Aku duduk di sebuah halte bus. Matahari mulai menyingsing menuju ufuk barat. Cahaya jingga yang memesona. Embusan angin sore menerpa dedaunan. Menyibak rambut panjangku yang dibiarkan tergerai. Burung-burung terbang beriringan melintasi langit. Suara ramai orang-orang mulai hilang.
Aku tidak pernah mengerti makna sebuah ‘ramai’ sebelum dia datang. Aku juga tidak memahami pesona jingga sebelum mentari tumbang. Duniaku hanya sebatas ‘sepi’ yang mengganggu. Semestaku hanya berwarna abu-abu.
Tidak ada tempat pulang terbaik kecuali diri sendiri. Aku hanyut dalam rutinitas harian yang membosankan. Melepaskan diri dari segala bentuk pertemanan. Melupakan koneksi-koneksi antara aku dengan makhluk lain. Membangun tembok besar antara aku dan kesibukan dunia. Lima belas tahun berlalu hidupku hanya memiliki satu warna.
Hingga sebuah pertemuan singkat membelokkan keseluruhan kisah. Melepas simpul-simpul yang kukira sudah mati. Merombak segala jalan cerita yang kukira sudah abadi. Meruntuhkan tembok besar yang menjadi penghalang. Seperti hujan ditengah gurun yang gersang. Seperti ada yang berbaik hati menuangkan warna-warni pelangi. Membangunkan aku dari mati suri yang kuninabobokan sendiri.
Dia datang membawa cahaya terang. Dia datang dengan mata hitam yang meneduhkan. Senyum indah yang menenangkan. Aku tidak tahu mantra apa yang disebarkannya ke seluruh penjuru. Tetapi kehadirannya membuat aku sadar, betapa banyak hal-hal yang sudah kulewatkan.
Semestaku berubah sejak dia datang. Aku mengerti betapa indahnya cahaya kemerahan di langit sore yang hangat. Aku memahami betapa seimbangnya antara ramai dan sunyi dalam kehidupan. Aku mempunyai rumah tempat pulang. Duniaku dipenuhi warna-warni pelangi yang indah. Sampai akhirnya semesta—
“Hai!”
Suara sapaan itu membuat lamunanku harus terhenti sejenak. Menyebalkan. Ini adalah rutinitas mengenang seseorang yang sangat penting dalam perjalanan hidupku, tetapi lihatlah!
Seorang pemuda bertubuh tinggi dengan rambut merah yang berantakan berdiri tepat di hadapanku. Menghalangi mataku untuk menatap langit jingga yang memesona. Wajahnya tampan dengan hidung mancung yang runcing. Gurat wajahnya keras.
Pemuda berambut merah itu tersenyum tipis padaku. Aku hanya menatapnya sekilas. Tidak berniat membalas sapaannya beberapa detik lalu apalagi senyumannya. Jujur saja ini bukan pemandangan yang menyenangkan. Laki-laki asing tiba-tiba menyapa. Aku tidak terbiasa.
Tiba-tiba dia duduk di sebelahku. Mengeratkan jaket tebal yang membungkus tubuhnya. Dia melirikku sekilas kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi halte.
“Lagi nunggu jemputan?” tanya pemuda itu. Aku hanya menggeleng malas.
“Nunggu bus?” Dia bertanya lagi.
Aku tidak menjawabnya kali ini, aku kembali menatap matahari yang bersiap menenggelamkan diri di balik gedung tinggi yang menjulang. Itu adalah bagian terbaiknya.
“Jingga!”
Aku terkesiap dan menoleh ke arah pemuda berambut merah itu. Aku tidak salah dengar, dia baru saja mengucap namaku.
“Kenapa kamu tau namaku?” tanyaku menyelidiki.