lia meninggalkan Jakarta, Romeo hari itu juga menyesal, membikin ia mengutuki diri ugal-ugalan, membikin ia mempertanyakan kewarasan dirinya sendiri sampai-sampai ia tega membatalkan pernikahannya kemudian membiarkan Lia pergi; seolah-olah proses permenungannya di hotel melati Bogor adalah sia-sia sekalian perbuatan orang gila. Lebih-lebih, tak ada janji atau rencana yang ia utarakan kepada Lia saat melepas Lia pergi. Dua sejoli ini bahkan tak memutuskan ikatan hubungan mereka yang terjalin hampir satu dasawarsa; begitu saja pertemuan mereka di kampung halaman dan begitu saja perpisahan mereka di kota metropolitan. Tak sampai di situ, waktu mereka berpisah, Romeo bahkan tak bertanya bagaimana caranya ia bisa menghubungi Lia di Jerman ketika kangen. Perlu digarisbawahi bahwa pada zaman itu tak ada ponsel, tak ada internet, dan mustahil untuk tahu saat ini di sana doi lagi apa.

Dalam kekalutannya, Romeo pergi menemui ibu pendeta bijaksana untuk mencari informasi tentang Lia dan tempat tinggalnya. Nihil. Kata ibu pendeta bijaksana, "Nanti, ketika mereka sudah menetap, akan saya informasikan alamat Lia agar dikau bisa mengirim surat kepadanya. Perlu dikau tahu bahwa tempat belajar Lia ada di pelosok Jerman. Jadi, komunikasi bukan hal mudah.”

Dengar itu, Romeo akhirnya memasrahkan segalanya pada semesta.

Untungnya, penantian itu tak seberapa lama. Baru seminggu menunggu, Romeo telah memegang secarik kertas berisi alamat Lia. Dan detik itu juga Romeo mulai menulis surat yang panjangnya berkilometer; di dalamnya tercantum penyesalan, kerinduan, kepasrahan, dan segala hal yang kira-kira mengesankan bila Romeo telah merasa salah membatalkan pernikahan mereka.

Lepas surat cinta penyesalan itu dikirim, ternyata proses tunggu untuk balasan surat tersebut pun singkat saja. Akan tetapi, malang sungguh malang, balasan surat Lia tak berselaras dengan keinginan hati Romeo. Isinya pendek saja: “Jangan kejar aku lagi. Aku ingin mengabdikan diri untuk Tuhan, dan Tuhan mungkin tak suka hubungan ini tetap. Lupakan aku, Rom! Tuhan Yesus memberkati.” 

Hati Romeo hancur lebur membaca surat pendek yang menyayat itu. Dan selama berbulan-bulan kemudian, surat pendek itu membikin Romeo hidup dalam keputusasaan. Masalahnya, surat pendek itu tak saja mengakibatkan korban perasaan, badan Romeo pun turut mengempis tersebab tekanan pikiran dan penyesalan. Habislah dirinya sendiri oleh penyesalan, dirinya sendiri ia maki sehabis-habisnya dalam diam.

Tak sampai di situ, begitu bosan mengutuki dirinya sendiri, Romeo akhirnya mencari pelampiasan; dan siapa lagi yang pantas disalahkan ketika semesta bikin ulah? Ya, Tuhan.

Romeo amat marah pada Tuhan, menurutnya Tuhan adalah sebab dari semua kuk yang harus ia pikul. Karena itu, Romeo berhenti datang ke gereja setiap hari Minggu pagi. Lepas kemungkarannya itu, keadaan kian parah, kian lama badan dan pikirannya pun menuju titik nadir.

Melihat kemenakannya menuju kehancuran, sang paman dan sang bibi pun mulai menaruh khawatir melihat Romeo. Mereka mencoba menyembuhkan Romeo dengan macam cara, umumnya lewat hiburan dan liburan. Nihil. Sebab Romeo selalu merasa bahwa ia baik-baik saja, setiap ditanya, ia enggan mengungkapkan ketidakberdayaan dirinya kepada dunia. 

Pada akhirnya, oleh karena dirasuki kekhawatiran pada sang kemenakan, sang paman dan bibi pun mendatangkan sang ibu dari kampung halaman. Pada mulanya, kehadiran ibu Romeo tak membantu banyak untuk memperbaiki keadaan. Bak kelakuan umum ibu-ibu klasik dari kampung, sang ibu hanya membuat makanan apa saja yang Romeo minta dan memaksa Romeo pergi ke gereja setiap hari Minggu pagi. Dan Romeo, yang tahu benar watak sang ibu, tak bisa membangkang perintah sang ibu untuk datang ke gereja. 

Pada pekan pertama kedatangannya kembali ke gereja, di dalam hatinya Romeo memarah-marahi Tuhan. Pada pekan kedua pun keadaan persis pekan sebelumnya. Baru pada pekan ketiga, di tengah doa syafaat, entah kenapa Romeo menyesal. Begitu saja ia menyesal telah membawa-bawa nama Tuhan sebagai terdakwa dalam penderitaan yang ia sebabkan sendiri. Saat itu juga, Romeo meminta maaf kepada Tuhan dan bilang dalam doanya, “Tuhan, jadilah kehendak-Mu. Apa pun yang harus terjadi, terjadilah.” 

Yang keren dari Tuhan, manusia kadang tak perlu minta sesuatu secara spesifik, sebab Tuhan selalu sudah tahu apa yang manusia itu butuhkan. Satu lagi, Tuhan tidak pernah buang-buang waktu ketika akan menjawab doa manusia, kalau waktunya sekarang, ya sekarang!

Dua kekerenan Tuhan itu terjadi pada Romeo, sebab sehabis ibadah Minggu pagi itu, persis di pintu gereja, Oma Stien (teman nongkrong sang bibi Romeo) menghentikan rombongan keluarga Romeo untuk bercakap-cakap, dan sekaligus saat itu juga ibunya Romeo diperkenalkan kepada Oma Stien.

Usai kenalan, Oma Stien yang cerewet itu bilang begini: “Saya juga punya anggota keluarga baru dari kampung.” Usai bilang ini kepala Oma Stien lantas bergerak kiri-kanan-atas-bawah, berhenti sebentar, lalu berteriak, “Juliet! Juliet! Sini dulu!” (Perlu dicatat, ‘Juliet’ ini bukan nama sebenarnya). Saat Oma Stien berteriak, Romeo pun turut memandang ke arah Oma Stien memanggil dan dilihatnya seorang gadis muda mendekat. Di titik ini, Romeo belum menaruh perhatian lebih kepada sang gadis, kesan mulanya pada gadis itu pun hanya, “Gadis ini cocok dibalut gaun bunga-bunga.” 

Pendek kata, berkenalanlah segerombolan keluarga Romeo dengan Juliet, termasuk sang ibu, paman, bibi, dan sepupu-sepupu kecilnya. Hanya itu hari itu. 

 

Selama setahun berikutnya, keadaan badan dan perasaan Romeo berangsur mendingan. Ia memang masih hidup dalam rindu kepada Lia, tapi beban itu rasanya lebih ringan dibandingkan sebelum ia memasrahkan diri kepada Tuhan. Pemasrahan itu membikin setahun lewat baik-baik saja tanpa Lia. 

Namun, beban itu datang lagi ketika Romeo tiba di kampung halaman dalam rangka Natal dan Tahun Baru.

Di kampung halaman, kenangan rasanya begitu nyata, seolah setiap udara, cuaca, sudut, dan inci kampung halamannya adalah tentang Lia. Seolah-olah kenangan dan rindu bersekongkol untuk menyakitinya. Sehingga, baru dua hari berada di kampung halamannya Romeo kembali merasa kepalanya sedikit lagi pecah. Kuk yang dulu kembali tinggal di pundaknya. Dan sakitnya lebih dari sebelumnya. Karena itu, pada suatu petang di teras rumah kawannya, Bernat, sedang mereka minum captikus, Romeo secara sadar tak sadar malah memindahkan beban hati kepada Bernat lewat kata-kata. 

Dan usai Romeo bicara panjang lebar, Bernat yang sudah mengembuskan aroma kental captikus, entah secara sadar tak sadar, asal saja bilang, “Sepertinya dikau harus kawin, Kawan.” 

Seketika itu Romeo merasa tercerahkan. Mengapa pula ia belum sempat berpikir untuk menikah. Memang, bila dipikir sekarang, patah hati berkepanjangan dengan si A, bukan berarti penyelesaiannya menikah dengan si B. Namun demikian, rancangan untuk menikah dengan wanita lain agar melupakan Lia bukanlah rancangan buruk. 

Semesta sepertinya menyetujui rancangan seorang kawan yang sedang mabuk itu, lantaran lepas dua hari peristiwa mabuk-mabukan bersama Bernat, kedua orang tua Romeo untuk pertama kalinya bertanya: “Nak, kapan dikau kawin?” 

“Terserah Pa dan Ma, detik ini pun, andaikata perlu saya siap dikawinkan dengan pilihan Pa dan Ma. Ada usul gadis?” 

Jawaban Romeo hampir saja membuat ibunya pingsan. Ayahnya bilang, “Dikau mabuk, Nak?” 

Lihat selengkapnya